Rabu, 05 November 2008

Jangan gilaaaaaa, dong !

Kalau kita rajin memelototi acara televisi di salah satu stasiun TV swasta, maka istilah diatas sudah sangat populer dikalangan anak gaul, lalu apa korelasinya dengan kondisi NTT saat ini ?

Memang tidak ada korelasi secara langsung, tetapi kalau dilihat perjalanan NTT selama ini, olokan diatas patut menjadi refleksi bagi kita semua untuk mengkoreksi kontribusi kita dalam tahapan kemajuan NTT.

Mengapa setelah hampir berusia setengah abad , NTT masih belum bisa beranjak menjadi propinsi yang mampu berswasembada pangan dan menjadi langganan berita media terkait busung lapar,balita kurang gizi dll?

Mengapa infrastruktur jalan yang dibangun untuk menunjang pengangkutan hasil pertanian serta membuka keterisolasian daerah terpencil belum dapat dilakukan secara optimal dan masih banyak ditemukan jalan antar desa yang tidak layak disebut sebagai jalan karena lebih menyerupai selokan ?

Mengapa hanya “sedikit” embung, waduk dan saluran irigasi teknis yang mampu dibangun untuk memanen air bagi keperluan multi sektor , sementara pengadaan mobil-mobil dinas terus bertambah dan semakin banyak yang lalu lalang ditengah kota ?

Mengapa alokasi APBD terlalu pelit untuk membeli unit PLTS yang memadai untuk rakyat didaerah terpencil yang sulit terjangkau listrik PLN dan apakah rakyat didaerah terpencil tidak berhak menikmati listrik atau tunggu dapat pasokan dari PLN yang katanya tahun 2020 dengan slogannya 100 - 75 , baru seluruh desa di Indonesia teraliri listrik (kalau tidak molor) ?

Mengapa rakyat miskin tidak diberi/digelontor kredit sapi untuk digemukkan sekaligus kotoran ternaknya digunakan sebagai biogas yang dapat dipakai untuk penerangan rumah dan memasok energi untuk memasak ?

Mengapa dalam mengurus KTP tidak dibuat praktis dan cukup sekali jalan sehingga tidak harus memakan waktu lebih dari sehari sehingga perlu kembali lagi, yang selain memakan ongkos transpor atau BBM juga waktu dan tenaga ?

Mengapa dipertanyakan ?

Pihak Dirjen Pajak pernah mengkampanyekan slogan ‘Warga bijak taat pajak”, tetapi sebenarnya itu saja belum cukup karena harus dibarengi dengan ‘Pemerintah bijak layani dan sejahterakan rakyat’.

Tidak cukup apabila hanya pihak rakyat yang diminta membayar PBB, pajak pendapatan, PPn dll, tetapi harus dipertanyakan kembali apakah dana hasil kumpul pajak digunakan secara benar dan tidak dikorupsi?

Pemerintah yang diberi mandat oleh negara untuk mengurus rakyat sehingga diharapkan tercipta “Persatuan Indonesia dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” seperti tercantum dalam sila ke-tiga dan ke-lima Panca Sila yang seharusnya menjadi acuan bagi para pelayan publik yang mampu menggerakkan antusiasme dan spiritualitas para pejabat negara dan PNS untuk bagaimana menjadikan acuan tersebut mampu diterjemahkan ke dalam rencana pembangunan yang holistik, jangan lagi seperti saat ini yang sangat berwajah sektoral, penuh KKN lagi.

Pegawai negeri yang bergerak dalam layanan publik sudah sepatutnya berjuang sekuat tenaga untuk memberikan layanan terbaik kepada para pelanggan (customer) yakni rakyat penghuni republik ini.

Paradigma yang masih menganggap rakyat harus tunduk dan taat karena posisinya yang berada dibawah para PNS dan menganggap dirinya sebagai pejabat yang tak lain adalah atasan rakyat yang punya kuasa merupakan konsep usang yang harus dibuang jauh-jauh dan tak perlu lagi didaur ulang.

Pemerintah diharapkan juga mampu mendorong tercipta dan terbukanya lapangan kerja melalui regulasi yang dilakukan dan mendorong pihak swasta merasa terjamin dan nyaman dalam menanamkan modalnya dan menjalankan usahanya.

Kebiasaan memeras para investor ketika mereka mau berinvestasi harus ditiadakan dan diganti dengan pelayanan satu pintu (one stop service) yang lebih cepat, tidak birokratis, murah dan transparan sehingga bebas dari aroma KKN.

Kebiasaan dalam hukum rimba untuk saling memeras dalam segala aktivitas di masyarakat harus ditiadakan , jangan ada lagi Polisi Lalu Lintas memeras pengguna jalan, Dokter memeras pasien, Jaksa memeras tersangka, Pendidik memeras anak didik, LSM memeras rakyat miskin dll sehingga diharapkan lingkaran pemerasan dapat diakhiri dan digantikan layanan profesional seperti yang sudah dicontohkan oleh Dubes baru Indonesia untuk Malaysia yang menggantikan dubes lama yang meskipun mantan Kapolri dan seharusnya memiliki jiwa mengayomi namun justru tega memeras TKI dinegeri jiran demi memperkaya diri sendiri.

Kemudahan dalam segala bentuk layanan pada rakyat baik layanan dasar (ketersediaan perumahan yang layak namun terjangkau , pangan murah, layanan kesehatan dan pendidikan murah./gratis, maupun layanan tingkat lanjut (MCK umum gratis, sarana untuk para penyandang cacat, akses internet gratis di ruang publik seperti terminal bus, bandara,dll, polisi untuk wisatawan, telepon umum gratis dll) seharusnya menjadi indikator apakah sebuah pemerintahan berjalan dengan baik dalam mensejahterakan rakyat atau sebaliknya membuat rakyat tambah sengsara dan hanya memperkaya dirinya ?

Maka yang dibutuhkan kedepan untuk meningkatkan layanan publik bukan lagi fokus pada isu jumlah pegawai yang tak mencukupi, gaji yang rendah dll, tetapi bagaimana dengan sedikit pegawai yang smart (cerdas), kreatip, inovatip, jujur, disiplin, profesional dengan dukungan teknologi Informasi mampu memberi kemudahan dan layanan yang prima.

Perlu ada reformasi birokrasi yang menyeluruh, terutama mentalitas sebagai pelayan yang berupaya untuk terus menerus memberi layanan terbaik karena dari situlah PNS digaji dan akan terus menerus dituntut memperbaiki layanan.

Habitus lama harus diganti dengan habitus yang baru menuju “NTT bangkit “menggantikan “NTT sakit” sehingga berita tentang penderitaan rakyat di NTT digantikan dengan kesukacitaan karena keadilan sosial bagi seluruh rakyat di NTT telah mulai terwujud.

YBT Suryo Kusumo
tony.suryokusumo@gmail.com
www.adikarsaglobalindo.blogspot.com

Tidak ada komentar: