Jumat, 28 November 2008

Pembalakan liar, masihkah pelakunya bisa dianggap sebagai orang yang beriman ?

Disetiap musim hujan tiba, maka warga Jakarta mulai cemas akan datangnya banjir tahunan yang sudah merupakan kebiasaan yang tak mungkin dihindari seperti halnya “datang bulan” pada wanita dewasa yang memang sudah menjadi siklus.

Namun sangat berbeda dalam tujuan, siklus haid bulanan bertujuan untuk membersihkan diri dari darah kotor yang ada dalam tubuh, sedang banjir tahunan di DKI justru menambah kekotoran wajah kota, dan yang pasti membersihkan/menghilangkan harta benda masyarakat yang didapat dengan jerih payah yang tak terhingga dalam persaingan yang buas di ibukota akibat terkena banjir.

Dan kalau kita jeli mengamati berita melalui media, maka sekarang bukan hanya Jakarta yang menjadi langganan banjir, tetapi juga di beberapa daerah di indonesia seperti misalnya di beberapa kabupaten di Jawa Timur yang diakibatkan meluapnya sungai Bengawan Solo, atau di Sumatera, Kalimantan (Samarinda) dan juga Sulawesi dst.

Bencana lain yang tak kalah serunya adalah longsor yang telah mengubur hidup-hidup para warga yang tak sempat menyelamatkan diri seperti yang baru saja terjadi di Cianjur.

Berbicara terkait longsor dan banjir maka mau tak mau kita harus mencari penyebabnya dan salah satu yang ditenggarai menjadi penyebab utamanya adalah pembalakan liar yang tak terkendali yang berakibat pada rusak dan tak berfungsinya hutan terutama yang berada di daerah hulu sehingga merusak daur hidrologi dan menyebabkan banjir bandang yang meluluhlantakkan apa saja yang dilewatinya, tak terkecuali rakyat yang tak berdosa yang nun jauh di hilir sana.


Teologi terkait lingkungan

Banyak dari para pelaku pembalakan liar adalah mereka yang mengaku beragama, cinta keluarga (anak, istri/suami), umat beragama yang kelihatan seolah-olah saleh dan menjadi penderma besar bagi institusi agama yang dianutnya, berpendidikan dll namun sudah mati rasa kemanusiaannya karena silau akan harta dunia berupa uang yang mengalir dengan derasnya sederas airmata para korban banjir, longsor akibat pembalakan liarnya.

Jangan tanyakan pada mereka tentang hati nurani dan nilai-nilai kemanusiaan, karena bagi mereka pembalakan liar hanyalah salah satu pilihan metode dalam mencari penghasilan secara cepat dan maksimal jumlahnya dan tidak terkait dengan keyakinan imannya, apalagi dikaitkan dengan dosa tidaknya perbuatan tersebut, sama halnya dengan para penambang yang dengan enteng meninggalkan lokasi pertambangan yang sudah parah kerusakan lingkungannya setelah mengeruk habis kandungan tambangnya dan mengatakan dengan enaknya “inilah harga yang harus dibayar atas nama kemajuan dan pembangunan”.

Kita tahu banyak pemimpin agama yang tutup mata atau tidak mau tahu dengan masalah kerusakan lingkungan dan hanya sedikit yang mengkaitkan perusakan lingkungan dengan dosa yang harus dipertanggungjawabkan secara moral.

Masih banyak umat beragama yang tidak merasa bersalah ketika menebang pohon yang luasnya beribu-ribu hektar , membuang sampah di sembarang tempat, mengkorup dana GERHAN yang bertujuan untuk mengembalikan lingkungan yang telah rusak demi anak cucu kita.

Meski seruan dan pencanangan untuk tanam pohon, menjaga hutan dll terus dikumandangkan dari tahun ke tahun , namun jika tindakan merusak lingkungan yang menyebabkan berbagai bencana (banjir, kekeringan, longsor dll) tetap saja dianggap perbuatan bukan dosa, maka seberapa banyakpun dana yang dianggarkan pemerintah akan sia-sia karena belum terbangunnya kesadaran transedental dan religius dari para warga negara yang mengaku beragama yang memandang alam adalah bagian dari kehidupannya .

Jika hutan / pohon kayu hanya dimaknai secara ekonomis sehingga perlu ditebang habis karena mendatangkan penghasilan yang gede, tanpa berpikir ulang mengenai manfaat ekologisnya, dapat dipastikan dalam jangka waktu yang tak terlalu lama Indonesia akan kehilangan kebanggaannya sebagai salah satu paru-paru dunia, tempat belajar yang lengkap bagi para ilmuwan dunia , kehilangan sumber plasma nuftah yang berguna besar bagi penelitian untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia mendatang.

Meski kita punya polisi hutan/Jaga Wana, dan juga punya pendekar penegak hukum seperti jaksa, polisi dan hakim untuk menegakkan hukum terhadap para pelaku pembalakan liar, namun kembali lagi mentalitas yang korup dan mata duitan dari oknum para penegak hukum (sayangnya jumlah oknumnya rombongan) telah menjadikan pembalakan liar sebagai fenomena umum yang masih dibiarkan terjadi meski kita tahu betapa mengerikan dampaknya bagi kehidupan alam semesta termasuk bagi penduduk dunia.

Menjadikan isu lingkungan sebagai tema kotbah

Kita tahu bahwa “kebersihan adalah sebagian dari iman”, kita juga tahu “Ora et labora “ dimana kita harus berdoa dan bekerja, yang kalau ditarik kesimpulan secara umum ingin menyatakan bagaimana keimanan seseorang harus diwujudkan dalam praksis keseharian sebagai bukti keimanannya yang hidup. Namun dalam kenyataan, masih banyak yang memisahkan antara keyakinan yang dianutnya dengan perilaku keseharian, yang terbukti banyaknya para koruptor dan juga para pelaku pembalakan liar yang tertangkap namun sekaligus menampakkan sebagai pemeluk agama yang taat (seolah-olah).
Menjadi tantangan yang menarik apabila isue lingkungan termasuk didalamnya perilaku tidak terpuji berupa pembalakan liar dibahas secara mendalam dari sisi teologi dalam mimbar agama sehingga menjadi kewajiban kita semua yang mengaku beragama untuk turut secara aktip melestarikan lingkungan sekitarnya.

Penyadaran sejak dini.

Kesadaran akan pemahaman tentang arti pentingnya lingkungan dan upaya kita sebagai manusia mahluk tertinggi Sang Pencipta untuk terus melestarikannya, harus dimulai langkahnya sejak usia dini karena akan lebih mudah menjadikan/membentuk watak/sikap yang peduli lingkungan sejak dini daripada harus merubah ketika dewasa dan sudah menjadi kebiasaan yang salah namun dianggap benar dalam artian membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Seringkali kita terjebak dalam membenarkan kebiasaan, bukannya membiasakan yang benar.

Sejak kecil sebaiknya anak diajarkan untuk mencintai lingkungan karena ketika tumbuh rasa cinta dalam dirinya maka akan merasuk dalam pikiran dan tindakan untuk mewujudkan cintanya akan lingkungan dengan sikap dan perbuatan nyata. Anak diajak mengenal alam lebih dekat dan menyakinkan bahwasanya manusia adalah bagian dari alam sehingga merusak alam berarti merusak diri sendiri. Mencintai alam berarti mencintai kehidupan dan mencintai kehidupan adalah wujud dari kasih kepada Sang Pencipta Alam Semesta. Ketika berjalan jalan ke hutan maka kita dapat diskusikan dengan anak-anak bagaimana pentingya mata air yang dihasilkan oleh hutan yang terjaga dengan baik dan jika rusak maka akan berganti dengan air mata.

Kita dapat menjelaskan kepada aank-anak arti pentingnya kicauan burung yang dengan merdunya sedang memuji Tuhan sang Pencipta, yang dengan sendirinya ikut memudahkan kita dalam berinteraksi dengan makluk lain sesama ciptaanNYA dalam rangka memuliakanNYA.

Alangkah indah jika alam tidak hanya dimaknai sebatas benda ekonomi, yang harus dikuras demi penghasilan yang tak pernah membuat manusia puas, sehingga cara pandang manusia modern harus lebih diperluas dimana alam merupakan wahana untuk mengembangkan diri sebagai makluk tertinggi ciptaanNYA. Hutan sebagai abgian dari alam sudah seharusnya dan sepatutnya dijaga keberadaannya sehingga mampu memberikan mata air yang mampu menghapus dahaga manusia yang haus akan air kehidupan. Kita semau tahu jika dunia mengalami krisis air global, maka betapa dapat dibayangkan kengerian dan tingkat penderitaaan kita atas ketiadaan air yang mencukupi.

Jadi sudah selayaknya jika para pembalak liar tidak hanya dianggap sebagai pelanggar hukum semata, namun sebagai perampas kehidupan dan penghancur dunia secara pelan anmun pasti dan sudah selayaknya kalau mereka disebut teroris karena menebar teror kemanusiaan terkait dengan terpenuhinya air bagi kehidupan maupun aspek lainnya yang baik secara langsung maupun tak langsung akan mempengaruhi kelangsungan hidup manusia.
Dengan demikian pembalak liar sejatinya adalah manusia jelmaan iblis dan penjahat kemanusiaan yang tidak pantas mengaku sebagai seorang yang beriman karena telah mengingkari kemanusiaannya dan berfoya-foya diatas penderitaaan sesamanya.


YBT. Suryo Kusumo

tony.suryokusumo@gmail.com
www.adikarsa.blogspot.com

Rabu, 05 November 2008

Sumpah jabatan yang berubah menjadi sumpah serapah ?

Dalam tradisi pengangkatan seorang menduduki jabatan tertentu, maka pasti akan melalui proses yang dikenal dengan pengambilan sumpah jabatan.
Tentu tidak main-main, dalam pengambilan sumpah selalu menghadirkan pemuka agama yang membawa kitab suci sesuai dengan agama yang dianut oleh yang akan diambil sumpahnya. Artinya dalam proses ini melibatkan TUHAN dalam berjanji ,yang mana salah satu janjinya adalah tidak akan menyalahgunakan jabatannya.
Namun dalam kenyataan , jauh panggang dari api, dimana banyak pejabat setelah disumpah dan dilantik menjadi lupa daratan dan tidak lagi menghiraukan sumpah jabatan

Amanah vs ambil kesempatan (serakah)

Seringkali dalam berbagai media, harapan ditumpukan pada para pejabat yang baru dilantik dan diambil sumpah untuk menjaga amanah rakyat dan melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Mereka diharapkan dapat benar-benar melaksanakan tugas mulianya demi mensejahterakan rakyat yang dilayaninya. Namun tidak jarang dijumpai pejabat setelah diambil sumpahnya kemudian mengingkarinya dan yang lebih buruk lagi menjadi tidak peduli sama sekali dengan sumpahnya yang berarti tidak lagi takut akan TUHAN , menjadi serakah, berpesta pora dalam ber KKN ria, menjadi penjahat kerah putih yang mempertontonkan semangat egoisnya tanpa mau peduli dengan jeritan rakyat yang seharusnya dilayani namun justru diperas, ditipu dan dijadikan sapi perahan.


Merakyat vs Arogan

Menjadi abdi negara dan abdi masyarakat yang baik memang tidak mudah namun bisa dilakukan. Pilihan menjadikan sumpah jabatan sebagai pengingat dini akan pentingnya memaknai jabatan sebagai sarana untuk melayani rakyat akan menjadikan siapapun yang menjadi pejabat akan selalu menjalankan tugas sebagai pelayan publik yang harus melayani, bukan sebaliknya minta dilayani. Apalagi jika ada pejabat yang meminta ajudannya kemana-mana harus membawakan tasnya, membuka pintu mobil dinasnya dll demi menaikkan gengsi sebagai pejabat justru menunjukkan tingginya arogansi dan selain itu juga menunjukkan pejabat yang kurang merakyat Sumpah jabatan yang dimaknai sebagai amanah seharusnya akan membaut seorang pejabat menjadi rendah hati, merakyat dan mau mendengar apa yang dirasakan rakyatnya secara langsung dan sesuai fakta yang dialaminya.


Pengadilan terakhir

Sebagai manusia kita harus selalu sadar bahwa ada kehidupan kekal yang kita percaya yang mana dari setiap kita diminta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya selama di dunia sehingga kita tetap berusaha menjadi bijak tanpa kehilangan nilai-nilai kehidupan menyangkut pemenuhan diri, peningkatan harkat dan martabat sebagai ciptaanNYA.
Dalam menjalani kehidupan ada dua pilihan jalan antara menuju surga/nirwana yang digambarkan penuh kenikmatan yang bersifat abadi atau neraka yang digambarkan dengan segala kertak gigi dan penderitaannya atas azab api neraka.
Jika kita selalu sadar akan adanya pengadilan terakhir, maka dengan sendirinya kita akan menjaga sumpah jabatan sebagai srana peringatan dini untuk tidak berbuat yang berlawanan dengan perintahNYA.

Jadilah bijak

Memang tidak mudah menjadi bijak, namun dengan segala upaya kita pasti bisa meraihnya. Menjadikan sumpah jabatan sebagai sesuatu yang sakral yang harus dipertanggungjawabkan pada Sang Khalik sudah selayaknya demi menjaga amanah dan tanggung jawab yang besar terkait jabatan yang disandangnya. Menjadikan jabatan sebagai jembatan untuk menghubungkan kurnia Tuhan kepada sesama yang membutuhkan bantuan serta sebagai perwujudan praksis keimanan dan tidak menjadikan jabatan sebagai ajang pemenuhan nafsu serakah untuk memperkaya diri dengan jalan ber KKN ria dan sejenisnya merupakan harapan dari diberlakukannya suumpah jabatan.

Kedepan diharapkan sumpah jabatan benar-benar menjadi early warning agar siapapun pejabat yang diambil sumpahnya mampu memerankan secara bijak dan benar demi kesejahteraan rakyat yang dilayaninya dan tidak menyamakan sumpah jabatan dengan sumpah serapah.

YBT Suryo Kusumo

tony.suryokusumo@gmail.com
www.adikarsa.blogspot.com
www.adikarsagreennet.blogspot.com

Jangan gilaaaaaa, dong !

Kalau kita rajin memelototi acara televisi di salah satu stasiun TV swasta, maka istilah diatas sudah sangat populer dikalangan anak gaul, lalu apa korelasinya dengan kondisi NTT saat ini ?

Memang tidak ada korelasi secara langsung, tetapi kalau dilihat perjalanan NTT selama ini, olokan diatas patut menjadi refleksi bagi kita semua untuk mengkoreksi kontribusi kita dalam tahapan kemajuan NTT.

Mengapa setelah hampir berusia setengah abad , NTT masih belum bisa beranjak menjadi propinsi yang mampu berswasembada pangan dan menjadi langganan berita media terkait busung lapar,balita kurang gizi dll?

Mengapa infrastruktur jalan yang dibangun untuk menunjang pengangkutan hasil pertanian serta membuka keterisolasian daerah terpencil belum dapat dilakukan secara optimal dan masih banyak ditemukan jalan antar desa yang tidak layak disebut sebagai jalan karena lebih menyerupai selokan ?

Mengapa hanya “sedikit” embung, waduk dan saluran irigasi teknis yang mampu dibangun untuk memanen air bagi keperluan multi sektor , sementara pengadaan mobil-mobil dinas terus bertambah dan semakin banyak yang lalu lalang ditengah kota ?

Mengapa alokasi APBD terlalu pelit untuk membeli unit PLTS yang memadai untuk rakyat didaerah terpencil yang sulit terjangkau listrik PLN dan apakah rakyat didaerah terpencil tidak berhak menikmati listrik atau tunggu dapat pasokan dari PLN yang katanya tahun 2020 dengan slogannya 100 - 75 , baru seluruh desa di Indonesia teraliri listrik (kalau tidak molor) ?

Mengapa rakyat miskin tidak diberi/digelontor kredit sapi untuk digemukkan sekaligus kotoran ternaknya digunakan sebagai biogas yang dapat dipakai untuk penerangan rumah dan memasok energi untuk memasak ?

Mengapa dalam mengurus KTP tidak dibuat praktis dan cukup sekali jalan sehingga tidak harus memakan waktu lebih dari sehari sehingga perlu kembali lagi, yang selain memakan ongkos transpor atau BBM juga waktu dan tenaga ?

Mengapa dipertanyakan ?

Pihak Dirjen Pajak pernah mengkampanyekan slogan ‘Warga bijak taat pajak”, tetapi sebenarnya itu saja belum cukup karena harus dibarengi dengan ‘Pemerintah bijak layani dan sejahterakan rakyat’.

Tidak cukup apabila hanya pihak rakyat yang diminta membayar PBB, pajak pendapatan, PPn dll, tetapi harus dipertanyakan kembali apakah dana hasil kumpul pajak digunakan secara benar dan tidak dikorupsi?

Pemerintah yang diberi mandat oleh negara untuk mengurus rakyat sehingga diharapkan tercipta “Persatuan Indonesia dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” seperti tercantum dalam sila ke-tiga dan ke-lima Panca Sila yang seharusnya menjadi acuan bagi para pelayan publik yang mampu menggerakkan antusiasme dan spiritualitas para pejabat negara dan PNS untuk bagaimana menjadikan acuan tersebut mampu diterjemahkan ke dalam rencana pembangunan yang holistik, jangan lagi seperti saat ini yang sangat berwajah sektoral, penuh KKN lagi.

Pegawai negeri yang bergerak dalam layanan publik sudah sepatutnya berjuang sekuat tenaga untuk memberikan layanan terbaik kepada para pelanggan (customer) yakni rakyat penghuni republik ini.

Paradigma yang masih menganggap rakyat harus tunduk dan taat karena posisinya yang berada dibawah para PNS dan menganggap dirinya sebagai pejabat yang tak lain adalah atasan rakyat yang punya kuasa merupakan konsep usang yang harus dibuang jauh-jauh dan tak perlu lagi didaur ulang.

Pemerintah diharapkan juga mampu mendorong tercipta dan terbukanya lapangan kerja melalui regulasi yang dilakukan dan mendorong pihak swasta merasa terjamin dan nyaman dalam menanamkan modalnya dan menjalankan usahanya.

Kebiasaan memeras para investor ketika mereka mau berinvestasi harus ditiadakan dan diganti dengan pelayanan satu pintu (one stop service) yang lebih cepat, tidak birokratis, murah dan transparan sehingga bebas dari aroma KKN.

Kebiasaan dalam hukum rimba untuk saling memeras dalam segala aktivitas di masyarakat harus ditiadakan , jangan ada lagi Polisi Lalu Lintas memeras pengguna jalan, Dokter memeras pasien, Jaksa memeras tersangka, Pendidik memeras anak didik, LSM memeras rakyat miskin dll sehingga diharapkan lingkaran pemerasan dapat diakhiri dan digantikan layanan profesional seperti yang sudah dicontohkan oleh Dubes baru Indonesia untuk Malaysia yang menggantikan dubes lama yang meskipun mantan Kapolri dan seharusnya memiliki jiwa mengayomi namun justru tega memeras TKI dinegeri jiran demi memperkaya diri sendiri.

Kemudahan dalam segala bentuk layanan pada rakyat baik layanan dasar (ketersediaan perumahan yang layak namun terjangkau , pangan murah, layanan kesehatan dan pendidikan murah./gratis, maupun layanan tingkat lanjut (MCK umum gratis, sarana untuk para penyandang cacat, akses internet gratis di ruang publik seperti terminal bus, bandara,dll, polisi untuk wisatawan, telepon umum gratis dll) seharusnya menjadi indikator apakah sebuah pemerintahan berjalan dengan baik dalam mensejahterakan rakyat atau sebaliknya membuat rakyat tambah sengsara dan hanya memperkaya dirinya ?

Maka yang dibutuhkan kedepan untuk meningkatkan layanan publik bukan lagi fokus pada isu jumlah pegawai yang tak mencukupi, gaji yang rendah dll, tetapi bagaimana dengan sedikit pegawai yang smart (cerdas), kreatip, inovatip, jujur, disiplin, profesional dengan dukungan teknologi Informasi mampu memberi kemudahan dan layanan yang prima.

Perlu ada reformasi birokrasi yang menyeluruh, terutama mentalitas sebagai pelayan yang berupaya untuk terus menerus memberi layanan terbaik karena dari situlah PNS digaji dan akan terus menerus dituntut memperbaiki layanan.

Habitus lama harus diganti dengan habitus yang baru menuju “NTT bangkit “menggantikan “NTT sakit” sehingga berita tentang penderitaan rakyat di NTT digantikan dengan kesukacitaan karena keadilan sosial bagi seluruh rakyat di NTT telah mulai terwujud.

YBT Suryo Kusumo
tony.suryokusumo@gmail.com
www.adikarsaglobalindo.blogspot.com

Masih ada dan perlukah “Pahlawan” di Indonesia sekarang ?

Setiap memasuki bulan Nopember kita selalu diingatkan akan arti pentingnya makna kepahlawanan, karena setiap tanggal 10 Nopember selalu diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Memang kita harus selalu “Jas merah” alias jangan lupa sejarah yang selalu mengingatkan dan menggambarkan betapa heroiknya “Pertempuran Surabaya “ dan semangat menggelora pantang menyerah dan berani mati dari para gerilayawan di seluruh wilayah Hindia Belanda yang menghendaki Indonesia Merdeka.

Namun dalam konteks kekinian, kita sebaiknya perlu mere-formula kembali pemaknaan dari sebuah kosa kata “Pahlawan”.
Di jaman modern yang penuh dengan hingar bingar keduniawian dan semangat materialistik dan hedonis yang menggebu di tanah air , ditambah dengan peniruan gaya yang tiada habis dari gaya hidup para borju yang eksklusif, apakah tawaran meneladani para pahlawan pendahulu kita masih akan tetap laku? Apakah keteladanan semangat kepahlawanan dari para pahlawan yang telah gugur mendahului kita mampu mengalahkan semangat mengikuti “Bento” seperti lagu yang didendangkan oleh Iwan Fals?

Mana yang lebih porno, ponografi atau korupsi ?

Polemik pro dan kontra yang menghabiskan energi yang terbuang percuma telah dipertontonkan oleh anak negeri dalam menyikapi proses pengesahan RUU Pronografi
Uji publik yang dilakukan dengan setengah hati justru memunculkan banyak dugaaan adanya agenda tersembunyi dari pemaksaan pengesahan RUU ini.
Yang menjadi pertanyaan besar bagi kita apakah dengan pengesahan UU Pronografi, akan membuat bangsa ini menjadi” lebih sopan” dan islami ? Atau jangan-jangan justru dengan adanya UU Pronografi akan memicu rasa kedaerahan yang berlebihan karena beberapa daerah yang minoritas baik dari sisi agama maupun budaya merasa tidak diakomodir alias dilecehkan keberadaannya dan pengesahan UU ini justru semakin mengaburkan atau bahkan menguburkan semangat kebhinekaan dalam kesatuan NKRI yang telah dibangun komitmennya oleh para pendiri bangsa sejak awal berdirinya republik ini. Atau memang tiada persoalan yang lebih besar dan lebih urgen dari sekedar masalah pornografi ?

Mana yang lebih porno, mereka para ABG yang memamerkan pusarnya atau para penguasa yang memamerkan kekayaannya dengan tidak tahu malu meski berasal dari hasil korupsi? Atau mana yang lebih porno, berjoget dengan memakai rok mini di dugem atau menikahi anak seusia SD yang lebih pantas jadi anaknya ?

Aneh memang ketika kita justru tutup mata terhadap persoalan bangsa yang lebih besar berupa korupsi yang sudah membudaya dan berurat berakar di seantero negeri dan lebih suka menyoroti tentang pornografi.
Sementara kita tahu akibat yang ditimbulkan dari perilaku korupsi yang serakah sangat luar biasa dan berdampak luas seperti meningkatnya kemiskinan, meningkatnya penderita busung lapar untuk anak balita, semakin banyaknya wilayah perkampungan kumuh karena semakin buruknya layanan publik yang lebih memihak kepada para pemodal besar, rusaknya lingkungan karena illegal logging dan pengalih-fungsian hutan serta berbagai usaha penambangan demi kepentingan bisnis pemilik modal besar semata sehingga mengakibatkan banjir dan tanah longsor yang banyak memakan korban rakyat jelata yang tidak tahu menahu permasalahannya.

Korban Lapindo, butuh pahlawan yang sebenarnya?

Kita juga dapat melihat bagaimana penderitaan korban Lumpur Lapindo yang kita semua tahu siapa gerangan pemiliknya yang tak lain adalah seorang pengusaha nasional yang sekaligus berperan sebagai pejabat negara. Kita dapat melihat dengan telanjang bagaimana konflik kepentingan tengah bermain dalam penanganan kasus Lapindo baik dari sisi hukum maupun politik. Banyak pihak yang sudah mencoba berjuang dalam rangka memenuhi rasa keadilan bagi korban lumpur Lapindo yang kehilangan harta benda dan penghidupannya, namun kekuatan politik dan uang telah bermain didalamnya sehingga layanan publik yang seharusnya berpihak pada rakyat yang menjadi korban justru berbalik arah menjadi ajang permainan yang menunjukkan sok kuasa dari politik uang yang kotor yang mampu membungkam kebenaran dalam jangka pendek namun tidak akan bisa membungkam kebenaran sejati yang suatu saat pasti akan terkuak seperti halnya kebusukan Orde baru dimana Golkar berperan sebagai mesin politiknya.

Saatnya dibulan Nopember ini kita semua merefleksi kembali apakah pantas rakyat yang menjadi korban Lapindo dibiarkan sendirian merana dalam penantian panjang dalam memperjuangkan hak-haknya akan ganti rugi yang tidak jelas , yang sebenarnya merupakan sebentuk pelanggaran HAM karena membiarkan rakyat kehilangan harta-benda yang dimiliki dan diperoleh dengan susah payah demi mencapai kesejahteraan dalam hidupnya? Lalu dimanakah para Wakil rakyat yang terhormat, para anggota DPD yang mewakili Jawa Timur, pengurus Komnas HAM yang sering lantang berteriak menyuarakan arti penting perlindungan HAM , juga para pemuka agama , para intelektual, aktivis LSM , wartywan dan media cetak dll ?

Apakah tidak ada pahlawan sebenarnya diantara kita yang mampu berbuat demi mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan sila ke-dua Pancasila yakni Kemanusiaan yang adil dan beradab yang telah dicabik-cabik oleh mereka yang mengaku seorang nasionalis?

Pedagang Kaki Lima (PKL) yang selalu saja teraniaya

Peringatan hari Pahlawan sebaiknya dijadikan momen bagi pelayan publik dan kalangan DPR/DPRD untuk kembali melihat modus operandi Satpol PP yang selalu saja “:mengaiaya dan mengejar-kejar” para PKL yang berusaha demi memenuhi kebutuhan hidupnya meski dalam suasana ketidakpastian. Mereka para PKL yang telah mempunyai jiwa bisnis dan telah mempraktekkannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sudah selayaknya memperoleh perlindungan dalam menjalankan usahanya dan difasilitasi untuk semakin berkembang, bukan sebaliknya harus berperilaku seperti tikus yang terus dikejar oleh kucing (Satpol PP) karena dianggap merusak keindahan kota, melanggar Perda dst. PKL perlu diberi ruang/ lahan yang strategis untuk berusaha , bahkan kalau perlu Pemda.Pemkab/Pemkot perlu mengalokasikan dana untuk membeli lahan strategis yang diperuntukkan bagi para PKL dalam menjalankan usahanya. Pilihan ekonomi yang dikembangkan sebaiknya merujuk pada Bapak pendiri Koperasi yakni Bung Hatta dengan ekonomi rakyatnya. Para PKL sudah selayaknya diperlakukan sebagai pembisnis dan investor dari republik ini. Mereka para PKL dapat dijadikan tulang punggung perekonomian bangsa, difasilitasi berbagai layanan bantuan teknis baik dari sisi finansial maupun manajemen bisnis serta diarahkan untuk menjadi pengusaha nasional skala besar.


TKI/TKW, Pahlawan devisa negara yang diabaikan

Kembali pada semangat pengorbanan, yang menjadi tantangan adalah bagaimana layanan publik kita semakin memperlakukan rakyat yang dilayaninya dengan lebih manusiawi, tidak justru memeras dengan berbagai kedok dan cara agar dapat tambahan pendapatan. Sudah banyak dikeluhkan bagaimana buruk serta korupnya layanan yang terkait dengan keimigrasian, perijinan dll yang dialami oleh pengusaha maupun para TKW/TKI.
Para TKW/TKI sepeti yang telah sering dilansir dalam media seringkali menjadi korban dari berbagai sindikat yang mencoba memeras mereka baik sejak saat perekrutan, keberangkatan, bahkan sampai kepulangannya kembali ke tanah air.
Membiarkan TKI/TKW sebagai warga negara yang tidak siap dan tidak terdidik untuk bekerja diluar negeri sebenarnya merupakan kesalahan besar bagi pemerintah kita karena berarti pemerintah dapat dianggap lalai atau melakukan pembiaran dari tanggung jawabnya untuk untuk melindungi warganya dari berbagai ancaman di luar negeri.

Kita seharusnya belajar dari negara maju yang begitu peduli terhadap keselamatan warganya terutama yang berada di luar negeri dengan memberi travel warning, menyiapkan sistem evakuasi bagi warganya dalam kondisi yang membahayakan jiwanya, dan berbagai perlindungan dan kemudahan lainnya.

TKI/TKW sebenarnya merupakan pahlawan meski tidak secara formal diakui, karena selain mencari lapangan kerja secara mandiri untuk dirinya, juga memasukkan dana sebagai devisa negara yang berarti ikut memperkuat struktur keuangan nasional.
Sama halnya dengan guru yang dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, TKI/TKW seperti halnya para jurnalis, aktivis LSM , aktivis lingkungan, aktivis HAM dll juga merupakan “Pahlawan Tanpa Tanda-tanda”.

Semoga semangat dan jiwa kepahlawanan dapat ditunjukkan dengan lebih menghargai mereka yang selama ini terpinggirkan seperti para TKI/TKW, para PKL, Pemulung dan laskar mandiri dll yang telah berjasa bagi pembangunan di republik ini.

Selain itu , juga dapat ditunjukkan dengan berbagai cara seperti tidak lagi melakukan KKN tetapi memberi keteladanan dalam kejujuran yang semakin langka dinegeri ini, tidak merusak lingkungan namun menyelamatkan dan melestarikannya, memberi senyuman yang ramah dan tumpangan kepada sesama atau bangsa lain yang kebetulan berkunjung kenegeri ini, tidak menebar teror atas nama apapun, berdisiplin dan ikut antre dalam memperoleh sesuatu serta tidak membiasakan memakai jalan pintas dengan kuasa dan uang, ikut menjaga kebersihan dengan tidak membuang sampah sembarangan serta mendidik anak-anak sejak usia belia untuk berdisiplin dalam membuang sampah , mengejar ilmu untuk kebaikan sesama, serta seribu satu jalan lain yang dapat ditempuh.


YBT Suryo Kusumo

tony.suryokusumo@gmail.com
http://www.adikarsa.blogspot.com/
http://www.adikarsagreennet.blogspot.com/