Selasa, 16 Desember 2008

Memaknai NATAL secara beda, perlukah ?

Terjebak dan selalu terjebak lagi dalam romantisme lagu Natal dan berbagai pernak pernik hiasan Natal seperti kapas bertaburan di pohon NATAL yang melambangkan salju yang memutih menjelang setiap perayaan Natal yang jatuh pada 25 Desember, demikian kira-kira gambaran masyarakat kristiani saat ini.

Berbagai kenangan indah bernuansa NATAL bermunculan dan berkelebat dalam benak kita masing-masing dan kondisi semacam ini dilihat sebagai peluang bagi kalangan pembisnis. Pakaian baru, mainan baru, perabotan baru, perhiasan baru dan semuanya yang serba baru seolah-olah ingin menunjukkan kebaruan semangat hidup kita.

Namun ternyata meski semangat NATAL telah memasuki relung kehidupan kita saat ini, keberuntungan seringkali masih belum berpihak pada mereka yang lemah dan miskin.
Mari kita tengok kebelakang sejenak litani kepahitan hidup anak manusia di bumi tercinta Indonesia ketika media massa mengabarkan;

- kematian sia-sia banyak balita akibat busung lapar diberbagai penjuru Indonesia,
- orang tua yang memilih jalan bunuh diri dalam menyelesaikan problemanya namun sebelumnya tega meracuni anaknya sendiri karena alasan tidak tega melihat anaknya menderita,
- drama seorang penganggur yang terlunta-lunta di Jakarta sendirian dan akhirnya putus asa dan memilih bunuh diri dengan jalan loncat dari ketinggian sebuah bangunan rumah ibadah terkenal ,
- seorang pemuda yang frustasi karena tidak mampu membelikan obat untuk ibunya yang sedang sakit keras dan memilih loncat dari tower sebuah stasiun radio di Solo baru-baru ini yang berakibat kematian tragis,
- mereka para pekerja yang jumlahnya mencapai puluhan ribu bahkan diperkirakan mencaoai ratusan ribu yang telah dan akan kehilangan pekerjaan akibat PHK masal yang dipicu oleh krisis keuangan global,
- para korban Lumpur Lapindo yang masih harus berjuang untuk mendapat hak-haknya yang seharusnya dipenuhi pihak lapindo tanpa harus berdemo karena matinya rasa kemanusiaan para pimpinan Lapindo yang mengaku dirinya nasionalis namun tega membiarkan rakyat korban Lapindo sengsara dan mengemis suaka ke Kedubes Belanda,
- mereka para pedagang PKL yang tergusur dan tidak bisa berjualan lagi sehingga tidak ada lagi pemasukan untuk menunjang kehidupan keluarganya
- mereka para kaum miskin korban penggusuran maupun kebakaran yang kehilangan tempat tinggal dan harus rela menderita
- mereka para buruh yang rela dibayar murah karena tidak ada pilihan kerja lainnya
- para petani yang selalu saja susah mendapat pupuk untuk musim tanam padi dan harus membayar mahal sementara mereka harus menjual murah hasil panenannya
- kematian sia-sia para korban lalu lintas karena kecerobohan pengendara lainnya
- kematian sia-sia karena bencana banjir, longsor
- mereka yang harus hidup di kolong jembatan, bantaran kali dan daerah kumuh lainnya yang tidak layak untuk hidup dst

Menjadi refleksi untuk kita semua, mengapa sampai saat ini masih saja terus berjatuhan para korban yang sepatutnya tidak terjadi di negara yang mendasarkan pada Pancasila dan berkelimpahan sumberdaya alamnya ?
Mengapa perayaan NATAL yang kita peringati tidak mampu menjadi tonggak kelahiran solidaritas nyata yang mampu mengurangi jumlah korban yang menderita baik karena bencana alam, politik, kemiskinan, kesakitan dll ?

Solidaritas sejati, kemanakah ?

Memang problem bangsa yang besar ini tidak bisa diletakkan hanya dipundak kaum kristiani yang sebentar lagi merayakan Natal. Namun paling tidak hal ini bisa menjadi keprihatinan bersama kita sebagai kaum kristiani dan merupakan wujud rasa solidaritas sejati yang telah ditunjukkan dan diajarkan sendiri oleh Yesus yang mau solider dengan lahir dikandang hina di Betlehem sebagai pernyataan sikapnya yang mau bergaul dan mengangkat harkat dan martabat kaum hina dina.

Sudah layak dan sepantasnya kalau kaum kristiani yang kebetulan memiliki harta berlebih mau menyisihkan sebagian hartanya untuk misi kemanusiaan namun tidak dengan cara karitatif melainkan pemberdayaan. Alanglah indah jika para profesional kristiani mau berbagi kepandaian dan ketrampilannya secara gratis melalui berbagai cara seperti kursus singkat, mendirikan lembaga ketrampilan yang diperuntukkan untuk kaum papa dan anak jalanan.
Sudah selayaknya apabila momentum NATAL 2008, kita dilingkungan Gereja Katolik diajak merefleksi arah pendidikan yang difasilitasi oleh lembaga Katolik untuk tidak lagi fokus pada pendidikan formal yang hanya menciptakan banyak intelektual penganggur, meski mereka para siswa didik telah menghabiskan investasi berupa biaya pendidikan yang tidak sedikit jumlahnya.
Kalangan Konggregasi ataupun Ordo penyelenggara sekolah formal sebaiknya berpikir ulang dalam strategi mendidik anak bangsa sehingga alam kekayaan Indonesia bisa terkelola dengan baik demi meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat.

Contoh nyata adanya ATMI Solo yang mampu mendidik dan menghasilkan tenaga profesional di bidang permesinan, PIKA Semarang yang mampu menghasilkan para pengrajin meubel dengan kualitas tinggi, KPTT Salatiga yang mendidik para pemuda menjadi petani organik yang tangguh , akan sangat baik apabila bisa dilebarkan sayapnya ke daerah di Indonesia Timur sehingga mampu mencetak tenaga kerja profesional dibidang permesinan, perkayuan dan pertanian yang akan mampu memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah disekitarnya.

Peningkatan ekonomi umat yang miskin

Kiprah gereja Katolik dalam mendorong dan menfasilitasi pendirian CU/Koperasi Kredit atau lebih dikenal dengan Kopdit setidak-tidaknya telah membantu umatnya untuk lebih melek finansial dan mengetahui bagaimana bersikap tolong menolong melalui usaha simpan pinjam, hidup hemat bersahaja dan terencana sebagai wujud rasa solider diantara umat. Kopdit saat ini semakin meluas layanannya dan tidak hanya terbatas dikalangan warga gereja namun sudah lintas SARA sehingga dapat menjadi ajang untuk menumbuhkan solidaritas universal sebagai sesama umat TUHAN.
Melalui Kopdit diharapkan sikap eksklusip dapat digantikan dengan inklusip dan plural yang menghargai keberagaman sebagai anugerah dari Sang Pencipta.
Namun hal ini tidak cukup, karena untuk meningkatkan ekonomi umat terutama yang miskin perlu dibarengi dengan pendampingan lainnya seperti meningkatkan jiwa bisnis, menambah kemampuan manajemen usahanya dan memperluas jaringan kerja/networking. Disinilah peran dari umat lainnya yang telah sukses dalam berbisnis mau berbagi menjadi mentor bagi umat lainnya yang miskin yang kebetulan sedang merintis bisnisnya, sehingga diharapkan kemampuan bisnisnya meningkat dan mampu keluar dari kemiskinannya.

Para pemuka umat sebaiknya mulai secara strategis dan taktis mencari jalan bagaimana layanan yang dilakukan gereja dapat secara langsung meningkatkan perekonomian umat sesuai dengan potensi lokal yang ada.

Misal jika dilingkungan keuskupan terdiri dari umat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani maka layanan pastoralnya diharapkan dapat bersentuhan langsung dengan pertanian seperti misal pengembangan ternak sapi yang dipadu dengan wana tani dimana petani tidak perlu lagi membeli pupuk, cukup memanfaatkan kotoran ternak sapinya. Atau dapat pula mengembangkan tanaman kayu untuk jangka panjang karena selain bermanfaat secara ekonomis yakni berinvestasi, juga bermanfaat secara ekologis karena dapat mengurangi pemanasan global dan penghancuran hutan. Disamping itu gereja diharapkan dapat menfasilitasi penguatan organisasi petani menjadi kuat dan mampu mengakses pasar dengan melakukan pemasaran bersama sehingga possisi tawar umat yang kebetulan petani menjadi lebih kuat dan memperoleh harga jual dari hasil komoditinya secara layak.

Demikian pula jika kebanyakan umat menjadi nelayan, maka arah layanannya misalnya bagaimana organisasi nelayan menjadi kuat dan bersatu dalam emamsarkan hasil ikannya, bagaimana biaya sosial dapat dikurangi namun adat istiadat tetap lestari, bagaimana memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan pendapatan seperti teknologi budidaya rumput laut, melestarikan hutan bakau dst.

Dalam ikut menyadarkan arti pentingnya menjaga lingkungan dan menjadi petani yang maju, maka kurikulum pendidikan dipersekolahan katolik sebaiknya juga mengandung muatan bagaimana mengelola alam secara ramah namun mensejahterakan manusia yang tinggal didalamnya.

Dengan demikian meminjam istilah Romo Mangun, sebaiknya kita umat kristiani tidak menjadi bonsai yang enak dipandang namun kurang menghasilkan.
Kita coba secara kreatif memaknai NATAL secara beda dan tidak terjebak dalam romantisme sehingga diharapkan dalam merayakan NATAL tahun ini semua kegiatan yang kita lakukan mampu membuat perbedaan kearah yang lebih baik, tidak hanya disaat merayakan NATAL terlebih bagaimana sikap hidup dan habitus kita menjadi baru, bebas dari sifat yang melawan KASIH seperti iri hati, dengki, mudah marah, sombong/arogan, masih suka menyimpan kesalahan orang lain dan yang lebih penting bagaimana kesaksian hidup umat kristiani untuk bebas KKN dan ikut memberantas KKN secara aktip melalui karya nyata dalam keseharian. Semoga


YBT. Suryo Kusumo
tony.suryokusumo@gmail.com
www.adikarsagreennet.blogspot.com
www.adikarsaglobalindo.blogspot.com

Senin, 08 Desember 2008

PKL (Pedagang Kaki Lima) yang selalu teraniaya, mengapa ?

Tidak bosan-bosannya media TV swasta menyiarkan berita seputar pembersihan lokasi srategis dalam kota dari PKL (yang tak lain bagian dari UKM) karena berbagai alasan, dan yang paling sering dilakukan karena alasan mengganggu ketertiban umum dan memakan badan jalan.
Dan terlihat wajah para PKL dan keluarganya yang histeris karena melihat barang dagangannya yang disita dan diangkut keatas truk serta lapaknya yang diobrak-abrik dan dihancurkan dan bahkan dibakar oleh petugas baik Satpol PP maupun aparat gabungan.

Drama kemanusiaan yang menyayat hati ini selalu saja berulang-ulang dengan intensitas yang semakin lama tidak semakin berkurang namun justru semakin meninggi, sementara solusi yang diharapkan para PKL sebagai jalan penyelesaian semakin menjauh.

Meski harus diakui media telah memainkan peran secara optimal dalam melakukan advokasi untuk mengetuk hati para pejabat publik sehingga diharapkan dalam membuat kebijakan berpihak pada rakyat kecil seperti halnya kepada para PKL yang ulet berusaha/berbisnis namun terkendala dalam ketersediaan lokasi dan permodalan, namun sampai saat ini kita justru masih melihat kuatnya pengaruh para pemodal besar secara samar namun pasti dalam mempengaruhi pemerintah untuk terus secara konsisten dan persisten menggusur PKL
Lalu dimana peran dan tanggung jawab para anggota DPR/DPRD terhormat yang katanya mewakili suara rakyat (seperti bujuk rayu yang disampaikan ketika kampanye dulu) yang sering didengungkan Vox Populi ,Vox Dei (Suara Rakyat merupakan Suara TUHAN), dimana rasa keberpihakan para wakil rakyat terhormat seharusnya ditunjukkan sebagai sikap peduli pada penderitaan konstituen ?

Kondisi PKL diatas tak dapat dilepaskan dari tanggung jawab para anggota dewan terhormat, karena saat pengesahan rencana umum tata ruang kota telah melibatkan persetujuan DPR yang berarti keterjepitan dan tiadanya ruang usaha bagi para PKL dan sejenisnya memang telah dirancang secara sengaja dan sistemik sejak awal perencanaan kota karena mereka lebih memihak kepada para pemodal kuat dan mengabaikan peran dan keberadaan usaha sejenis PKL.

Jadi wajar jika PKL selalu saja dianiaya, diuber dan diobrak-abrik karena perspektif para pengambil kebijakan dalam hal ini eksekutif dan legislatif telah kehilangan kepedulian terhadap keberadaan PKL meski mereka tahu pada saat krisis PKL menjadi salah satu penopang perekonomian bangsa.

Disini sebenarnya permainan dimulai, dimana kekuasaan yang diberikan rakyat melalui pemberian suara rakyat lewat partai politik telah diselewengkan dari awal tujuannya semula berupa kekuasaan untuk mensejahterakan rakyat berbalik arah hanya menjadi alat dan sarana untuk mengejar kesenangan dan kekayaan pribadi saja. Maka wajar jika para anggota dewan yang terhormat maupun operator penggusuran di lapangan seperti Satpol PP telah berubah menjadi robot yang kehilangan rasa kemanusiaannya.


Ubah RUTR(Rencana Umum Tata Ruang) Kota yang memihak UKM

Dalam manajemen pembangunan kota maka perencanaan pemanfaatan ruang telah tertuang dalam RTUTR Kota dimana seluruh ruang telah dialokasikan dengan mempertimbangkan berbagai faktor. Namun dalam kenyataan yang seringkali dilupakan dalam draft perencanaan RTUTR maupun pembahasan untuk finalisasi dan persetujuan akhir adalah belum tersedianya lahan yang cukup untuk jalur hijau, taman kota yang luas untuk umum, tempat olah raga yang bebas untuk umum, dan tersedianya ruang/lahan untuk berjualan bagi PKL/UKM di tempat strategis.

Sudah bukan menjadi rahasia lagi kalau pemerintah daerah bersama DPRD lebih suka memihak pada kaum pemodal kuat sehingga wajar jika dimana-dimana dalam perkembangan sebuah kota akan bermunculan dan bertaburan mall/hypermarket yang dalam banyak hal selain mematikan para pedagang UKM, juga menjadikan pola hidup masyarakat kota sangat konsumtip.

Keberpihakan pada UKM yang dilafalkan pada saat kampanye seolah-olah hilang dan terlupakan begitu mereka sudah duduk di dewan, demikian pula para pejabat yang disumpah secara ritual agama juga ikut silau akan uang dan mengabaikan kaum UKM.

Kalau pihak yang seharusnya memikirkan bagaimana UKM termasuk didalamnya PKL menjadi besar justru tidak lagi peduli pada perkembangan mereka yang terbukti dengan tidak dialokasikannya ruang untuk UKM maka UKM pasti akan menjadi seperti anjing kurap/buduk yang diusir dan disia-siakan ketika sendirian dan tidak ada orang lain, namun kemudian dibelaskasihani seolah-olah pemiliknya orang yang sangat dermawan. Kepanjangan UKM bisa berubah menjadi Usaha Kecil Mati/Mampus jika tidak ada perlindungan dan keberpihakan dari para pelayan publik dalam hal ini pemerintah.

Pelayanan one stop service

Sudah saatnya pemerintah membalas jasa pada pelaku UKM yang telah menyelamatkan krisis nasional 1998 dan membantu pemerintah menyediakan lapangan kerja disektor non formal tanpa harus mengemis meminta pekerjaan sebagai PNS dan bahkan mereka para UKM juga diwajibkan membayar pajak dari penghasilannya yang kena pajak , tidak seperti PNS yang dibayari pajaknya oleh negara.

Jadi menjadi kewajiban bagi para PNS yang bergerak disektor layanan publik yang terkait dengan UKM untuk memberikan layanan yang ramah (bukannya marah meski jumlah hurufnya sama ) termurah, termudah dan terbaik melalui layanan “One Stop Service” dimana para UKM cukup mendatangi kantor tersebut yang sudah terbebaskan dari virus KKN dengan layanan yang prima, bahkan disediakan layanan online yang mudah, murah dan cepat.

Penyaluran KUR yang tepat sasaran

Meski sudah diluncurkan Kredit Untuk Rakyat (KUR) tahun lalu dan diiklankan melalui media elektronik namun kelihatannya masih banyak pelaku UKM yang belum memanfaatkannya.
Harus diwaspadai jangan sampai pagu krredit yang sudah disediakan justru diakses oleh pihak lain yang tidak memerlukan namun mengambil keuntungan dari kemudahan yang diberikan pemerintah.

Kita harus belajar dari pelaksanaan KUT (Kredit Usaha Tani) yang telah banyak disalahgunakan sehingga banyak kasus dimana petani tidak meminjam tetapi ditagih terus untuk mengembalikan kredit yang dimanipulasi oleh pengurus KUD.

Asistensi manajemen bagi UKM

Peluncuran dan pengucuran dana KUR saja dirasa tidaklah mencukupi untuk membantu UKM berkembang menjadi bisnis skala besar. Alangkah baiknya jika selain pengucuran kredit, juga disertai dengan asistensi baik dari sisi manajemen, wawasan bisnis, pengembangan jaringan kerja , pemanfaatan IT dll.
UKM juga dipersiapkan dalam memanfaatkan pesatnya pengembangan Teknologi Informasi untuk minimal bertahan dalam persaingan global yang tidak kenal ampun.
Pemerintah perlu memberikan perlindungan yang sifatnya mendewasakan dan mengayomi UKM, bukannya memanjakan, sehingga mereka para pelaku UKM dapat bertahan hidup ditengah gempuran yang dasyat baik dari internal maupun eksternal (seperti tsunami ekonomi dunia yang dimulai dari Amerika Serikat).


Bangga menjadi pelanggan UKM

Dan yang tak kalah penting bagaimana pasar domestik dibidik dan diedukasi untuk mencintai produk UKM yang berarti mencintai Indonesia. Aku cinta produk Indonesia tidak bisa hanya dengan diiklankan saja , tetapi harus disertai pembuktian lewat standar mutu SNI, sehingga pembeli tidak dikecewakan namun justru semakin tinggi tingkat kepercayaannya dalam menggunakan produk dari UKM.

Kecintaan terhadap produk UKM serta memilih membeli di PKL adalah cerminan rasa nasionalisme dan kebanggaan sebagai bangsa yang telah dibuktikan kejayaannya melalui pembangunan Candi Borobudur, Kapal Phinisi, dan berbagai peninggalan kejayaan masa lampau.

Mari kita bangun PKL menjadi pengusaha yang sukses dan tidak perlu lagi berjualan di kaki lima, mari kita bangun UKM menjadi pembisnis tingkat nasional yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.




YBT. Suryo Kusumo
tony.suryokusumo@gmail.com
www.adikarsagreennet.blogspot.com
www.adikarsaglobalindo.blogspot.com

Rabu, 03 Desember 2008

Memilih pemimpin bijak di era otonomi, sebuah keharusan ?

Memilih pemimpin dinegeri ini bagaikan memilih kucing dalam karung atau mencari sebatang jarum dalam tumpukan jerami.
Kita dapat melihat dengan sesungguhnya kondisi nyata negeri saat ini dimana Presiden dan Wakil Presiden yang menjabat saat ini dipilih langsung oleh rakyat ( berarti memperoleh mandat penuh dari rakyat) namun ternyata hasilnya masih saja belum mampu mengubah wajah negeri ini seperti harapan rakyat kebanyakan.

Begitu sulitnya memperoleh pemimpin yang betul-betul berani menyuarakan dan mewujudkan kepentingan rakyat diatas segalanya.
Banyak para pemimpin yang sebenarnya tidak layak disebut pemimpin tapi hanya sebatas pimpinan. Atau yang lebih tragis kalau kata pemimpin telah kehilangan huruf terakhirnya sehingga tinggal menjadi ‘pemimpi’.

Kurangnya pendidikan leadership/kepemimpinan

Miskinnya stok pemimpin ditingkat nasional menjadi persoalan yang serius ketika seolah-olah diantara warga bangsa ini tidak ada lagi yang mampu memimpin negeri ini dan kelihatannya untuk memperoleh pemimpin kedepan hanya terbatas pada stok “pemimpin gagal” yang harus didaur ulang karena tiadanya pilihan
Seolah-olah dengan memilih “pemimpin daur ulang yang telah gagal “ kita yakin akan terjadi perubahan karena para pemimpin ini telah punya pengalaman sebelumnya, padahal tanpa mengubah strategi maka tidak akan terjadi perubahan yang berarti, apalagi jika jelas-jelas tiadanya keberanian dalam diri pemimpin untuk mengambil keputusan besar yang punya konsekuensi terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat .

Pendidikan leadershi/ kepemimpinan yang sangat terbatas untuk generasi muda, tiadanya mentor yang mau melakukan kaderisasi secara terencana dan terukur, praktek kuasa uang yang bermain disegala lini dan mengorbankan orang yang jujur namun penuh potensi sebagai pemimpin, terbatasnya media yang mampu menguji kepemimpinan anak muda dll telah menyebabkan minimnya stok untuk kepemimpinan nasional karena untuk menjadi pemimpin dibutuhkan persyaratan memiliki uang yang banyak untuk dapat menggapainya. Padahal kita tahu seorang yang dijadikan pemimpin melalui politik suap/uang dan nepotisme tidak akan teruji dan cenderung menyalahgunakan jabatan yang diembannya, baik itu terjadi di partai politik, organisasi profesi maupun di bidang lainnya.

Miskin keteladanan dalam keseharian

Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, begitu bunyi peribahasa.
Pemimpin yang korup akan meneladankan pada pemimpin generasi berikutnya bagaimana berperilaku dan bertindak sebagai pemimpin yang bangga dalam memamerkan kekayaannya meski dari hasil korupsi.
Tidak heran jika seorang bapak menegur anaknya untuk tidak merokok namun pada saat bersamaan dirinya juga sedang merokok, maka hilanglah power sebagai ayah/pemimpin rumah tangga.
Demikian pula gambaran yang ada di masyarakat, banyak diantara pemimpin bangsa ini termasuk dalam golongan “lain kata, lain perbuatan”. Mereka hanya manis di bibir, pandai beretorika, berwacana, menciptakan pencitraan positip namun hanya sebatas layaknya pemain sinetron yang akan habis masa tayangnya, berperilaku STMJ (Sembayang Terus Mencuri/Maksiat Jalan), Berdoa Sambil Berdosa dan masih banyak lagi berbagai bentuk kemunafikan luar biasa yang dipertontonkan oleh para pemimpin negeri ini.

Masih ada pejabat yang bangga dengan lencana garuda dan lambang merah putih yang terpampang didadanya , namun masih saja berperilaku arogan, primordial, feodal (tasnya masih dibantu dibawakan bawahannya ), menindas bawahan, menyalahgunakan fasilitas dinas untuk kepentingan pribadi (mobil dinas untuk antar anak ke sekolah dan istri belanja), menganggap rakyat adalah abdi atau pelayannya, berjalan dengan mendongakkan kepala, dst.
Padahal ketika disumpah jabatan, mereka berjanji akan melayani, menjadikan jabatannya sebagai amanah dan seribu satu janji yang sangat manis didengar.
Masih banyak pejabat yang bangga jika terlambat namun masih ditunggu masyarakat tanpa harus malu dan meminta maaf atas keterlambatannya, justru semakin lama terlambat seolah-olah semakin menunjukkan bahwa dirinya adalah orang yang penting, dihormati, disegani, punya jabatan sehingga layak dan pantas jika masyarakat rela menungggu dalam ketidak pastian akan kehadirannya.
Ironis memang jika pemimpin yang seharusnya melayani dan rendah hati serta menunjukkan integritasnya dengan salah satunya datang tepat waktu justru berperilaku sebaliknya.

Rekruitmen yang belum tersistem

“The right people in the right place” sudah sering didengar, namun dalam menetapkan pejabat publik masih banyak yang hanya mendasarkan pada unsur syubektivitas, kedekatan dll.
Meski sudah ada sistem “fit and proper test” namun masih banyak pihak yang mencoba mengakali sistem tersebut sehingga tetap terjebak bermain dalam kepentingan masing-masing dan meninggalkan unsur obyektivitas. Perekrutan yang tersistem demi menghindari suap, nepotisme dan subyektivitas seharusnya menjadi standar minimal dalam merekerut para pemimpin negeri ini tanpa terjebak dalam aroma SARA. Dengan sistem rekruitmen yang baik diharapkan akan tersaring pemimpin yang benar-benar punya jiwa kepemimpinan, berintegritas tinggi, punya kompetensi dalam bidang yang ditanganinya, sehingga berkontribusi nyata terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat.

Falsafah Ki Hajar yang dilupakan

“Ing ngarso sung tulodo, ing madya mbangun karso, tut wuri handayani, yang dalam terjemahan bebas menjadi “Di depan memberi keteladanan, di tengah membangun motivasi untuk berkehendak baik, dibelakang menyertai selalu ”

Inilah sebenarnya yang diharapkan dimiliki dan diterapkan oleh pemimpin negeri ini yang dapat menjadi teladan lewat satu kata satu perbuatan, penuh jiwa yang welah asih, merakyat, berani melakukan pengorbanan tanpa pamrih, menjadikan jabatan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan secara moral.
Namun dalam kenyataan masih banyak yang melihat jabatan sebagai ajang dan titik masuk untuk memperkaya diri sendiri secara hina namun nikmat melalui KKN dan sebangsanya, dan sayangnya banyak pemimpin yang kehilangan dan mati hati nuraninya, mati rasa dan menjadi tahu tetapi tak mau tahu alias melacurkan diri demi kekayaan yang bersifat sesaat namun sesat.

Semangat “Ora et Labora”

Kalau semua pemimpin negeri ini menyadari bahwa didalam doa ada karya dan didalam karya ada doa, maka pastilah tidak akan terjadi pemimpin yang arogan dan penuh KKN melainkan pemimpin yang berintegritas tinggi, menjunjung kejujuran dan nilai hidup lainnya.

Kalau semua pemimpin sadar akan hari pengadilan terakhir, maka pasti akan menjadikan jabatan sebagai jalan untuk berkarya demi kebaikan sesama dan meninggalkan kenangan yang indah untuk yang dilayaninya melalui karya nyata dalam meningkatkan kesejahteraan umum.

Kalau semua pemimpin sadar bahwa hidup didunia ini hanya sementara dan sebentar saja dimana keselamatan akhirat yang menjadi impian kita didasari perilaku baik kita semasa didunia, maka pastilah para pemimpin berlomba-lomba memberikan yang terbaik yang mampu diberikan selama kepemimpinannya, layaknya peribahasa “Harimau mati meninggalkan belang, Gajah mati meninggalkan gading”

Jadi sekali lagi hidup adalah pilihan, akankah kita menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan TUHAN kepada kita yang menamakan diri pemimpin bangsa ?
Semua berpulang kepada hati nurani dan tujuan hidup kita.


YBT Suryo Kusumo
tony.suryokusumo@gmail.com
www.adikarsa.blogspot.com
www.adikarsagrennet.blogspot.com

Jumat, 28 November 2008

Pembalakan liar, masihkah pelakunya bisa dianggap sebagai orang yang beriman ?

Disetiap musim hujan tiba, maka warga Jakarta mulai cemas akan datangnya banjir tahunan yang sudah merupakan kebiasaan yang tak mungkin dihindari seperti halnya “datang bulan” pada wanita dewasa yang memang sudah menjadi siklus.

Namun sangat berbeda dalam tujuan, siklus haid bulanan bertujuan untuk membersihkan diri dari darah kotor yang ada dalam tubuh, sedang banjir tahunan di DKI justru menambah kekotoran wajah kota, dan yang pasti membersihkan/menghilangkan harta benda masyarakat yang didapat dengan jerih payah yang tak terhingga dalam persaingan yang buas di ibukota akibat terkena banjir.

Dan kalau kita jeli mengamati berita melalui media, maka sekarang bukan hanya Jakarta yang menjadi langganan banjir, tetapi juga di beberapa daerah di indonesia seperti misalnya di beberapa kabupaten di Jawa Timur yang diakibatkan meluapnya sungai Bengawan Solo, atau di Sumatera, Kalimantan (Samarinda) dan juga Sulawesi dst.

Bencana lain yang tak kalah serunya adalah longsor yang telah mengubur hidup-hidup para warga yang tak sempat menyelamatkan diri seperti yang baru saja terjadi di Cianjur.

Berbicara terkait longsor dan banjir maka mau tak mau kita harus mencari penyebabnya dan salah satu yang ditenggarai menjadi penyebab utamanya adalah pembalakan liar yang tak terkendali yang berakibat pada rusak dan tak berfungsinya hutan terutama yang berada di daerah hulu sehingga merusak daur hidrologi dan menyebabkan banjir bandang yang meluluhlantakkan apa saja yang dilewatinya, tak terkecuali rakyat yang tak berdosa yang nun jauh di hilir sana.


Teologi terkait lingkungan

Banyak dari para pelaku pembalakan liar adalah mereka yang mengaku beragama, cinta keluarga (anak, istri/suami), umat beragama yang kelihatan seolah-olah saleh dan menjadi penderma besar bagi institusi agama yang dianutnya, berpendidikan dll namun sudah mati rasa kemanusiaannya karena silau akan harta dunia berupa uang yang mengalir dengan derasnya sederas airmata para korban banjir, longsor akibat pembalakan liarnya.

Jangan tanyakan pada mereka tentang hati nurani dan nilai-nilai kemanusiaan, karena bagi mereka pembalakan liar hanyalah salah satu pilihan metode dalam mencari penghasilan secara cepat dan maksimal jumlahnya dan tidak terkait dengan keyakinan imannya, apalagi dikaitkan dengan dosa tidaknya perbuatan tersebut, sama halnya dengan para penambang yang dengan enteng meninggalkan lokasi pertambangan yang sudah parah kerusakan lingkungannya setelah mengeruk habis kandungan tambangnya dan mengatakan dengan enaknya “inilah harga yang harus dibayar atas nama kemajuan dan pembangunan”.

Kita tahu banyak pemimpin agama yang tutup mata atau tidak mau tahu dengan masalah kerusakan lingkungan dan hanya sedikit yang mengkaitkan perusakan lingkungan dengan dosa yang harus dipertanggungjawabkan secara moral.

Masih banyak umat beragama yang tidak merasa bersalah ketika menebang pohon yang luasnya beribu-ribu hektar , membuang sampah di sembarang tempat, mengkorup dana GERHAN yang bertujuan untuk mengembalikan lingkungan yang telah rusak demi anak cucu kita.

Meski seruan dan pencanangan untuk tanam pohon, menjaga hutan dll terus dikumandangkan dari tahun ke tahun , namun jika tindakan merusak lingkungan yang menyebabkan berbagai bencana (banjir, kekeringan, longsor dll) tetap saja dianggap perbuatan bukan dosa, maka seberapa banyakpun dana yang dianggarkan pemerintah akan sia-sia karena belum terbangunnya kesadaran transedental dan religius dari para warga negara yang mengaku beragama yang memandang alam adalah bagian dari kehidupannya .

Jika hutan / pohon kayu hanya dimaknai secara ekonomis sehingga perlu ditebang habis karena mendatangkan penghasilan yang gede, tanpa berpikir ulang mengenai manfaat ekologisnya, dapat dipastikan dalam jangka waktu yang tak terlalu lama Indonesia akan kehilangan kebanggaannya sebagai salah satu paru-paru dunia, tempat belajar yang lengkap bagi para ilmuwan dunia , kehilangan sumber plasma nuftah yang berguna besar bagi penelitian untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia mendatang.

Meski kita punya polisi hutan/Jaga Wana, dan juga punya pendekar penegak hukum seperti jaksa, polisi dan hakim untuk menegakkan hukum terhadap para pelaku pembalakan liar, namun kembali lagi mentalitas yang korup dan mata duitan dari oknum para penegak hukum (sayangnya jumlah oknumnya rombongan) telah menjadikan pembalakan liar sebagai fenomena umum yang masih dibiarkan terjadi meski kita tahu betapa mengerikan dampaknya bagi kehidupan alam semesta termasuk bagi penduduk dunia.

Menjadikan isu lingkungan sebagai tema kotbah

Kita tahu bahwa “kebersihan adalah sebagian dari iman”, kita juga tahu “Ora et labora “ dimana kita harus berdoa dan bekerja, yang kalau ditarik kesimpulan secara umum ingin menyatakan bagaimana keimanan seseorang harus diwujudkan dalam praksis keseharian sebagai bukti keimanannya yang hidup. Namun dalam kenyataan, masih banyak yang memisahkan antara keyakinan yang dianutnya dengan perilaku keseharian, yang terbukti banyaknya para koruptor dan juga para pelaku pembalakan liar yang tertangkap namun sekaligus menampakkan sebagai pemeluk agama yang taat (seolah-olah).
Menjadi tantangan yang menarik apabila isue lingkungan termasuk didalamnya perilaku tidak terpuji berupa pembalakan liar dibahas secara mendalam dari sisi teologi dalam mimbar agama sehingga menjadi kewajiban kita semua yang mengaku beragama untuk turut secara aktip melestarikan lingkungan sekitarnya.

Penyadaran sejak dini.

Kesadaran akan pemahaman tentang arti pentingnya lingkungan dan upaya kita sebagai manusia mahluk tertinggi Sang Pencipta untuk terus melestarikannya, harus dimulai langkahnya sejak usia dini karena akan lebih mudah menjadikan/membentuk watak/sikap yang peduli lingkungan sejak dini daripada harus merubah ketika dewasa dan sudah menjadi kebiasaan yang salah namun dianggap benar dalam artian membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Seringkali kita terjebak dalam membenarkan kebiasaan, bukannya membiasakan yang benar.

Sejak kecil sebaiknya anak diajarkan untuk mencintai lingkungan karena ketika tumbuh rasa cinta dalam dirinya maka akan merasuk dalam pikiran dan tindakan untuk mewujudkan cintanya akan lingkungan dengan sikap dan perbuatan nyata. Anak diajak mengenal alam lebih dekat dan menyakinkan bahwasanya manusia adalah bagian dari alam sehingga merusak alam berarti merusak diri sendiri. Mencintai alam berarti mencintai kehidupan dan mencintai kehidupan adalah wujud dari kasih kepada Sang Pencipta Alam Semesta. Ketika berjalan jalan ke hutan maka kita dapat diskusikan dengan anak-anak bagaimana pentingya mata air yang dihasilkan oleh hutan yang terjaga dengan baik dan jika rusak maka akan berganti dengan air mata.

Kita dapat menjelaskan kepada aank-anak arti pentingnya kicauan burung yang dengan merdunya sedang memuji Tuhan sang Pencipta, yang dengan sendirinya ikut memudahkan kita dalam berinteraksi dengan makluk lain sesama ciptaanNYA dalam rangka memuliakanNYA.

Alangkah indah jika alam tidak hanya dimaknai sebatas benda ekonomi, yang harus dikuras demi penghasilan yang tak pernah membuat manusia puas, sehingga cara pandang manusia modern harus lebih diperluas dimana alam merupakan wahana untuk mengembangkan diri sebagai makluk tertinggi ciptaanNYA. Hutan sebagai abgian dari alam sudah seharusnya dan sepatutnya dijaga keberadaannya sehingga mampu memberikan mata air yang mampu menghapus dahaga manusia yang haus akan air kehidupan. Kita semau tahu jika dunia mengalami krisis air global, maka betapa dapat dibayangkan kengerian dan tingkat penderitaaan kita atas ketiadaan air yang mencukupi.

Jadi sudah selayaknya jika para pembalak liar tidak hanya dianggap sebagai pelanggar hukum semata, namun sebagai perampas kehidupan dan penghancur dunia secara pelan anmun pasti dan sudah selayaknya kalau mereka disebut teroris karena menebar teror kemanusiaan terkait dengan terpenuhinya air bagi kehidupan maupun aspek lainnya yang baik secara langsung maupun tak langsung akan mempengaruhi kelangsungan hidup manusia.
Dengan demikian pembalak liar sejatinya adalah manusia jelmaan iblis dan penjahat kemanusiaan yang tidak pantas mengaku sebagai seorang yang beriman karena telah mengingkari kemanusiaannya dan berfoya-foya diatas penderitaaan sesamanya.


YBT. Suryo Kusumo

tony.suryokusumo@gmail.com
www.adikarsa.blogspot.com

Rabu, 05 November 2008

Sumpah jabatan yang berubah menjadi sumpah serapah ?

Dalam tradisi pengangkatan seorang menduduki jabatan tertentu, maka pasti akan melalui proses yang dikenal dengan pengambilan sumpah jabatan.
Tentu tidak main-main, dalam pengambilan sumpah selalu menghadirkan pemuka agama yang membawa kitab suci sesuai dengan agama yang dianut oleh yang akan diambil sumpahnya. Artinya dalam proses ini melibatkan TUHAN dalam berjanji ,yang mana salah satu janjinya adalah tidak akan menyalahgunakan jabatannya.
Namun dalam kenyataan , jauh panggang dari api, dimana banyak pejabat setelah disumpah dan dilantik menjadi lupa daratan dan tidak lagi menghiraukan sumpah jabatan

Amanah vs ambil kesempatan (serakah)

Seringkali dalam berbagai media, harapan ditumpukan pada para pejabat yang baru dilantik dan diambil sumpah untuk menjaga amanah rakyat dan melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Mereka diharapkan dapat benar-benar melaksanakan tugas mulianya demi mensejahterakan rakyat yang dilayaninya. Namun tidak jarang dijumpai pejabat setelah diambil sumpahnya kemudian mengingkarinya dan yang lebih buruk lagi menjadi tidak peduli sama sekali dengan sumpahnya yang berarti tidak lagi takut akan TUHAN , menjadi serakah, berpesta pora dalam ber KKN ria, menjadi penjahat kerah putih yang mempertontonkan semangat egoisnya tanpa mau peduli dengan jeritan rakyat yang seharusnya dilayani namun justru diperas, ditipu dan dijadikan sapi perahan.


Merakyat vs Arogan

Menjadi abdi negara dan abdi masyarakat yang baik memang tidak mudah namun bisa dilakukan. Pilihan menjadikan sumpah jabatan sebagai pengingat dini akan pentingnya memaknai jabatan sebagai sarana untuk melayani rakyat akan menjadikan siapapun yang menjadi pejabat akan selalu menjalankan tugas sebagai pelayan publik yang harus melayani, bukan sebaliknya minta dilayani. Apalagi jika ada pejabat yang meminta ajudannya kemana-mana harus membawakan tasnya, membuka pintu mobil dinasnya dll demi menaikkan gengsi sebagai pejabat justru menunjukkan tingginya arogansi dan selain itu juga menunjukkan pejabat yang kurang merakyat Sumpah jabatan yang dimaknai sebagai amanah seharusnya akan membaut seorang pejabat menjadi rendah hati, merakyat dan mau mendengar apa yang dirasakan rakyatnya secara langsung dan sesuai fakta yang dialaminya.


Pengadilan terakhir

Sebagai manusia kita harus selalu sadar bahwa ada kehidupan kekal yang kita percaya yang mana dari setiap kita diminta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya selama di dunia sehingga kita tetap berusaha menjadi bijak tanpa kehilangan nilai-nilai kehidupan menyangkut pemenuhan diri, peningkatan harkat dan martabat sebagai ciptaanNYA.
Dalam menjalani kehidupan ada dua pilihan jalan antara menuju surga/nirwana yang digambarkan penuh kenikmatan yang bersifat abadi atau neraka yang digambarkan dengan segala kertak gigi dan penderitaannya atas azab api neraka.
Jika kita selalu sadar akan adanya pengadilan terakhir, maka dengan sendirinya kita akan menjaga sumpah jabatan sebagai srana peringatan dini untuk tidak berbuat yang berlawanan dengan perintahNYA.

Jadilah bijak

Memang tidak mudah menjadi bijak, namun dengan segala upaya kita pasti bisa meraihnya. Menjadikan sumpah jabatan sebagai sesuatu yang sakral yang harus dipertanggungjawabkan pada Sang Khalik sudah selayaknya demi menjaga amanah dan tanggung jawab yang besar terkait jabatan yang disandangnya. Menjadikan jabatan sebagai jembatan untuk menghubungkan kurnia Tuhan kepada sesama yang membutuhkan bantuan serta sebagai perwujudan praksis keimanan dan tidak menjadikan jabatan sebagai ajang pemenuhan nafsu serakah untuk memperkaya diri dengan jalan ber KKN ria dan sejenisnya merupakan harapan dari diberlakukannya suumpah jabatan.

Kedepan diharapkan sumpah jabatan benar-benar menjadi early warning agar siapapun pejabat yang diambil sumpahnya mampu memerankan secara bijak dan benar demi kesejahteraan rakyat yang dilayaninya dan tidak menyamakan sumpah jabatan dengan sumpah serapah.

YBT Suryo Kusumo

tony.suryokusumo@gmail.com
www.adikarsa.blogspot.com
www.adikarsagreennet.blogspot.com

Jangan gilaaaaaa, dong !

Kalau kita rajin memelototi acara televisi di salah satu stasiun TV swasta, maka istilah diatas sudah sangat populer dikalangan anak gaul, lalu apa korelasinya dengan kondisi NTT saat ini ?

Memang tidak ada korelasi secara langsung, tetapi kalau dilihat perjalanan NTT selama ini, olokan diatas patut menjadi refleksi bagi kita semua untuk mengkoreksi kontribusi kita dalam tahapan kemajuan NTT.

Mengapa setelah hampir berusia setengah abad , NTT masih belum bisa beranjak menjadi propinsi yang mampu berswasembada pangan dan menjadi langganan berita media terkait busung lapar,balita kurang gizi dll?

Mengapa infrastruktur jalan yang dibangun untuk menunjang pengangkutan hasil pertanian serta membuka keterisolasian daerah terpencil belum dapat dilakukan secara optimal dan masih banyak ditemukan jalan antar desa yang tidak layak disebut sebagai jalan karena lebih menyerupai selokan ?

Mengapa hanya “sedikit” embung, waduk dan saluran irigasi teknis yang mampu dibangun untuk memanen air bagi keperluan multi sektor , sementara pengadaan mobil-mobil dinas terus bertambah dan semakin banyak yang lalu lalang ditengah kota ?

Mengapa alokasi APBD terlalu pelit untuk membeli unit PLTS yang memadai untuk rakyat didaerah terpencil yang sulit terjangkau listrik PLN dan apakah rakyat didaerah terpencil tidak berhak menikmati listrik atau tunggu dapat pasokan dari PLN yang katanya tahun 2020 dengan slogannya 100 - 75 , baru seluruh desa di Indonesia teraliri listrik (kalau tidak molor) ?

Mengapa rakyat miskin tidak diberi/digelontor kredit sapi untuk digemukkan sekaligus kotoran ternaknya digunakan sebagai biogas yang dapat dipakai untuk penerangan rumah dan memasok energi untuk memasak ?

Mengapa dalam mengurus KTP tidak dibuat praktis dan cukup sekali jalan sehingga tidak harus memakan waktu lebih dari sehari sehingga perlu kembali lagi, yang selain memakan ongkos transpor atau BBM juga waktu dan tenaga ?

Mengapa dipertanyakan ?

Pihak Dirjen Pajak pernah mengkampanyekan slogan ‘Warga bijak taat pajak”, tetapi sebenarnya itu saja belum cukup karena harus dibarengi dengan ‘Pemerintah bijak layani dan sejahterakan rakyat’.

Tidak cukup apabila hanya pihak rakyat yang diminta membayar PBB, pajak pendapatan, PPn dll, tetapi harus dipertanyakan kembali apakah dana hasil kumpul pajak digunakan secara benar dan tidak dikorupsi?

Pemerintah yang diberi mandat oleh negara untuk mengurus rakyat sehingga diharapkan tercipta “Persatuan Indonesia dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” seperti tercantum dalam sila ke-tiga dan ke-lima Panca Sila yang seharusnya menjadi acuan bagi para pelayan publik yang mampu menggerakkan antusiasme dan spiritualitas para pejabat negara dan PNS untuk bagaimana menjadikan acuan tersebut mampu diterjemahkan ke dalam rencana pembangunan yang holistik, jangan lagi seperti saat ini yang sangat berwajah sektoral, penuh KKN lagi.

Pegawai negeri yang bergerak dalam layanan publik sudah sepatutnya berjuang sekuat tenaga untuk memberikan layanan terbaik kepada para pelanggan (customer) yakni rakyat penghuni republik ini.

Paradigma yang masih menganggap rakyat harus tunduk dan taat karena posisinya yang berada dibawah para PNS dan menganggap dirinya sebagai pejabat yang tak lain adalah atasan rakyat yang punya kuasa merupakan konsep usang yang harus dibuang jauh-jauh dan tak perlu lagi didaur ulang.

Pemerintah diharapkan juga mampu mendorong tercipta dan terbukanya lapangan kerja melalui regulasi yang dilakukan dan mendorong pihak swasta merasa terjamin dan nyaman dalam menanamkan modalnya dan menjalankan usahanya.

Kebiasaan memeras para investor ketika mereka mau berinvestasi harus ditiadakan dan diganti dengan pelayanan satu pintu (one stop service) yang lebih cepat, tidak birokratis, murah dan transparan sehingga bebas dari aroma KKN.

Kebiasaan dalam hukum rimba untuk saling memeras dalam segala aktivitas di masyarakat harus ditiadakan , jangan ada lagi Polisi Lalu Lintas memeras pengguna jalan, Dokter memeras pasien, Jaksa memeras tersangka, Pendidik memeras anak didik, LSM memeras rakyat miskin dll sehingga diharapkan lingkaran pemerasan dapat diakhiri dan digantikan layanan profesional seperti yang sudah dicontohkan oleh Dubes baru Indonesia untuk Malaysia yang menggantikan dubes lama yang meskipun mantan Kapolri dan seharusnya memiliki jiwa mengayomi namun justru tega memeras TKI dinegeri jiran demi memperkaya diri sendiri.

Kemudahan dalam segala bentuk layanan pada rakyat baik layanan dasar (ketersediaan perumahan yang layak namun terjangkau , pangan murah, layanan kesehatan dan pendidikan murah./gratis, maupun layanan tingkat lanjut (MCK umum gratis, sarana untuk para penyandang cacat, akses internet gratis di ruang publik seperti terminal bus, bandara,dll, polisi untuk wisatawan, telepon umum gratis dll) seharusnya menjadi indikator apakah sebuah pemerintahan berjalan dengan baik dalam mensejahterakan rakyat atau sebaliknya membuat rakyat tambah sengsara dan hanya memperkaya dirinya ?

Maka yang dibutuhkan kedepan untuk meningkatkan layanan publik bukan lagi fokus pada isu jumlah pegawai yang tak mencukupi, gaji yang rendah dll, tetapi bagaimana dengan sedikit pegawai yang smart (cerdas), kreatip, inovatip, jujur, disiplin, profesional dengan dukungan teknologi Informasi mampu memberi kemudahan dan layanan yang prima.

Perlu ada reformasi birokrasi yang menyeluruh, terutama mentalitas sebagai pelayan yang berupaya untuk terus menerus memberi layanan terbaik karena dari situlah PNS digaji dan akan terus menerus dituntut memperbaiki layanan.

Habitus lama harus diganti dengan habitus yang baru menuju “NTT bangkit “menggantikan “NTT sakit” sehingga berita tentang penderitaan rakyat di NTT digantikan dengan kesukacitaan karena keadilan sosial bagi seluruh rakyat di NTT telah mulai terwujud.

YBT Suryo Kusumo
tony.suryokusumo@gmail.com
www.adikarsaglobalindo.blogspot.com

Masih ada dan perlukah “Pahlawan” di Indonesia sekarang ?

Setiap memasuki bulan Nopember kita selalu diingatkan akan arti pentingnya makna kepahlawanan, karena setiap tanggal 10 Nopember selalu diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Memang kita harus selalu “Jas merah” alias jangan lupa sejarah yang selalu mengingatkan dan menggambarkan betapa heroiknya “Pertempuran Surabaya “ dan semangat menggelora pantang menyerah dan berani mati dari para gerilayawan di seluruh wilayah Hindia Belanda yang menghendaki Indonesia Merdeka.

Namun dalam konteks kekinian, kita sebaiknya perlu mere-formula kembali pemaknaan dari sebuah kosa kata “Pahlawan”.
Di jaman modern yang penuh dengan hingar bingar keduniawian dan semangat materialistik dan hedonis yang menggebu di tanah air , ditambah dengan peniruan gaya yang tiada habis dari gaya hidup para borju yang eksklusif, apakah tawaran meneladani para pahlawan pendahulu kita masih akan tetap laku? Apakah keteladanan semangat kepahlawanan dari para pahlawan yang telah gugur mendahului kita mampu mengalahkan semangat mengikuti “Bento” seperti lagu yang didendangkan oleh Iwan Fals?

Mana yang lebih porno, ponografi atau korupsi ?

Polemik pro dan kontra yang menghabiskan energi yang terbuang percuma telah dipertontonkan oleh anak negeri dalam menyikapi proses pengesahan RUU Pronografi
Uji publik yang dilakukan dengan setengah hati justru memunculkan banyak dugaaan adanya agenda tersembunyi dari pemaksaan pengesahan RUU ini.
Yang menjadi pertanyaan besar bagi kita apakah dengan pengesahan UU Pronografi, akan membuat bangsa ini menjadi” lebih sopan” dan islami ? Atau jangan-jangan justru dengan adanya UU Pronografi akan memicu rasa kedaerahan yang berlebihan karena beberapa daerah yang minoritas baik dari sisi agama maupun budaya merasa tidak diakomodir alias dilecehkan keberadaannya dan pengesahan UU ini justru semakin mengaburkan atau bahkan menguburkan semangat kebhinekaan dalam kesatuan NKRI yang telah dibangun komitmennya oleh para pendiri bangsa sejak awal berdirinya republik ini. Atau memang tiada persoalan yang lebih besar dan lebih urgen dari sekedar masalah pornografi ?

Mana yang lebih porno, mereka para ABG yang memamerkan pusarnya atau para penguasa yang memamerkan kekayaannya dengan tidak tahu malu meski berasal dari hasil korupsi? Atau mana yang lebih porno, berjoget dengan memakai rok mini di dugem atau menikahi anak seusia SD yang lebih pantas jadi anaknya ?

Aneh memang ketika kita justru tutup mata terhadap persoalan bangsa yang lebih besar berupa korupsi yang sudah membudaya dan berurat berakar di seantero negeri dan lebih suka menyoroti tentang pornografi.
Sementara kita tahu akibat yang ditimbulkan dari perilaku korupsi yang serakah sangat luar biasa dan berdampak luas seperti meningkatnya kemiskinan, meningkatnya penderita busung lapar untuk anak balita, semakin banyaknya wilayah perkampungan kumuh karena semakin buruknya layanan publik yang lebih memihak kepada para pemodal besar, rusaknya lingkungan karena illegal logging dan pengalih-fungsian hutan serta berbagai usaha penambangan demi kepentingan bisnis pemilik modal besar semata sehingga mengakibatkan banjir dan tanah longsor yang banyak memakan korban rakyat jelata yang tidak tahu menahu permasalahannya.

Korban Lapindo, butuh pahlawan yang sebenarnya?

Kita juga dapat melihat bagaimana penderitaan korban Lumpur Lapindo yang kita semua tahu siapa gerangan pemiliknya yang tak lain adalah seorang pengusaha nasional yang sekaligus berperan sebagai pejabat negara. Kita dapat melihat dengan telanjang bagaimana konflik kepentingan tengah bermain dalam penanganan kasus Lapindo baik dari sisi hukum maupun politik. Banyak pihak yang sudah mencoba berjuang dalam rangka memenuhi rasa keadilan bagi korban lumpur Lapindo yang kehilangan harta benda dan penghidupannya, namun kekuatan politik dan uang telah bermain didalamnya sehingga layanan publik yang seharusnya berpihak pada rakyat yang menjadi korban justru berbalik arah menjadi ajang permainan yang menunjukkan sok kuasa dari politik uang yang kotor yang mampu membungkam kebenaran dalam jangka pendek namun tidak akan bisa membungkam kebenaran sejati yang suatu saat pasti akan terkuak seperti halnya kebusukan Orde baru dimana Golkar berperan sebagai mesin politiknya.

Saatnya dibulan Nopember ini kita semua merefleksi kembali apakah pantas rakyat yang menjadi korban Lapindo dibiarkan sendirian merana dalam penantian panjang dalam memperjuangkan hak-haknya akan ganti rugi yang tidak jelas , yang sebenarnya merupakan sebentuk pelanggaran HAM karena membiarkan rakyat kehilangan harta-benda yang dimiliki dan diperoleh dengan susah payah demi mencapai kesejahteraan dalam hidupnya? Lalu dimanakah para Wakil rakyat yang terhormat, para anggota DPD yang mewakili Jawa Timur, pengurus Komnas HAM yang sering lantang berteriak menyuarakan arti penting perlindungan HAM , juga para pemuka agama , para intelektual, aktivis LSM , wartywan dan media cetak dll ?

Apakah tidak ada pahlawan sebenarnya diantara kita yang mampu berbuat demi mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan sila ke-dua Pancasila yakni Kemanusiaan yang adil dan beradab yang telah dicabik-cabik oleh mereka yang mengaku seorang nasionalis?

Pedagang Kaki Lima (PKL) yang selalu saja teraniaya

Peringatan hari Pahlawan sebaiknya dijadikan momen bagi pelayan publik dan kalangan DPR/DPRD untuk kembali melihat modus operandi Satpol PP yang selalu saja “:mengaiaya dan mengejar-kejar” para PKL yang berusaha demi memenuhi kebutuhan hidupnya meski dalam suasana ketidakpastian. Mereka para PKL yang telah mempunyai jiwa bisnis dan telah mempraktekkannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sudah selayaknya memperoleh perlindungan dalam menjalankan usahanya dan difasilitasi untuk semakin berkembang, bukan sebaliknya harus berperilaku seperti tikus yang terus dikejar oleh kucing (Satpol PP) karena dianggap merusak keindahan kota, melanggar Perda dst. PKL perlu diberi ruang/ lahan yang strategis untuk berusaha , bahkan kalau perlu Pemda.Pemkab/Pemkot perlu mengalokasikan dana untuk membeli lahan strategis yang diperuntukkan bagi para PKL dalam menjalankan usahanya. Pilihan ekonomi yang dikembangkan sebaiknya merujuk pada Bapak pendiri Koperasi yakni Bung Hatta dengan ekonomi rakyatnya. Para PKL sudah selayaknya diperlakukan sebagai pembisnis dan investor dari republik ini. Mereka para PKL dapat dijadikan tulang punggung perekonomian bangsa, difasilitasi berbagai layanan bantuan teknis baik dari sisi finansial maupun manajemen bisnis serta diarahkan untuk menjadi pengusaha nasional skala besar.


TKI/TKW, Pahlawan devisa negara yang diabaikan

Kembali pada semangat pengorbanan, yang menjadi tantangan adalah bagaimana layanan publik kita semakin memperlakukan rakyat yang dilayaninya dengan lebih manusiawi, tidak justru memeras dengan berbagai kedok dan cara agar dapat tambahan pendapatan. Sudah banyak dikeluhkan bagaimana buruk serta korupnya layanan yang terkait dengan keimigrasian, perijinan dll yang dialami oleh pengusaha maupun para TKW/TKI.
Para TKW/TKI sepeti yang telah sering dilansir dalam media seringkali menjadi korban dari berbagai sindikat yang mencoba memeras mereka baik sejak saat perekrutan, keberangkatan, bahkan sampai kepulangannya kembali ke tanah air.
Membiarkan TKI/TKW sebagai warga negara yang tidak siap dan tidak terdidik untuk bekerja diluar negeri sebenarnya merupakan kesalahan besar bagi pemerintah kita karena berarti pemerintah dapat dianggap lalai atau melakukan pembiaran dari tanggung jawabnya untuk untuk melindungi warganya dari berbagai ancaman di luar negeri.

Kita seharusnya belajar dari negara maju yang begitu peduli terhadap keselamatan warganya terutama yang berada di luar negeri dengan memberi travel warning, menyiapkan sistem evakuasi bagi warganya dalam kondisi yang membahayakan jiwanya, dan berbagai perlindungan dan kemudahan lainnya.

TKI/TKW sebenarnya merupakan pahlawan meski tidak secara formal diakui, karena selain mencari lapangan kerja secara mandiri untuk dirinya, juga memasukkan dana sebagai devisa negara yang berarti ikut memperkuat struktur keuangan nasional.
Sama halnya dengan guru yang dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, TKI/TKW seperti halnya para jurnalis, aktivis LSM , aktivis lingkungan, aktivis HAM dll juga merupakan “Pahlawan Tanpa Tanda-tanda”.

Semoga semangat dan jiwa kepahlawanan dapat ditunjukkan dengan lebih menghargai mereka yang selama ini terpinggirkan seperti para TKI/TKW, para PKL, Pemulung dan laskar mandiri dll yang telah berjasa bagi pembangunan di republik ini.

Selain itu , juga dapat ditunjukkan dengan berbagai cara seperti tidak lagi melakukan KKN tetapi memberi keteladanan dalam kejujuran yang semakin langka dinegeri ini, tidak merusak lingkungan namun menyelamatkan dan melestarikannya, memberi senyuman yang ramah dan tumpangan kepada sesama atau bangsa lain yang kebetulan berkunjung kenegeri ini, tidak menebar teror atas nama apapun, berdisiplin dan ikut antre dalam memperoleh sesuatu serta tidak membiasakan memakai jalan pintas dengan kuasa dan uang, ikut menjaga kebersihan dengan tidak membuang sampah sembarangan serta mendidik anak-anak sejak usia belia untuk berdisiplin dalam membuang sampah , mengejar ilmu untuk kebaikan sesama, serta seribu satu jalan lain yang dapat ditempuh.


YBT Suryo Kusumo

tony.suryokusumo@gmail.com
http://www.adikarsa.blogspot.com/
http://www.adikarsagreennet.blogspot.com/

Senin, 27 Oktober 2008

Spiritual versus Spirit-uang

Dalam kehidupan modern yang begitu cepat perubahannya, ternyata membawa konsekuensi yang luar biasa terhadap pemahaman akan arti penting menjalani sebuah proses yang dinamai kehidupan.
Dalam dunia kejiwaan , sesuatu yang mampu menggerakkan dari hati yang terdalam sering dikenal sebagai spiritual.
Bahkan kata spriritual sering dikaitkan dengan keyakinan beragama yang dikenal dengan spiritualitas.
Begitu pentingnya spiritualitas dalam kehidupan ini yang mampu menjadikan seseorang dengan gigih dan pantang menyerah menggapai sebuah impian untuk mewujudkannya dalam dunia nyata.
Spirit atau semangat , mampu menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang positip yang secara rasio/logis sulit bisa terjadi. Begitu kuatnya spirit para pejuang kemerdekaan untuk mewujudkan tekad “merdeka” sehingga mampu mengorbankan jiwanya dalam perjuangan heroik untuk memerdekakan bangsa dari penjajahan, kemiskinan, keterbelakangan, penindasan dan kesengsaraan yang seolah tiada berujung.
Semangat merdeka membuat para pejuang secara konsisten dan persisten tidak kenal lelah dan takut untuk menderita melalui jalan gerilya yang penuh onak dan duri untuk terus berjuang dengan segala keterbatasan dalam meraih cita-cita merdeka.

Namun setelah 63 tahun merdeka apakah spirit kebangsaan dan kemerdekaan tersebut masih ada dan melekat dihati sebagian besar rakyat Indonesia ? Apakah kita yang mengalami era kemerdekaan terutama generasi muda yang bergaya hidup modern, berkiblat ke hedonisme dengan segala pernik-pernik kehidupan “dugem” yang lebih memuja kenikmatan masih tetap dan terus mempunyai semangat kebangsaan ? Juga bagi para politisi Senayan apakah momen 100 tahun Kebangkitan Nasional mampu membangunkan dan mengembalikan spiritual berpolitik demi nasionalisme-inklusip untuk mensejahterakan rakyat Indonesia / konstituen yang diwakilinya sebagai wujud dari sila ke-lima Pancasila atau lebih memilih berpihak pada para pemodal yang membangkrutkan perekonomian nasional kita ?

Melihat bandul pergerakan politik yang terjadi akhir-akhir ini kelihatannya semakin menyakinkan kita bahwa para politisi dan penyelenggara negara secara tidak sadar maupun sadar telah tergadai atau menggadaikan negara ini pada kekuatan asing yang sudah menerobos ke relung terdalam dalam masyarakat kita dengan berbagai trik dimana tanpa sadar atau yang lebih parah lagi tanpa pernah mau tahu, mengakibatkan kesengsaraan bagi rakyat kecil yang memberi mandat kekuasaan pada mereka,.


Spirit-uang yang menggila

Masyarakat kita semakin materialistis dan memuja kebendaan secara berlebihan dan melupakan nilai-nilai luhur warisan pendahulu kita sehingga seringkali dalam setiap tindakan yang diambil mengabaikan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. Kita sering dengar dalam pembicaraan keseharian bagaimana kegiatan keseharian kita lebih dikendalikan dan didasari oleh UUD ( Ujung-Ujungnya Dana) . sehingga terjadi pemerasan berkelanjutan dimana hampir semua sektor kehidupan telah dijadikan komoditas yang diperjualbelikan.

Sangat disayangkan, sikap demikian telah menjerumuskan negara kedalam situasi yang rumit dengan banyaknya hutang, penawaran yang murah dari potensi dan hasil tambang kita, permasalahan sosial yang ditimbulkan dimana kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena mudahnya kita “dibeli” pihak asing dengan iming-iming memperoleh uang dalam jumlah banyak alias menjadi kaya mendadak tanpa perlu bersusah payah.

Spirit-uang telah mengalahkan spirit-solidaritas dimana atas nama ketertiban umum para petugas Satpol PP telah menunjukkan muka beringas tanpa rasa kemanusiaan mengobrak-abik asset/modal para pedagang UKM kaki lima yang dianggap telah memperburuk keindahan kota, mematikan mata pencaharian hidup keluarga mereka hanya karena mereka berdagang tidak pada tempatnya. Spirit-uang telah menyebabkan lahan-lahan komersial jatuh ke tangan pemodal kuat dan menyingkirkan para pedagang kaki lima yang punya spirit -wirausaha.


Nasionalisme vs kapitalisme

Dalam realita, tidak mudah mengedepankan kepentingan nasional dibanding kepentingan pemodal, karena seperti kita telah tahu, kekuatan pemodal (baik dalam negeri dan asing) telah masuk kerelung terdalam dari aktivitas bangsa kita dengan cara tersamar, terselubung dan tidak kasat mata dengan menggunakan tangan-tangan bangsa kita sendiri yang mau menjadi penindas terhadap bangsanya demi kehidupan yang penuh kemewahan. Apalagi kita sudah lama terninabobokkan dengan cara hidup yang memuja kenikmatan dan materialistis.
Lihat saja kasus Jaksa Urip, kasus Al Amin Nasution, kasus BLBI telah menunjukkan bagaimana berbagai sektor kehidupan bangsa menjadi sangat mudah untuk “dibeli” oleh kepentingan segelintir orang dan melupakan kepentingan rakyat.

Kasus privatisasi air, perebutan HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) oleh warga asing dimana banyak hasil kekayaan intelektual bangsa kita telah dipatenkan dan menjadi milik
asing semakin menunjukkan kelemahan bangsa kita menuju BERDIKARI.
Telah semakin nampak dalam kehidupan nyata di Indonesia dimana kedepan yang akan menguasai bukan lagi para politisi dan militer namun justru para pemodal alias pengusaha.

Dan kita bisa melihat bagaimana nasib para korban lumpur Lapindo yang terlunta-lunta di negeri sendiri dalam memperjuangkan hak-haknya ketika pemerintah harus berhadapan dengan pemodal yang sekaligus bertindak sebagai pejabat negara.

Pengusaha yang menjadi politisi tanpa kontrol yang kuat, akan menjadi penjahat kemanusiaan dan hal ini telah ditunjukkan oleh berbagai pemimpin didunia dimana pemimpin yang berasal dari kalangan pengusaha menjadi sangat serakah dan menyalah gunakan kekuasaannya untuk menumpuk kekayaan keluarganya.

Demikian pula kalangan pemimpin yang berasal dari non pengusaha kemudian berkolusi dengan pengusaha dan tanpa ada kontrol yang kuat akan sangat berbahaya seperti yang terjadi di Indonesia.


Kembali ke jati diri bangsa

Sudah saatnya spirit-uang yang terjadi saat ini digantikan oleh spiritual yang mendasarkan pada prinsip solider sebagai sebuah bangsa yang senasib dan sepenanggungan yang mendasarkan pada Panca Sila. Kita harus kembali pada jati diri bangsa yang lebih mengedepankan semangat gotong royong menuju berdikari dan meninggalkan kebiasaan buruk sikap “mengemis dan berhutang”.

Kita harus kembali secara lebih mendalam menyelami lirik lagu Indonesia Raya yang lebih dulu mengedepankan “membangun jiwa baru kemudian bangunlah badannya”.
Sebagai bangsa yang teruji dalam berbagai kesulitan dan pencobaan, sudah saatnya kita kembali merefleksi arah perjalanan pembangunan bangsa ini yang tidak hanya mengedepankan sisi ekonomi saja tetapi juga secara holistik memperhatikan semua aspek yang mempengaruhi keberlanjutan kita bersama sebagai sebuah bangsa.


YBT Suryo Kusumo
tony.suryokusumo@gmail.com

www.adikarsa.blogspot.com
www.adikarsagreennet.blogspot.com

Senin, 13 Oktober 2008

Natal, momentum untuk mewujudkan “Indonesia Baru?”

Setiap penghujung tahun, kita selalu diajak untuk merenungkan sebuah kosa kata yang telah akrab dalam kehidupan keseharian namun sulit sekali terwujud secara berkelanjutan yakni kata ‘DAMAI’.

Natal selalu mengajak kita untuk kembali ke fitrah, mempertanyakan arti sebuah perjalanan kehidupan dari mulai kelahiran kita sampai periode saat ini dalam sebuah kosmos yang kita kenal sebagai bumi yang satu tempat kita berpijak dan berkiprah.

Damai dibumi, damai dihati, damai dalam kemajemukan (suku, bangsa, agama, adat-istiadat, bahasa, budaya, ideologi dan perpolitikan). Bahkan para pendiri negara ini sejak dini telah meletakkan sebuah pondasi filosofi yang kokoh yang menekankan pentingnya perdamaian sehingga tercapai kompromi dalam perumusan PANCASILA .

Dalam Pembukaan UUD 45 , bapak bangsa mempersiapkan berdirinya sebuah negara yang damai melalui ungkapan yang menyatakan ‘ikut menjaga ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi, keadilan sosial ….’

Namun akhir-akhir ini kita sebagai sebuah bangsa merasakan betapa semakin jauhnya kita dari harapan bapak bangsa. Perayaan keagamaan yang harusnya disyukuri dengan penuh suka cita dan kemenangan, berubah menjadi kekuatiran dan ketakutan oleh adanya teror berupa ancaman tindak kekerasan dan terjadinya pengeboman. Kemajemukan yang seharusnya makin memperkaya satu dengan yang lain dan menambah kearifan kita seperti halnya ketika melihat warna pelangi yang meskipun berbeda warna namun indah jika menyatu, ternyata tidak mampu membendung emosi dan sentimen keagamaan, kedaerahan yang sempit.

Perbedaan bukan lagi dianggap sebagai berkah, namun justru lebih dilihat sebagai ancaman, dan berujung pada konflik yang mengarah pada pembinasaan umat dan peradaban manusia. Kita semakin terjebak dalam kesempitan cara pandang dan berpikir, sehingga semakin meninggalkan akal sehat dan nurani. Ketika kita melakukan pembenaran untuk membinasakan satu dengan lainnya hanya karena berbeda agama, suku dll, maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita dapat mempertanggungjawabkan perbuatan kita pada Tuhan, Sang Pencipta ? Kalau kita membunuh untuk membela saudara kita yang seiman, apakah surga akan penuh dengan orang yang bergelimang darah ditangannya ? Dan apakah kekerasan berupa pembunuhan menjadi solusi terbaik dan tidak menimbulkan dendam berkelanjutan ?

Mengapa ampunan dan kata maaf tidak mampu mengalahkan rasa benci dan dendam ? Bukankah kita lebih baik mengasihi musuh yang menganiaya kita sehingga dengan kasih maka diharapkan musuh akan bertobat untuk tidak memakai jalan kekerasan sebagai penyelesaian masalah yang dihadapi. Lalu kepada siapa kita akan membagi KASIH jika tidak kepada sesama kita, meskipun berbeda SARA ?


Ketika hati nurani mesti bicara

Mari dalam mensyukuri nikmat dan anugerah yang kita terima dalam hidup ini, kita telah mampu lebih mengedepankan suara hati nurani yang bersih, bening dan jujur. Biarlah Sang Maha Kuasa menyentuh hati kita lewat nurani kita, sehingga kita tidak mengotori kehidupan yang sedang kita jalani dengan berbagai bentuk kekerasan, baik kekerasan fisik maupun non fisik. Kita mencoba kembali untuk merajut benang-benang persaudaraan yang terkoyak oleh berbagai sebab dengan tali silaturahmi dan persaudaraan sejati. Coba kita tengok kembali perjalanan hidup kita selama setahun terakhir ini sehingga kita mampu kembali ke fitrah dan diawal tahun baru 2008 kita mampu menjadi manusia baru yang sungguh-sungguh berubah mengarah ke kebaikan budi dan nurani.

KKN dan sejenisnya juga merupakan bentuk lain dari teror bom di Bali dan sebentuk kekerasan lain yang sangat halus karena menyerobot/ merampas hak orang lain yang bukan milik kita, serta memutus rantai rahmat yang diberikan Tuhan YME kepada sesama kita melalui kekuasaan yang kita miliki ?

Bukankah kekuasaan yang ada ditangan kita adalah amanah dari Sang Maha Murah ? Mengapa kita menjadi serakah dan buta hati untuk mengambil hak orang lain maupun memeras orang lain yang tak berdaya karena kebetulan kita diberi sedikit kekuasaan yang bukan milik kita karena sebenarnya merupakan mandat dari rakyat yang setiap saat dapat dicabut? Bukankah memperdagangkan/ membisniskan kekuasaan yang kita miliki, berarti mengkianati pengabdian kita yang tulus kepada sesama kita ?


Lain kata, lain perbuatan ?

Marilah kita bangun raga kita ini dengan jiwa yang bersih dan jauh dari kepura-puraan serta melepas topeng yang tidak perlu kita kenakan. Janganlah kita menjadi bangsa pendosa yang terkutuk karena tidak mampu memanfaatkan waktu yang diberikan Tuhan kepada kita untuk bertobat sejati ? Atau kita menjadi bangsa munafik yang seolah-olah sangat religius tetapi sebenarnya sangat jauh dari sumber kehidupan itu semdiri yakni Sang Pencipta ?

Bagaimana kita harus menerangkan kepada komunitas dari bangsa lain yang melihat kesemarakan kehidupan beragama di Indonesia yang tinggi yang ditandai dengan siaran acara televisi berupa mimbar agama dari semua agama, sinetron yang berbau religi , namun disisi lain KKN jalan terus bahkan masuk ke kalangan DPR yang nota bene wakil rakyat dan juga yudikatif ?Atau kita termasuk golongan bangsa TOMAT (Tobat namun kemudian kumat) untuk selalu menipu Tuhan dengan retorika dan segala puja puji yang penuh kepura-puraan ? Bagaimana kita mengaku sangat toleran satu dengan yang lain , sementara beberapa tempat ibadah mengalami pembakaran, dirusak, bahkan dilakukan pengeboman ?

Bagaimana sila kedua Pancasila menegaskan pentingnya rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, sementara orang-orang pinggiran terus digusur tanpa alternatip jalan keluar yang lebih baik? Merampas hak hidup berupa pekerjaan di sektor non formal melalui penggusuran paksa hanya karena melanggar aturan PERDA namun tanpa solusi, adalah sebentuk pembunuhan keji secara perlahan dan menghilangkan harapan hidup seseorang beserta keluarga yang ditanggungnya.

Bagaimana kita mengaku beradab, sementara di beberapa tempat, orang dapat saling membinasakan seperti layaknya anjing hanya karena adanya perbedaan SARA? Jangan kita terjebak dalam romantisme sempit sentimen keagamaan maupun kesukuan yang membuat kita kerdil dan buta hati, dimana kita seolah-olah Sembahyang Terus, namun Mencuri/ Maksiat tetap Jalan (STMJ)

Natal, melahirkan “kesadaran baru”

Natal, dalam artian “kelahiran” seharusnya mampu juga melahirkan sikap dan kesadaran baru yang berbeda dari sikap lama. Apabila sebelumnya kita gemar ber KKN ria maka semangat NATAL seharusnya mampu mengubah menjadikan diri kita lebih mencintai kejujuran dan solider dengan rakyat kecil yang menderita.

Kalau sebelumnya kita lebih mementingkan diri kita dan keluarga saja, NATAL kali ini seharusnya mampu memperluas perhatian kita untuk kepentingan yang lebih luas yakni kepentingan umu/publik.

Sebagai pegawai negeri yang tak lain merupakan pelayan publik misalnya, bagaimana layanan publik menjadi lebih baik dan manusiawi. Tantangan bagi dinas-dinas pemerintah untuk setelah NATAL yakni dalam awal tahun 2008 untuk tidak kalah dalam kualitas pelayanannya dengan BUMN seperti BANK BUMN, TELKOM dll maupun dengan sektor privat seperti kantor TELKOMSEL INDOSAT dll. Kita dapat merasakan bagaimana sektor privat melayani warga sebagai pelanggan dengan penuh kesungguhan, sikap yang sangat ramah, ruangan yang bersih dan ber AC antrian yang tertib dan tempat duduk yang nyaman, Alangkah indahnya jika hal yang sama juga dapat dinikmati ketika kita masuk kantor dinas-dinas pemerintah dimana rakyat diperlakukan seperti halnya pelanggan (customer).

NATAL seharusnya mampu menggugah kesadaran kita akan arti pentingnya sikap “kesederhanaan” seperti yang diteladankan Yesus sendiri. Kita kurangi kebisaaan hidup penuh foya-foya dan boros digantikan dengan “sikap hidup hemat dan berinvestasi”
Kita hentikan kebiasaan ketergantungan pada alkohol dan narkoba , mabuk-mabukan, pesta berlebihan, termasuk juga sebenarnya kebiasaan merokok yang seolah-olah tidak merugikan, namun sebenarnya juga berbahaya karena dapat mengakibatkan sakit jantung, impotensi, kelainan pada janin, dan juga membahayakan bagi orang lain yang meski tidak merokok namun sangat berbahaya apabila menghirup asap rokok yang dikenal dengan perokok pasip.

NATAL sebaiknya mampu meningkatkan kesadaran arti penting menjaga kelestarian lingkungan. Natal yang kebetulan selalu jatuh pada musim hujan dapat jadi momentum untuk melahirkan kebiasaan baru untuk “menumbuhkan tanaman alias menanam dan memelihara tanaman” yang mampu menghijaukan dan menyejukkan lingkungan kita terutama lahan tidur, lahan kritis dan lahan disekitar kita yang belum termanfaatkan. Kebiasaan menumbuhkan tanaman juga mampu membersihkan polusi udara, mengurangi rasa stres, menjadikan alam sebagai sahabat, memberi tempat bagi kehidupan yang layak bagi burung dan satwa lainnya.

NATAL dapat dijadikan sebagai awal untuk lebih meningkatkan sikap hidup bersih (termasuk jiwa kita), membiasakan membuang sampah pada tempatnya, menjadikan ruang publik seperti pasar tradisional , rumah sakit umum, sekolah dll menjadi lebih bersih, tertib, teratur dan enak dipandang.


Mari kita bulatkan tekad untuk kedepan, melalui Natal tahun ini kita mampu lahir kembali sebagai bangsa yang besar dalam mewujudkan nilai luhur religiositas, meninggalkan kebiasaan dosa berupa KKN, politik uang, perjudian, mabuk, kekerasan dalam segala bentuknya , mampu meningkatkan pelayanan publik dengan standar yang lebih baik, mewujudkan kasih dalam perbuatan nyata sehari-hari diseputar tempat kerja, lingkungan keluarga kita, tetangga dll.

Kita jangan terjebak dalam pesta pora yang mengenyangkan perut semata, memuja kemewahan dalam konsumsi pakaian, pohon natal dan gemerlapnya lampu dan hiasan Natal maupun terperangkap dalam “Sinterklas Kapitalis’, namun mampu menggali arti kesahajaan, pengorbanan untuk mampu mengantar ‘kelahiran anak manusia’ oleh seorang gadis desa yang lugu bernama Maria, perwujudan rasa tanggung jawab dan kebapakan dari Yosep, dan yang paling penting adalah bagaimana Allah Bapa menyambung kembali tawaran keselamatan melalui kelahiran PutraNYa Yesus ke dunia. Mari kita wujudkan Natal yang penuh kasih dan damai, tidak dengan ucapan maupun jabat tangan semata, melainkan dalam aksi nyata dan praksis kehidupan keseharian kita.

Membagi kasih tanpa merasa berbuat lebih, mendorong terciptanya kedamaian tanpa kekerasan, menyongsong tahun baru 2008 dengan semangat pelayanan dan pengabdian yang tulus demi peningkatan harkat dan martabat sesama.

Kita wujudkan Indonesia Baru dengan habitus baru yang berwajah humanis manusiawi dalam tatanan negara yang modern dan demokratis, menjunjung harkat dan martabat manusia melalui penghargaan terhadap HAM. Semoga


YBT Suryo Kusumo
Pengembang masyarakat perdesaan
tony.suryokusumo@gmail.com

Gereja Katolik yang transparan di era keterbukaan, sebuah harapan.

Dalam menyikapi perubahan masyarakat di Indonesia, gereja selalu berada didepan untuk menyuarakan keprihatinan rakyat berupa surat gembala dan press release yang disebarkan melalui berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Gereja mencoba untuk tetap jernih melihat permasalahan bangsa dan tidak mau terjebak serta selalu menjaga jarak dengan kegiatan politik praktis yang hanya berorientasi kekuasaan semata, cenderung semakin tidak etis, menghalalkan segala cara yang sering bertentangan dengan moralitas. Gereja Katolik secara hirarki melalui KWI selalu berusaha untuk jujur menyampaikan pandangannya demi kebaikan bangsa dan negara. Mgr. Soegiyopranoto SJ selalu berpesan hendaklah umat Katolik di Indonesia menjadi 100 % Indonesia dan 100 % Katolik. Kita diajak meninggalkan sikap eksklusif yang cenderung kerdil seperti bonsai yang enak dipandang, namun tidak produktip dan berani untuk keluar menuju sikap yang inklusip/terbuka.

Keterbukaan internal gereja

Dalam perjalanan perkembangan gereja Katolik di Indonesia, kita mengalami pasang surut seturut kehidupan politik dan gereja berusaha untuk tegak dalam menyikapi ketidakadilan, kemiskinan, pelanggaran HAM dan juga KKN. Namun sayang seringkali didalam masalah internal gereja, kita cenderung menutup diri terhadap tuntutan reformasi baik dalam hal penggembalaan umat maupun pendekatan yang dilakukan dalam menyikapi persoalan yang ada di seputar paroki. Memang kalau dilihat secara sepintas gereja Katolik unggul dalam bidang pendidikan, kesehatan dan karya amal karitatif, seperti yang juga telah diakui oleh Gus Dur selaku Presiden Republik Indonesia, terutama dibidang pendidikan.
Gereja juga menampakkan wajah ‘yang lain daripada yang lain’, terutama dalam keberpihakan dan pelayanan kepada kaum miskin dan tertindas seperti yang telah ditunjukkan oleh sepak terjang Romo Mangunwijaya Pr. Juga keberanian Institut Sosial Jakarta dibawah koordinasi Romo Sandiyawan SJ dalam membela hak buruh dan melindungi aktivis PRD dari kesewenangan penguasa ORBA telah sedikit banyak memberi warna pada penerapan/praksis ajaran sosial gereja. Namun kalau kita mau mengkaji lebih mendalam secara cermat, jernih,dan jujur, sering terlihat apa yang nampak baik dari luar, masih ada sedikit tercecer permasalahan internal gereja, seperti terlihat dalam paroki, dimana ada potensi maupun konflik terselubung, yang apabila tidak hati-hati mengelolanya secara arif dalam terang Roh Kudus, akan menimbulkan benturan yang dapat membelokkan arah biduk gereja cenderung semakin menjauh dari tujuan yang hakiki. Sudah saatnya di era reformasi, otonomi daerah, dan keterbukaan, gereja juga mulai berani mengakui kelemahan manajerial yang dimiliki dalam penggembalan umat, pengelolaan paroki maupun yayasan yang ada. Seberapa jauh gereja mulai berani membuka dialog iman, dialog karya, maupun dialog kehidupan, memberikan ruang gerak yang lebih luas untuk partisipasi umat melalui pendekatan yang partisipatip, mempertanggungjawabkan kepada umat tidak hanya jumlah penerimaan dana, namun juga penggunaannya baik yang dikelola biarawan/wati maupun oleh awam.

Audit publik, sebuah tawaran

Mungkin tawaran audit publik bagi keuangan di lembaga gereja menjadi tidak popular dan dicurigai sebagai bentuk ketidakpercayaan diantara kita. Namun jika kita mau melihat lebih jauh demi kebaikan gereja, dari lubuk hati yang terdalam niatan tawaran ini semata-mata untuk menjadikan gereja yang kita cintai terus menerus eksis disetiap perubahan jaman dalam pelayanannya baik rohani maupun sosial. Kita harus berani membuka kelemahan-kelemahan yang kita miliki, kita rasakan sehari-hari dan secara realitas ada didepan mata kita, daripada hanya berani bicara sembunyi-sembunyi dan dibelakang saja.Keterbukaan menjadikan dan membawa kita semua menjadi lebih lapang dada dalam pelayanan, serta mengurangi potensi konflik yang dapat ditimbulkan oleh sikap kecurigaan yang berlebihan dan tak beralasan baik terhadap pastor, suster, bruder, awam yang menjabat dalam dewan paroki maupun yayasan yang bernaung dibawah gereja. Kesulitan yang dihadapi gereja harus diketahui oleh umat dan dicarikan solusi secara bersama-sama secara dialogis. Permasalahan sosial ekonomi seputar paroki seperti bagaimana menangani masalah kemiskinan, ketiadaaan modal usaha, ketidakmampuan menyekolahkan anak, kecanduan narkoba, sek bebas, kekerasan terhadap perempuan, pengangguran, buruh migran, PRT (Pekerja Rumah Tangga) yang dianiaya dll terutama didaerah mayoritas katolik, sebenarnya bukan hanya masalah paroki lokal, namun juga menjadi tanggung jawab kita semua sebagai wujud solidaritas kristiani. Dan apabila diperluas, maka permasalahan tersebut yang ada ditengah-tengah bangsa Indonesia adalah masalah dan keprihatinan yang dihadapi kita bersama untuk secara bersama-sama pula mencarikan jalan keluarnya.
Kita harus berani melihat realita masih begitu banyak karyawan yang bekerja untuk lembaga gereja mengalami kesulitan untuk mencapai kehidupan yang layak. Seringkali mereka yang mengabdi pada lembaga gereja menjadi pasrah terhadap apa yang dialami meskipun dirasakan hal itu sebagai sebuah ketidakadilan. Ketidak beranian mereka menyuarakan aspirasi, seharusnya ditanggapi secara arif oleh kita sebagai bagian dari gereja untuk menolong mereka melalui kebersamaan kita, baik melalui loby/pendekatan kepada pimpinan untuk memperbaiki sistem kesejahteraan mereka dll. Disamping itu untuk mewadahi kebersamaan kita baik secara internal gereja maupun eksternal bersama masyarakat umum, perlu dikaji secara mendalam mengenai perlu tidaknya membentuk lembaga (LSM) di tiap paroki sebagai ajang untuk dialog iman, dialog karya, maupun dialog kebangsaan dalam mewujudkan kesatuan kita sebagai bagian tak terpisahkan dari replublik ini dalam membangun karakter kebangsaan (nation character building) untuk bersama-sama membangun masyarakat madani yang berwajah keadilan, kedamaian, berbudaya, beradab, bermartabat dan manusiawi dll. LSM ini dapat menjadi wadah untuk dialog kehidupan, dialog iman, dialog karya, dialog cultural dll bagi sesama umat maupun dengan umat bergama lain, menjadi saluiran untuk mengumpulkan dana dari penderma (terutama umat katolik yang kaya di paroki) yang ingin membantu sesamanya maupun dari lembaga penyadang dana. LSM ini dapat berperan sebagai fasilitator, motivator, konsultan, mediator dan asal bukan koruptor, dalam membantu menyelesaikan permasalahan sosial melalui pendekatan partisipatip, dialogis, membangun keswadayaan melalui pemberdayaan. Pendekatan karitatif untuk pengembangan masyarakat sebaiknya mulai dikurangi, kecuali untuk hal-hal yang mendesak dan darurat.
Dengan demikian terbangun kebersamaan diantara umat yang berbeda keyakinan dan terkurangi masalah sosial diseputar paroki sehingga potensi yang dapat menyulut konflik horizontal diantara masyarakat dapat diminimalisasi. Dalam kondisi demikian maka peran provokator untuk memprovokasi masyarakat melalui isu SARA dapat ditangkal karena terjembataninya dialog antar agama, dialog karya, dialog kehidupan sehingga jurang antara kaya dan miskin dapat terkurangi, silaturahmi antar umat beragama melalui kegiatan sosial sebagai wujud dialog dapat semakin terjalin sehingga terbangun pemahaman bersama diantara kita sebagai sebuah bangsa yang majemuk dalam suku, etnis, agama, budaya namun mau dan mampu bersatu seperti tertuang dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Semoga!

GEREJA KAUM MISKIN, MASIH PERLUKAH ?

Sebuah slogankah ?

Sering kita mendengar dalam berbagai kalangan Gereja Katolik ungkapan gereja kaum miskin. Dan sejauh ini dapat dipertanyakan dalam diri sendiri apakah gereja benar-benar berpihak pada kaum miskin, dalam pengertian sebagai bagian dari gereja itu sendiri. Jangan sampai terjadi ungkapan gereja kaum miskin hanya sebuah slogan yang hanya manis untuk diucapkan namun sangat lain dalam kenyataan.

Pengertian kaum miskin.

Sangat sulit mendefinisikan atau merumuskan kriteria kaum miskin. Miskin dapat dalam bentuk jasmani maupun rohani. Kemiskinan sendiri sebenarnya tidak diharapkan dan disukai karena hidup dalam kemiskinan identik dengan kehinaan dan penuh problema. Dalam dokumen MASRI ( Majelias Antar Serikat Religius Indonesia) tahun 1984 dilukiskan secara cukup luas apa yang dimaksud orang miskin dan kecil yakni antara lain orang yang tak berdaya karena mengalami aneka macam pemiskinan …. yang membuat semakin banyak orang hidup semakin tidak manusiawi dan tidak menggambarkan bahwa dia adalah citra Allah yang bermartabat sebagai manusia ( no. 6). Pada umumnya mereka hidup dibawah taraf kewajaran manusia (no 7) (Lihat dalam buku Kemiskinan dan Pembebasan hal 98).

Proses pemiskinan

Dalam pengertian kaum miskin diatas, disebutkan bahwa kemiskinan terjadi akibat tak berdaya dalam menghadapi berbagai macam pemiskinan yang disebabkan adanya ketidak-adilan dalam berbagai aspek baik sosial, ekonomi, budaya maupun politik.

Namun banyak orang berpendapat bahwa kemiskinan terjadi akibat kesalahan orang miskin sendiri yang malas, tidak mau maju, tidak jujur/suka menipu dsb. Didalam masyarakat memang masih dijumpai sebagian kecil kelompok orang miskin yang mempunyai sifat demikian. Namun kita tidak boleh menutup mata bahwa sebagian besar kaum miskin yang ada disekitar kita adalah orang-orang yang telah bekerja keras dan ulet. Namun kehidupan mereka tetap saja tidak berubah. Kita dapat melihat petani-petani kecil yang telah bersusah payah mengolah lahan, menanam berbagai tanaman kemudian setelah panen mereka jual ke pasar. Mereka, para petani berangkat pagi hari menuju pasar sering hanya dengan berjalan kaki. Kemiskinan yang terjadi pada petani kecil jelas tidak dapat disalahkan pada petani itu sendiri melainkan karena struktur ekonomi yang sering merugikan kedudukan mereka. Harga pertanian yang tidak boleh melonjak sementara harga kebutuhan sehari-hari (dari hasil industri) mengalami kenaikan yang pesat seiring dengan kenaikan harga BBM dan gaji pegawai negeri.

Proses pemiskinan yang lebih jelas terjadi dapat terlihat pada sesosok tenaga kerja/ buruh di perkebunan yang kehidupannya hampir tetap sama dari generasi ke generasi akibat upah yang kurang memadai, sementara para staf hidup dengan sangat layak.
Ini hanya sebuah gambaran nyata dari sekian banyak proses pemiskinan yyang sering tidak kita sadari yang terjadi disekitar masyarakat kita.

Jalan keluar masalah kemiskinan ?

Memang tidak mudah mencari jalan keluar dari masalah kemiskinan.
Sudah banyak para pakar dari berbagai disiplin ilmu berusaha menyelesaikan masalah kemiskinan dengan berbagai metode dan pendekatan. Ada yang menghendaki lewat jalur hukum (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dsb), dengan himbauan (misal pola hidup sederhana,kesetiakawanan sosial dsb), khotbah diberbagai kegiatan keagamaan dsb.

Sebenarnya sebagai umat kristiani kita selalu diingatkan akan ajaran yang utama yakni cinta kasih. Dan hanya kasih dalam diri kita masing-masing yang mampu merubah wajah disekitar kita menjadi lebih manusiawi dan mampu mengurangi prosentase kemiskinan. Apabila kita dapat saling memperhatikan, menolong memberi “kail” pada kaum miskin, maka proses pemiskinan akan semakin terkikis dan digantikan oleh proses saling mengasihi yang membawa masyarakat menuju kedamaian dan kebahagiaan. Pendidikan Non Formal (PNF) dapat dijadikan jembatan bagi kaum miskin yang tidak sempat menikmati pendidikan formal untuk mendapatkan ketrampilan / skill yang dapat dijadikan bekal untuk hidup mandiri. Hanya saja PNF mempunyai kendala yang cukup besar yakni masalah dana yang diperlukan cukup besar untuk penyelenggaraannya serta dibutuhkan tenaga-tenaga yang rela menyisihkan sebagian waktu hidupnya untuk kemajuan sesamanya.

Semoga kita sebagai bagian dari gereja mampu mewujudkan wajah gereja yang berpihak pada kaum miskin dalam setiap perbuatan dan tingkah laku kita sehari-hari berlandaskan kasih akan Allah dan sesama. Memang tidak mudah, banyak cobaan dan godaan namun dengan bantuan Roh Kudus kita berharap mempunyai keprihatinan yang besar terhadap kaum miskin, sehingga gereja kaum miskin benar-benar terwujud dan diperlukan, bukan sekedar slogan belaka. Semoga

YBT Suryo Kusumo
Pengembang masyarakat perdesaaan
Email : tony.suryokusumo@gmail.com

KAUM MUDA GEREJA, MENELADANI BENTO ATAU SANTO/SANTA ?

Kaum muda gereja merupakan kekuatan dan harapan kemajuan gereja dimasa mendatang. Kaum muda sebagai bagian tak terpisahkan dari umat beriman merupakan kelompok yang rawan terhadap cobaan dan godaan. Usia muda merupakan masa untuk menemukan identitas diri dari berbagai pilihan yang harus diputuskan secara tepat dan bijaksana. Kegiatan yang dipilih dan dilakukan sekarang merupakan dasar pijakan bagi kehidupan mendatang. Maka sudah selayaknya gereja memperhatikan dengan penuh kesungguhan dinamika dan perkembangan kaum mudanya untuk mengarah pada kemajuan yang didasari spriritualitas kristiani. Cobaan dan godaan yang paling rawan antara lain kehamilan usia muda diluar nikah yang menjurus ke aborsi, narkotika, pesimistis, individualistis, kemalasan dan jalan pintas menuju kaya (lewat SDSB, kriminalitas dsb).

Keberanian melawan arus

Jika kita menyimak dan memahami pesan yang terkandung dalam lagu “Bento” yang sempat populer beberapa waktu yang lalu, seakan ingin menunjukkan salah satu arus yang sedang mengalir di masyarakat kita yakni pemujaaan terhadap kebendaaan
(materialistis) yang secara langsung maupun tak langsung akan mempengaruhi jiwa kaum muda. Terlihat betapa bangga “Bento” atas pemilikan materi yang sangat berlimpah meskipun didapat dengan jalan yang berlawanan dengan suara hati, moral serta membuat sesama yang kecil dan lemah semakin tidak berharkat dan tidak manusiawi.

Maka menjadi sangat ironis jika kaum muda gereja sekarang lebih mengenal dan mengidealkan menjadi seperti Bento daripada meneladani Santo/Santa.
Siapa yang bertanggung jawab jika kaum muda gereja semakin tidak mengenal kehidupan para Santo/Santa, tetapi justru lebih dekat dan lebih mengenal pola kehidupan Bento ?

Mari kita belajar jujur terhadap diri kita sendiri, dan berefleksi kemanakah arah kaum muda gereja kita ?
Jika kita menengok ke lembaga pendidikan kristiani dari berbagai tingkatan, terlihat jelas betapa mereka yang mengenyam pendidikan kristiani justru sering memperlihatkan sikap yang berlainan dengan iman yang dihayatinya. Seragam yang sangat pantas, fasilitas yang lengkap dan cenderung mewah, gedung pendidikan yang megah, bermobil mewah, seolah-olah mengajak kaum muda untuk menyiapkan diri menjadi seperti Bento yang dihargai karena kekayaan yang berlimpah sehingga status sosialnya ikut terangkat. Kaum muda gereja yang demikian jelas akan semakin jauh dan semakin sulit menghayati dan meneladani kehidupan para Santo/Santa yang penuh dengan kesederhanaan, ketekunan, kerja keras, semangat kebersamaan dan kerelaan berkurban yang cukup tinggi.

Pendidikan formal yang seharusnya dijadikan sarana untuk membentuk kepribadian yang utuh dan meningkatkan intelektualitas dapat terjebak dan salah arah menjadi ajang untuk memamerkan kekayaan, menjatuhkan satu dengan lainnya, serta menganggap teman sebagai musuh yang harus dikalahkan.

Dan pada akhirnya dapat menyuburkan sikap individualistis dan sikap masa bodoh terhadap kesetiakawanan sosial. Maka mungkin dalam benak kaum muda terpikir bahwasanya “Sombong pangkal dihormati “ dan “Hemat menunjukkan melarat”.

Maka jika kaum muda gereja lebih bergaya Bento daripada meneladani Santo/Santa, menjadi tugas para gembala dan pemuka umat utnuk memberi arah dan keteladanan meskipun sering dianggap melawan arus. Kaum muda gereja tidak menuntut banyak dan tidak memerlukan banyak kotbah dan nasehat, melainkan pendampingan dan sikap nyata dari kaum dewasa untuk mewujudkan iman dalam perbuatan.

Semoga apa yang terungkap diatas bukanlah kenyataan obyektip yang kita tangkap, melainkan hanya pengandaian yang mungkin saja dapat terjadi pada kaum muda gereja yang kita cintai.

Mudah-mudahan semangat kebangsaan dan kerasulan lebih merasuk ke jiwa kaum muda sehingga semangat kesederhanaan, kedisiplinan, suka kerja keras dan pengorbanan untuk membangun bangsa dan gereja bagi kemajuan sesama terpateri dalam diri kaum muda gereja seperti yang telah diteladankan oleh para Santo/Santa.




Dili, 20 Oktober 1992


YBT Suryo Kusumo
Staf “PUSLAWITA”DARE

Rabu, 10 September 2008

Hak Anak atas lingkungan kehidupan yang sehat

Setiap tanggal 23 Juli kita memperingati Hari Anak secara rutin untuk selalu mengingatkan bahwa anak mempunyai hak untuk mengekpresikan dirinya sebagai manusia yang utuh ciptaan TUHAN.

Seringkali dalam keseharian, kita melupakan bahwa anak kita bukanlah milik kita tetapi titipan TUHAN, seperti halnya pandangan Khalil Gibran dalam salah satu penggalan sajaknya yang menyatakan Anakku bukanlah anakku, Ia bagaikan anak busur panah yang melesat sesuai dengan kehendakNya. Sebagai busur kita tidak berhak menentukan kearah mana anak panah akan melesat, namun hanya bisa menfasilitasi apa saja yang harus disiapkan agar arah anak panah dapat mencapai sasaran. Seringkali kita terperdaya akan bentuk fisik anak yang kecil, lemah tak berdaya yang dengan mudah menjadi sasaran ambisi kita sebagai orang tua, menjadi ajang pelampiasan kasih sayang yang berlebihan yang menyebabkan anak menjadi cengeng, manja dan tidak mandiri dan yang paling menyedihkan anak seringkali menjadi korban kekerasan dalam segala bentuknya baik secara psikis, maupun fisik. Apalagi dijaman sekarang yang penuh dengan kesulitan dan himpitan ekonomi yang dengan mudah menyulut kemarahan orang tua dan kemudian melampiaskan kepada anaknya yang tak berdaya dan tak berdosa.

Masih banyak anak Indonesia yang dibesarkan dalam lingkungan yang tidak memadai untuk pertumbuhan dirinya secara normal karena keterbatasan orang tuanya yang belum mampu menyediakan lingkungan hidup yang sehat bagi si anak, seperti misal anak yang tinggal dilingkungan tempat pembuangan sampah (TPA), dipasar tradisional yang becek dan kotor, dipinggir bantaran kali maupun bantalan rel kereta api yang sewaktu waktu dapat membahayakan jiwanya. Masih banyak anak jalanan yang tidak terurus yang dibiarkan hidup terlantar dan terlunta-lunta yang setiap kali dapat menjadi korban kekerasan seks seperti sodomi, maupun pemerasan dan tindak kriminalitas lainnya oleh preman jalanan. Sungguh ironis meskipun konstitusi memandatkan pada pemerintah sebagai penyelenggara negara seperti tercantum dalam UUD 45 pasal 34 yang mewajibkan negara untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar, namun perhatian pemerintah masih saja belum optimal . Masih langkanya rumah singgah bagi anak jalanan, apresiasi terhadap bakat mereka melalui tersedianya berbagai sarana untuk menyalurkan bakat adalah bukti masih belum ada kesungguhan melihat talenta yang mereka miliki. Padahal kita tahu mereka anak jalanan maupun pengamen jalanan sudah mampu membuktikan melalui ajang di TV swasta seperti Mama Mia yang melejitkan Angel, juga Indonesia Idol ke 4 yang melejitkan Aris si pengamen di kereta api. Demikian pula dibidang ilmu pengetahuan, sudah banyak anak Indoensia menyabet penghargaan internasional.

Sangat minimnya ruang bermain bagi anak-anak di kota besar juga semakin memperkuat bukti masih rendahnya pemahaman kita akan pentingnya ketersediaan ruang yang cukup bagi pertumbuhan anak. Seringkali pertimbangan ekonomi lebih dominan dalam menyusun tata ruang kota sehingga ruang untuk anak seringkali diabaikan.

Bahkan meski pemerintah telah mencanangkan wajib belajar 9 tahun sebagai hak anak atas belajar secara gratis , namun masih banyak dijumpai anak-anak yang putus sekolah karena orang tua tak mampu membiayainya untuk kebutuhan diluar SPP.
Inilah ironi dimana dalam Pembukaan UUD 45 sangat tegas disampaikan tujuan Indonesia Merdeka adalah salah satunya “Ikut mencerdaskan kehidupan bangsa”, namun seringkali kita melihat pembiaran dan ketidak seriusan pemerintah menangani anak putus sekolah, yang berarti membiarkan tunas bangsa sebagai generasi penerus mengalami pembodohan ditengah arus pusaran globalisasi yang sangat cepat mengalami perubahan.
Lalu apa yang dapat kita harapkan apabila generasi mendatang dibiarkan tetap bodoh dan buta huruf (dalam artian tidak hanya buta huruf tetapi buta teknologi dan informasi).
Belum lagi kebijakan UAN (Ujian Akhir Nasional) bagi anak SD merupakan beban psiksis tersendiri bagi anak seusia mereka yang sebenarnya belum layak mendapat ujian semacam itu apapun alasannya.

Bagaimana sebagai sebuah bangsa, kita akan siap menghadapi persaingan yang begitu ketat dan menggila, jika generasi mendatang yang terwakili oleh anak-anak Indonesia dibiarkan tercemar dengan tontonan sinetron yang tidak mendidik, beredarnya video porno yang pelakunya anak sekolah yang seharusnya menjadi harapan bangsa kedepan, kekerasan yang dipertontonkan melalui acara Smack down, dan sebangsanya.

Yang lebih mengerikan ketika anak disuguhi adegan dalam keseharian kita korupsi yang dilakukan oleh orang tuanya dalam bentuk KKN sementara dengan penuh kesalehan orang tua yang ber KKN ria ini memberikan pesan moral kepada anaknya untuk rajin berdoa, menjunjung kejujuran dll. Begitu hipokritnya kehidupan orang dewasa yang dipertontonkan setiap hari kepada anak-anak. Lalu pertanyaannya, anak-anak akan meneladani kepada siapa ?

Belum lagi bahaya lain yang mengancam seperti NARKOBA yang disinyalir telah memasuki ranah dunia anak dari SD melalui berbagai tipu daya seperti yang terjadi baru-baru ini dengan menggunakan permen yang tidak asing bagi dunia anak. Sungguh sangat keji mereka yang telah tega meracuni anak dengan NARKOBA dengan segala triknya, sehingga anak-anak sebagai penerus bangsa telah kecanduan sejak dini yang jika dibiarkan akan membahaykan ketahanan negara. Layak bagi para pengedar NARKOBA untuk dihukum seumur hidup dengan kerja paksa untuk membuat jera mereka.

Kehidupan seks bebas yang sering mencemari kehidupan sosial dimasyarakat juga harus diwaspadai karena begitu mudahnya saat ini anak-anak mengakses tontonan orang dewasa, begitu mudah memperoleh alat KB untuk menghindari kehamilan, betapa banyak dan mudahnya orang dewasa melakukan perselingkuhan seks. Nilai sakral perkawinan termasuk kegiatan seks didalamnya, pendidikan agama yang mengajarkan nilai-nilai luhur perkawinan maupun seks, keteladanan para pemimpin untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan kehidupan keluarga akan sangat membantu anak untuk menjadi pewaris bangsa yang tangguh, punya nilai dan beradab.

Mari kita semua bertanggung jawab dan peduli untuk melindungi anak-anak kita sebagai tunas bangsa yang masih kuncup sehingga tidak membiarkan mereka layu sebelum berkembang.

Kita dukung perkembangan fisik dan psikis anak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat jasmani dan rohani sehingga anak-anak Indonesia pantas menggantikan kita yang telah berumur yang kebetulan belum bisa mewariskan Indonesia Jaya yang bebas dari korupsi, polusi lingkungan (sampah, racun sisa pertambangan dan pembalakan liar, kompleks pelacuran, hotel dan lokasi tempat selingkuh dll), kemiskinan, kebodohan dll.

Mari kita tidak mengulangi kesalahan yang sama untuk anak-anak dan jangan biarkan segala bentuk perilaku negatip kita wariskan kepada anak-anak kita. Sudah cukup rasanya hutang yang diwariskan kepada generasi mendatang, sehingga mereka tidak perlu lagi diwarisi perilaku kita sebagai orang tua yang korup, selingkuh, seks bebas, hipokrit dsb

Hidup anak Indonesia

YBT Suryo Kusumo
tony.suryokusumo@gmail.com
adikarsagreennet.blogspot.com
adikarsaglobalindo.blogspot.com

Pembantu rumah tangga (PRT), budak atau mitra ?

Pembantu Rumah Tangga merupakan sekelompok orang yang dinilai rendah dalam status sosial di masyarakat serta dianggap sebagai profesi kaum pinggiran yang terabaikan, terisihkan dan merupakan kelompok pekerja yang tanpa perlindungan hukum namun sangat dibutuhkan kehadirannya dalam sebuah kehidupan keluarga modern. Mereka ini adalah cermin dari sebuah potret buram masyarakat bawah yang terseok-seok meniti kehidupan dialam globalisasi tanpa ketrampilan yang berarti selain kekuatan fisik berupa tenaga yang ada padanya. Posisi tawar mereka sangat rendah terhadap ‘majikannya’, kalau tidak dapat dikatakan tanpa posisi tawar sama sekali. Kebanyakan dari mereka adalah kaum perempuan yang berasal dari desa dan mencoba masuk dalam kehidupan kota yang baginya merupakan sebuah kota impian dan penuh harapan. Namun antara kenyataan dan impian memang seringkali sangat berbeda, sehingga ketika mereka masuk dalam kehidupan realitas yang penuh dengan sandiwara dan kemunafikan, mereka harus melakonkan sebuah peran seperti halnya seorang budak, yang seringkali diperas tenaganya tanpa jam istirahat yang jelas, upah kerja yang rendah, menerima umpatan, caci maki dan perlakuan-perlakuan tidak manusiawi lainnya. Inilah awal dari sebuah kesengsaraan panjang dan litani kesedihan dari PRT yang hidup dalam situasi keterpaksaan dan tanpa pilihan.


Antara dicaci dan dibutuhkan

Kehidupan PRT memang sebuah paradoks, disatu sisi kehadiran mereka sangat dibutuhkan oleh para perempuan karir yang bekerja diluar rumah maupun para istri yang kerepotan atau malas mengurusi pekerjaaan domestik rumah tangga, namun disisi lain mereka sering sangat dibenci, dicaci maki, diumpat apabila sedikit melakukan kesalahan ataupun ketika berusaha istirahat sejenak dari kelelahan panjang yang menderanya. Padahal PRT sebelum berkerja tidak diberi orientasi dan dibekali dengan ketrampilan , namun mereka dipaksa harus belajar sambil bekerja, sehingga wajar apabila mereka sering melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kemauan dan standar minimal yang dimiliki majikannya. Sebuah ironi ketika melihat upah kerja yang diterapkan kepada mereka yang jelas-jelas sangat jauh dari upah standar minimum regional, namun dalam jam kerja mereka tidak mengenal kata istirahat. Demikian pula dalam hak-hak sebagai pekerja, mereka sama sekali tidak mampu menuntut seperti halnya para buruh, namun hanya mengandalkan kebaikan dari majikannya. Mereka setiap saat siap dipecat, diberhentikan walaupun mereka tidak mempunyai kesalahan apapun. Kebaikan hati dan pengertian dari majikanlah yang akan menyelamatkan PRT dalam kehidupannya dimasa kini dan masa depan , dan mereka sangat tergantung dari majikannya baik dalam menu makan, ketersediaan pakaian, kesehatan maupun hak-hak dasar lainnya. Padahal kita tahu bahwa mereka adalah kaum sebangsa yang kebetulan tidak beruntung dalam mengenyam kehidupan dalam era kemerdekaan bangsanya, yang tidak mempunyai pilihan lain selain sebagai PRT dalam menyambung hidupnya dan membantu orang tuanya di desa yang juga terlilit masalah kemiskinan yang mungkin sudah turun temurun. Jangan tanyakan arti keadilan bagi mereka, karena kata adil menjadi sangat abstrak dan tidak masuk dalam kehidupan mereka yang sudah biasa hidup dalam ketidakadilan dan penindasan yang terstruktur. Mereka sudah terbiasa dengan hidup penuh derita dalam kubangan kemiskinan dan tidak pernah lagi mempertanyakan mengapa semua ini harus dialaminya ? Hanya kepercayaan akan iman kepada Tuhan Yang Maha Adil yang menyebabkan mereka terus berjuang meraih kebahagiaan dalam hidup di dunia, mewujudkan kerja sebagai pengabdian kepada sesama, dan sarana untuk pemuliaan Tuhan. Mereka tidak pernah belajar teologi, namun mereka sangat meyakini bahwa hidup harus berusaha keluar dari penderitaan sebab sesuai iman yang diyakininya, Injil adalah khabar gembira bagi semua orang, termasuk dirinya. Bahkan dalam kemiskinannya, para PRT ini masih mampu menunjukkan solidaritasnya diantara mereka dengan memberi dari kekurangnya, meniru episod bijak seorang perempuan bersatus janda yang sudah jatuh miskin namun masih mampu memberi dari kekurangnya. Sementara dalam kehidupan modern kota, hal-hal bijak semacam ini sudah dianggap usang, kuno dan tak berlaku lagi karena untuk bertahan hidup kalau perlu kita mengorbankan orang lain atau memakan sesamanya, meskipun kita mengaku sebagai seorang yang beriman!

PRT, budak atau mitra ?

Memperlakukan PRT seperti halnya seorang budak belian dimasa lampau sebenarnya sudah tidak pantas lagi dijaman reformasi yang mengagungkan HAM dan menjunjung tinggi hak setiap warga untuk memperoleh pekerjaan secara layak. PRT sebenarnya bukanlah pembantu/budak kita, namun sebagai pekerja yang kebetulan membantu kita. Maka hak-hak seorang pekerja harus diberikan kepada mereka, baik dalam jumlah maksimum jam kerja setiap minggu, jaminan hidup yang layak maupun perlakuan manusiawi lainnya. Bukankah mereka adalah kaum sebangsa kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang kebetulan kurang beruntung nasibnya? Atau kita sudah tidak peduli lagi, karena kita lebih berorientasi pada hal ekonomis menyangkut penghematan biaya, dibanding menghormati harkat dan martabat seorang manusia sebagai mahluk ciptaan yang secitra denganNYA ? Bukankah kalu kita merendahkan harkat dan martabat PRT berarti juga ikut merendahkan Sang Pencipta ? Atau kehidupan keagamaan kita hanya berlaku ketika kita beribadah pada hari tertentu saja dan tidak perlu tercemin dalam perilaku kehidupan keseharian kita ?


PRT = Pekerja Rumah Tangga

PRT untuk saat ini dan ke depan sebaiknya bukan lagi kepanjangan dari Pembantu Rumah Tangga melainkan Pekerja Rumah Tangga. Dengan mengakui mereka sebagai pekerja, maka sudah sewajarnya apabila kita yang menggunakan jasanya memberikan hak-hak dasar sebagai seorang pekerja, terutama dalam jam kerjanya, upah yang layak, perlakuan yang manusiawi, jaminan hidup yang lebih baik, serta hak-hak sosial sebagai warga masyarakat. Kita dapat membayangkan betapa repotnya apabila mereka tidak ada, dan kita semua harus mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga kita secara mandiri dan sendiri. Sudah saatnya kita juga ikut serta memberdayakan para pekerja rumah tangga yang ada di keluarga kita, sehingga mnereka tidak harus selamanya dalam hidupnya berprofesi sebagai PRT melainkan hanya sebagai batu loncatan untuk mempunyai ketrampilan yang lebih baik dan lebih beragam untuk kehidupan di hari depan. Mungkin mereka dapat diberi kesempatan untuk melanjutkan ke sekolah formal, belajar ketrampilan memasak, menjahit, manajemen wirausaha kecil, atau ketrampilan lainnya sehingga mereka dapat merajut hari esoknya menjadi lebih baik. Dan ketika kita melihat mereka dengan profesi yang lebih baik lagi, maka kita ikut bangga karena secara tidak langsung kita ikut terlibat mengantar seorang anak bangsa menuju kehidupan yang lebih berharkat, bermartabat dan manusiawi. Semoga semakin banyak keluarga yang mempunyai niatan suci untuk memberdayakan PRT menjadi lebih meningkat wawasan dan ketrampilannya, memperlakukan mereka secara manusiawi sebagai bagian dari keluarganya, memberikan kesempatan untuk menggunakan hak-haknya, termasuk hak istirahat dan menjaga kesehatannya.
Jangan lagi ada perlakuan yang kurang manusiawi diantara kita terhadap PRT, dan marilah mereka kita jadikan mitra , karena kita harus mempertanggungjawabkan perbuatan kita, yang mungkin saja didunia fana ini kita luput dari tangan-tangan hukum, namun kita tidak akan luput dari keadilanNYA ! Bukankah indikator keberhasilan hidup kita adalah selamat baik di dunia dan di akhirat ? Apalah artinya kita memiliki semua yang ada di dunia, namun kita kehilangan kesempatan untuk masuk dalam kerajaanNYA? . Amin.