Selasa, 16 Desember 2008

Memaknai NATAL secara beda, perlukah ?

Terjebak dan selalu terjebak lagi dalam romantisme lagu Natal dan berbagai pernak pernik hiasan Natal seperti kapas bertaburan di pohon NATAL yang melambangkan salju yang memutih menjelang setiap perayaan Natal yang jatuh pada 25 Desember, demikian kira-kira gambaran masyarakat kristiani saat ini.

Berbagai kenangan indah bernuansa NATAL bermunculan dan berkelebat dalam benak kita masing-masing dan kondisi semacam ini dilihat sebagai peluang bagi kalangan pembisnis. Pakaian baru, mainan baru, perabotan baru, perhiasan baru dan semuanya yang serba baru seolah-olah ingin menunjukkan kebaruan semangat hidup kita.

Namun ternyata meski semangat NATAL telah memasuki relung kehidupan kita saat ini, keberuntungan seringkali masih belum berpihak pada mereka yang lemah dan miskin.
Mari kita tengok kebelakang sejenak litani kepahitan hidup anak manusia di bumi tercinta Indonesia ketika media massa mengabarkan;

- kematian sia-sia banyak balita akibat busung lapar diberbagai penjuru Indonesia,
- orang tua yang memilih jalan bunuh diri dalam menyelesaikan problemanya namun sebelumnya tega meracuni anaknya sendiri karena alasan tidak tega melihat anaknya menderita,
- drama seorang penganggur yang terlunta-lunta di Jakarta sendirian dan akhirnya putus asa dan memilih bunuh diri dengan jalan loncat dari ketinggian sebuah bangunan rumah ibadah terkenal ,
- seorang pemuda yang frustasi karena tidak mampu membelikan obat untuk ibunya yang sedang sakit keras dan memilih loncat dari tower sebuah stasiun radio di Solo baru-baru ini yang berakibat kematian tragis,
- mereka para pekerja yang jumlahnya mencapai puluhan ribu bahkan diperkirakan mencaoai ratusan ribu yang telah dan akan kehilangan pekerjaan akibat PHK masal yang dipicu oleh krisis keuangan global,
- para korban Lumpur Lapindo yang masih harus berjuang untuk mendapat hak-haknya yang seharusnya dipenuhi pihak lapindo tanpa harus berdemo karena matinya rasa kemanusiaan para pimpinan Lapindo yang mengaku dirinya nasionalis namun tega membiarkan rakyat korban Lapindo sengsara dan mengemis suaka ke Kedubes Belanda,
- mereka para pedagang PKL yang tergusur dan tidak bisa berjualan lagi sehingga tidak ada lagi pemasukan untuk menunjang kehidupan keluarganya
- mereka para kaum miskin korban penggusuran maupun kebakaran yang kehilangan tempat tinggal dan harus rela menderita
- mereka para buruh yang rela dibayar murah karena tidak ada pilihan kerja lainnya
- para petani yang selalu saja susah mendapat pupuk untuk musim tanam padi dan harus membayar mahal sementara mereka harus menjual murah hasil panenannya
- kematian sia-sia para korban lalu lintas karena kecerobohan pengendara lainnya
- kematian sia-sia karena bencana banjir, longsor
- mereka yang harus hidup di kolong jembatan, bantaran kali dan daerah kumuh lainnya yang tidak layak untuk hidup dst

Menjadi refleksi untuk kita semua, mengapa sampai saat ini masih saja terus berjatuhan para korban yang sepatutnya tidak terjadi di negara yang mendasarkan pada Pancasila dan berkelimpahan sumberdaya alamnya ?
Mengapa perayaan NATAL yang kita peringati tidak mampu menjadi tonggak kelahiran solidaritas nyata yang mampu mengurangi jumlah korban yang menderita baik karena bencana alam, politik, kemiskinan, kesakitan dll ?

Solidaritas sejati, kemanakah ?

Memang problem bangsa yang besar ini tidak bisa diletakkan hanya dipundak kaum kristiani yang sebentar lagi merayakan Natal. Namun paling tidak hal ini bisa menjadi keprihatinan bersama kita sebagai kaum kristiani dan merupakan wujud rasa solidaritas sejati yang telah ditunjukkan dan diajarkan sendiri oleh Yesus yang mau solider dengan lahir dikandang hina di Betlehem sebagai pernyataan sikapnya yang mau bergaul dan mengangkat harkat dan martabat kaum hina dina.

Sudah layak dan sepantasnya kalau kaum kristiani yang kebetulan memiliki harta berlebih mau menyisihkan sebagian hartanya untuk misi kemanusiaan namun tidak dengan cara karitatif melainkan pemberdayaan. Alanglah indah jika para profesional kristiani mau berbagi kepandaian dan ketrampilannya secara gratis melalui berbagai cara seperti kursus singkat, mendirikan lembaga ketrampilan yang diperuntukkan untuk kaum papa dan anak jalanan.
Sudah selayaknya apabila momentum NATAL 2008, kita dilingkungan Gereja Katolik diajak merefleksi arah pendidikan yang difasilitasi oleh lembaga Katolik untuk tidak lagi fokus pada pendidikan formal yang hanya menciptakan banyak intelektual penganggur, meski mereka para siswa didik telah menghabiskan investasi berupa biaya pendidikan yang tidak sedikit jumlahnya.
Kalangan Konggregasi ataupun Ordo penyelenggara sekolah formal sebaiknya berpikir ulang dalam strategi mendidik anak bangsa sehingga alam kekayaan Indonesia bisa terkelola dengan baik demi meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat.

Contoh nyata adanya ATMI Solo yang mampu mendidik dan menghasilkan tenaga profesional di bidang permesinan, PIKA Semarang yang mampu menghasilkan para pengrajin meubel dengan kualitas tinggi, KPTT Salatiga yang mendidik para pemuda menjadi petani organik yang tangguh , akan sangat baik apabila bisa dilebarkan sayapnya ke daerah di Indonesia Timur sehingga mampu mencetak tenaga kerja profesional dibidang permesinan, perkayuan dan pertanian yang akan mampu memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah disekitarnya.

Peningkatan ekonomi umat yang miskin

Kiprah gereja Katolik dalam mendorong dan menfasilitasi pendirian CU/Koperasi Kredit atau lebih dikenal dengan Kopdit setidak-tidaknya telah membantu umatnya untuk lebih melek finansial dan mengetahui bagaimana bersikap tolong menolong melalui usaha simpan pinjam, hidup hemat bersahaja dan terencana sebagai wujud rasa solider diantara umat. Kopdit saat ini semakin meluas layanannya dan tidak hanya terbatas dikalangan warga gereja namun sudah lintas SARA sehingga dapat menjadi ajang untuk menumbuhkan solidaritas universal sebagai sesama umat TUHAN.
Melalui Kopdit diharapkan sikap eksklusip dapat digantikan dengan inklusip dan plural yang menghargai keberagaman sebagai anugerah dari Sang Pencipta.
Namun hal ini tidak cukup, karena untuk meningkatkan ekonomi umat terutama yang miskin perlu dibarengi dengan pendampingan lainnya seperti meningkatkan jiwa bisnis, menambah kemampuan manajemen usahanya dan memperluas jaringan kerja/networking. Disinilah peran dari umat lainnya yang telah sukses dalam berbisnis mau berbagi menjadi mentor bagi umat lainnya yang miskin yang kebetulan sedang merintis bisnisnya, sehingga diharapkan kemampuan bisnisnya meningkat dan mampu keluar dari kemiskinannya.

Para pemuka umat sebaiknya mulai secara strategis dan taktis mencari jalan bagaimana layanan yang dilakukan gereja dapat secara langsung meningkatkan perekonomian umat sesuai dengan potensi lokal yang ada.

Misal jika dilingkungan keuskupan terdiri dari umat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani maka layanan pastoralnya diharapkan dapat bersentuhan langsung dengan pertanian seperti misal pengembangan ternak sapi yang dipadu dengan wana tani dimana petani tidak perlu lagi membeli pupuk, cukup memanfaatkan kotoran ternak sapinya. Atau dapat pula mengembangkan tanaman kayu untuk jangka panjang karena selain bermanfaat secara ekonomis yakni berinvestasi, juga bermanfaat secara ekologis karena dapat mengurangi pemanasan global dan penghancuran hutan. Disamping itu gereja diharapkan dapat menfasilitasi penguatan organisasi petani menjadi kuat dan mampu mengakses pasar dengan melakukan pemasaran bersama sehingga possisi tawar umat yang kebetulan petani menjadi lebih kuat dan memperoleh harga jual dari hasil komoditinya secara layak.

Demikian pula jika kebanyakan umat menjadi nelayan, maka arah layanannya misalnya bagaimana organisasi nelayan menjadi kuat dan bersatu dalam emamsarkan hasil ikannya, bagaimana biaya sosial dapat dikurangi namun adat istiadat tetap lestari, bagaimana memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan pendapatan seperti teknologi budidaya rumput laut, melestarikan hutan bakau dst.

Dalam ikut menyadarkan arti pentingnya menjaga lingkungan dan menjadi petani yang maju, maka kurikulum pendidikan dipersekolahan katolik sebaiknya juga mengandung muatan bagaimana mengelola alam secara ramah namun mensejahterakan manusia yang tinggal didalamnya.

Dengan demikian meminjam istilah Romo Mangun, sebaiknya kita umat kristiani tidak menjadi bonsai yang enak dipandang namun kurang menghasilkan.
Kita coba secara kreatif memaknai NATAL secara beda dan tidak terjebak dalam romantisme sehingga diharapkan dalam merayakan NATAL tahun ini semua kegiatan yang kita lakukan mampu membuat perbedaan kearah yang lebih baik, tidak hanya disaat merayakan NATAL terlebih bagaimana sikap hidup dan habitus kita menjadi baru, bebas dari sifat yang melawan KASIH seperti iri hati, dengki, mudah marah, sombong/arogan, masih suka menyimpan kesalahan orang lain dan yang lebih penting bagaimana kesaksian hidup umat kristiani untuk bebas KKN dan ikut memberantas KKN secara aktip melalui karya nyata dalam keseharian. Semoga


YBT. Suryo Kusumo
tony.suryokusumo@gmail.com
www.adikarsagreennet.blogspot.com
www.adikarsaglobalindo.blogspot.com

Senin, 08 Desember 2008

PKL (Pedagang Kaki Lima) yang selalu teraniaya, mengapa ?

Tidak bosan-bosannya media TV swasta menyiarkan berita seputar pembersihan lokasi srategis dalam kota dari PKL (yang tak lain bagian dari UKM) karena berbagai alasan, dan yang paling sering dilakukan karena alasan mengganggu ketertiban umum dan memakan badan jalan.
Dan terlihat wajah para PKL dan keluarganya yang histeris karena melihat barang dagangannya yang disita dan diangkut keatas truk serta lapaknya yang diobrak-abrik dan dihancurkan dan bahkan dibakar oleh petugas baik Satpol PP maupun aparat gabungan.

Drama kemanusiaan yang menyayat hati ini selalu saja berulang-ulang dengan intensitas yang semakin lama tidak semakin berkurang namun justru semakin meninggi, sementara solusi yang diharapkan para PKL sebagai jalan penyelesaian semakin menjauh.

Meski harus diakui media telah memainkan peran secara optimal dalam melakukan advokasi untuk mengetuk hati para pejabat publik sehingga diharapkan dalam membuat kebijakan berpihak pada rakyat kecil seperti halnya kepada para PKL yang ulet berusaha/berbisnis namun terkendala dalam ketersediaan lokasi dan permodalan, namun sampai saat ini kita justru masih melihat kuatnya pengaruh para pemodal besar secara samar namun pasti dalam mempengaruhi pemerintah untuk terus secara konsisten dan persisten menggusur PKL
Lalu dimana peran dan tanggung jawab para anggota DPR/DPRD terhormat yang katanya mewakili suara rakyat (seperti bujuk rayu yang disampaikan ketika kampanye dulu) yang sering didengungkan Vox Populi ,Vox Dei (Suara Rakyat merupakan Suara TUHAN), dimana rasa keberpihakan para wakil rakyat terhormat seharusnya ditunjukkan sebagai sikap peduli pada penderitaan konstituen ?

Kondisi PKL diatas tak dapat dilepaskan dari tanggung jawab para anggota dewan terhormat, karena saat pengesahan rencana umum tata ruang kota telah melibatkan persetujuan DPR yang berarti keterjepitan dan tiadanya ruang usaha bagi para PKL dan sejenisnya memang telah dirancang secara sengaja dan sistemik sejak awal perencanaan kota karena mereka lebih memihak kepada para pemodal kuat dan mengabaikan peran dan keberadaan usaha sejenis PKL.

Jadi wajar jika PKL selalu saja dianiaya, diuber dan diobrak-abrik karena perspektif para pengambil kebijakan dalam hal ini eksekutif dan legislatif telah kehilangan kepedulian terhadap keberadaan PKL meski mereka tahu pada saat krisis PKL menjadi salah satu penopang perekonomian bangsa.

Disini sebenarnya permainan dimulai, dimana kekuasaan yang diberikan rakyat melalui pemberian suara rakyat lewat partai politik telah diselewengkan dari awal tujuannya semula berupa kekuasaan untuk mensejahterakan rakyat berbalik arah hanya menjadi alat dan sarana untuk mengejar kesenangan dan kekayaan pribadi saja. Maka wajar jika para anggota dewan yang terhormat maupun operator penggusuran di lapangan seperti Satpol PP telah berubah menjadi robot yang kehilangan rasa kemanusiaannya.


Ubah RUTR(Rencana Umum Tata Ruang) Kota yang memihak UKM

Dalam manajemen pembangunan kota maka perencanaan pemanfaatan ruang telah tertuang dalam RTUTR Kota dimana seluruh ruang telah dialokasikan dengan mempertimbangkan berbagai faktor. Namun dalam kenyataan yang seringkali dilupakan dalam draft perencanaan RTUTR maupun pembahasan untuk finalisasi dan persetujuan akhir adalah belum tersedianya lahan yang cukup untuk jalur hijau, taman kota yang luas untuk umum, tempat olah raga yang bebas untuk umum, dan tersedianya ruang/lahan untuk berjualan bagi PKL/UKM di tempat strategis.

Sudah bukan menjadi rahasia lagi kalau pemerintah daerah bersama DPRD lebih suka memihak pada kaum pemodal kuat sehingga wajar jika dimana-dimana dalam perkembangan sebuah kota akan bermunculan dan bertaburan mall/hypermarket yang dalam banyak hal selain mematikan para pedagang UKM, juga menjadikan pola hidup masyarakat kota sangat konsumtip.

Keberpihakan pada UKM yang dilafalkan pada saat kampanye seolah-olah hilang dan terlupakan begitu mereka sudah duduk di dewan, demikian pula para pejabat yang disumpah secara ritual agama juga ikut silau akan uang dan mengabaikan kaum UKM.

Kalau pihak yang seharusnya memikirkan bagaimana UKM termasuk didalamnya PKL menjadi besar justru tidak lagi peduli pada perkembangan mereka yang terbukti dengan tidak dialokasikannya ruang untuk UKM maka UKM pasti akan menjadi seperti anjing kurap/buduk yang diusir dan disia-siakan ketika sendirian dan tidak ada orang lain, namun kemudian dibelaskasihani seolah-olah pemiliknya orang yang sangat dermawan. Kepanjangan UKM bisa berubah menjadi Usaha Kecil Mati/Mampus jika tidak ada perlindungan dan keberpihakan dari para pelayan publik dalam hal ini pemerintah.

Pelayanan one stop service

Sudah saatnya pemerintah membalas jasa pada pelaku UKM yang telah menyelamatkan krisis nasional 1998 dan membantu pemerintah menyediakan lapangan kerja disektor non formal tanpa harus mengemis meminta pekerjaan sebagai PNS dan bahkan mereka para UKM juga diwajibkan membayar pajak dari penghasilannya yang kena pajak , tidak seperti PNS yang dibayari pajaknya oleh negara.

Jadi menjadi kewajiban bagi para PNS yang bergerak disektor layanan publik yang terkait dengan UKM untuk memberikan layanan yang ramah (bukannya marah meski jumlah hurufnya sama ) termurah, termudah dan terbaik melalui layanan “One Stop Service” dimana para UKM cukup mendatangi kantor tersebut yang sudah terbebaskan dari virus KKN dengan layanan yang prima, bahkan disediakan layanan online yang mudah, murah dan cepat.

Penyaluran KUR yang tepat sasaran

Meski sudah diluncurkan Kredit Untuk Rakyat (KUR) tahun lalu dan diiklankan melalui media elektronik namun kelihatannya masih banyak pelaku UKM yang belum memanfaatkannya.
Harus diwaspadai jangan sampai pagu krredit yang sudah disediakan justru diakses oleh pihak lain yang tidak memerlukan namun mengambil keuntungan dari kemudahan yang diberikan pemerintah.

Kita harus belajar dari pelaksanaan KUT (Kredit Usaha Tani) yang telah banyak disalahgunakan sehingga banyak kasus dimana petani tidak meminjam tetapi ditagih terus untuk mengembalikan kredit yang dimanipulasi oleh pengurus KUD.

Asistensi manajemen bagi UKM

Peluncuran dan pengucuran dana KUR saja dirasa tidaklah mencukupi untuk membantu UKM berkembang menjadi bisnis skala besar. Alangkah baiknya jika selain pengucuran kredit, juga disertai dengan asistensi baik dari sisi manajemen, wawasan bisnis, pengembangan jaringan kerja , pemanfaatan IT dll.
UKM juga dipersiapkan dalam memanfaatkan pesatnya pengembangan Teknologi Informasi untuk minimal bertahan dalam persaingan global yang tidak kenal ampun.
Pemerintah perlu memberikan perlindungan yang sifatnya mendewasakan dan mengayomi UKM, bukannya memanjakan, sehingga mereka para pelaku UKM dapat bertahan hidup ditengah gempuran yang dasyat baik dari internal maupun eksternal (seperti tsunami ekonomi dunia yang dimulai dari Amerika Serikat).


Bangga menjadi pelanggan UKM

Dan yang tak kalah penting bagaimana pasar domestik dibidik dan diedukasi untuk mencintai produk UKM yang berarti mencintai Indonesia. Aku cinta produk Indonesia tidak bisa hanya dengan diiklankan saja , tetapi harus disertai pembuktian lewat standar mutu SNI, sehingga pembeli tidak dikecewakan namun justru semakin tinggi tingkat kepercayaannya dalam menggunakan produk dari UKM.

Kecintaan terhadap produk UKM serta memilih membeli di PKL adalah cerminan rasa nasionalisme dan kebanggaan sebagai bangsa yang telah dibuktikan kejayaannya melalui pembangunan Candi Borobudur, Kapal Phinisi, dan berbagai peninggalan kejayaan masa lampau.

Mari kita bangun PKL menjadi pengusaha yang sukses dan tidak perlu lagi berjualan di kaki lima, mari kita bangun UKM menjadi pembisnis tingkat nasional yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.




YBT. Suryo Kusumo
tony.suryokusumo@gmail.com
www.adikarsagreennet.blogspot.com
www.adikarsaglobalindo.blogspot.com

Rabu, 03 Desember 2008

Memilih pemimpin bijak di era otonomi, sebuah keharusan ?

Memilih pemimpin dinegeri ini bagaikan memilih kucing dalam karung atau mencari sebatang jarum dalam tumpukan jerami.
Kita dapat melihat dengan sesungguhnya kondisi nyata negeri saat ini dimana Presiden dan Wakil Presiden yang menjabat saat ini dipilih langsung oleh rakyat ( berarti memperoleh mandat penuh dari rakyat) namun ternyata hasilnya masih saja belum mampu mengubah wajah negeri ini seperti harapan rakyat kebanyakan.

Begitu sulitnya memperoleh pemimpin yang betul-betul berani menyuarakan dan mewujudkan kepentingan rakyat diatas segalanya.
Banyak para pemimpin yang sebenarnya tidak layak disebut pemimpin tapi hanya sebatas pimpinan. Atau yang lebih tragis kalau kata pemimpin telah kehilangan huruf terakhirnya sehingga tinggal menjadi ‘pemimpi’.

Kurangnya pendidikan leadership/kepemimpinan

Miskinnya stok pemimpin ditingkat nasional menjadi persoalan yang serius ketika seolah-olah diantara warga bangsa ini tidak ada lagi yang mampu memimpin negeri ini dan kelihatannya untuk memperoleh pemimpin kedepan hanya terbatas pada stok “pemimpin gagal” yang harus didaur ulang karena tiadanya pilihan
Seolah-olah dengan memilih “pemimpin daur ulang yang telah gagal “ kita yakin akan terjadi perubahan karena para pemimpin ini telah punya pengalaman sebelumnya, padahal tanpa mengubah strategi maka tidak akan terjadi perubahan yang berarti, apalagi jika jelas-jelas tiadanya keberanian dalam diri pemimpin untuk mengambil keputusan besar yang punya konsekuensi terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat .

Pendidikan leadershi/ kepemimpinan yang sangat terbatas untuk generasi muda, tiadanya mentor yang mau melakukan kaderisasi secara terencana dan terukur, praktek kuasa uang yang bermain disegala lini dan mengorbankan orang yang jujur namun penuh potensi sebagai pemimpin, terbatasnya media yang mampu menguji kepemimpinan anak muda dll telah menyebabkan minimnya stok untuk kepemimpinan nasional karena untuk menjadi pemimpin dibutuhkan persyaratan memiliki uang yang banyak untuk dapat menggapainya. Padahal kita tahu seorang yang dijadikan pemimpin melalui politik suap/uang dan nepotisme tidak akan teruji dan cenderung menyalahgunakan jabatan yang diembannya, baik itu terjadi di partai politik, organisasi profesi maupun di bidang lainnya.

Miskin keteladanan dalam keseharian

Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, begitu bunyi peribahasa.
Pemimpin yang korup akan meneladankan pada pemimpin generasi berikutnya bagaimana berperilaku dan bertindak sebagai pemimpin yang bangga dalam memamerkan kekayaannya meski dari hasil korupsi.
Tidak heran jika seorang bapak menegur anaknya untuk tidak merokok namun pada saat bersamaan dirinya juga sedang merokok, maka hilanglah power sebagai ayah/pemimpin rumah tangga.
Demikian pula gambaran yang ada di masyarakat, banyak diantara pemimpin bangsa ini termasuk dalam golongan “lain kata, lain perbuatan”. Mereka hanya manis di bibir, pandai beretorika, berwacana, menciptakan pencitraan positip namun hanya sebatas layaknya pemain sinetron yang akan habis masa tayangnya, berperilaku STMJ (Sembayang Terus Mencuri/Maksiat Jalan), Berdoa Sambil Berdosa dan masih banyak lagi berbagai bentuk kemunafikan luar biasa yang dipertontonkan oleh para pemimpin negeri ini.

Masih ada pejabat yang bangga dengan lencana garuda dan lambang merah putih yang terpampang didadanya , namun masih saja berperilaku arogan, primordial, feodal (tasnya masih dibantu dibawakan bawahannya ), menindas bawahan, menyalahgunakan fasilitas dinas untuk kepentingan pribadi (mobil dinas untuk antar anak ke sekolah dan istri belanja), menganggap rakyat adalah abdi atau pelayannya, berjalan dengan mendongakkan kepala, dst.
Padahal ketika disumpah jabatan, mereka berjanji akan melayani, menjadikan jabatannya sebagai amanah dan seribu satu janji yang sangat manis didengar.
Masih banyak pejabat yang bangga jika terlambat namun masih ditunggu masyarakat tanpa harus malu dan meminta maaf atas keterlambatannya, justru semakin lama terlambat seolah-olah semakin menunjukkan bahwa dirinya adalah orang yang penting, dihormati, disegani, punya jabatan sehingga layak dan pantas jika masyarakat rela menungggu dalam ketidak pastian akan kehadirannya.
Ironis memang jika pemimpin yang seharusnya melayani dan rendah hati serta menunjukkan integritasnya dengan salah satunya datang tepat waktu justru berperilaku sebaliknya.

Rekruitmen yang belum tersistem

“The right people in the right place” sudah sering didengar, namun dalam menetapkan pejabat publik masih banyak yang hanya mendasarkan pada unsur syubektivitas, kedekatan dll.
Meski sudah ada sistem “fit and proper test” namun masih banyak pihak yang mencoba mengakali sistem tersebut sehingga tetap terjebak bermain dalam kepentingan masing-masing dan meninggalkan unsur obyektivitas. Perekrutan yang tersistem demi menghindari suap, nepotisme dan subyektivitas seharusnya menjadi standar minimal dalam merekerut para pemimpin negeri ini tanpa terjebak dalam aroma SARA. Dengan sistem rekruitmen yang baik diharapkan akan tersaring pemimpin yang benar-benar punya jiwa kepemimpinan, berintegritas tinggi, punya kompetensi dalam bidang yang ditanganinya, sehingga berkontribusi nyata terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat.

Falsafah Ki Hajar yang dilupakan

“Ing ngarso sung tulodo, ing madya mbangun karso, tut wuri handayani, yang dalam terjemahan bebas menjadi “Di depan memberi keteladanan, di tengah membangun motivasi untuk berkehendak baik, dibelakang menyertai selalu ”

Inilah sebenarnya yang diharapkan dimiliki dan diterapkan oleh pemimpin negeri ini yang dapat menjadi teladan lewat satu kata satu perbuatan, penuh jiwa yang welah asih, merakyat, berani melakukan pengorbanan tanpa pamrih, menjadikan jabatan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan secara moral.
Namun dalam kenyataan masih banyak yang melihat jabatan sebagai ajang dan titik masuk untuk memperkaya diri sendiri secara hina namun nikmat melalui KKN dan sebangsanya, dan sayangnya banyak pemimpin yang kehilangan dan mati hati nuraninya, mati rasa dan menjadi tahu tetapi tak mau tahu alias melacurkan diri demi kekayaan yang bersifat sesaat namun sesat.

Semangat “Ora et Labora”

Kalau semua pemimpin negeri ini menyadari bahwa didalam doa ada karya dan didalam karya ada doa, maka pastilah tidak akan terjadi pemimpin yang arogan dan penuh KKN melainkan pemimpin yang berintegritas tinggi, menjunjung kejujuran dan nilai hidup lainnya.

Kalau semua pemimpin sadar akan hari pengadilan terakhir, maka pasti akan menjadikan jabatan sebagai jalan untuk berkarya demi kebaikan sesama dan meninggalkan kenangan yang indah untuk yang dilayaninya melalui karya nyata dalam meningkatkan kesejahteraan umum.

Kalau semua pemimpin sadar bahwa hidup didunia ini hanya sementara dan sebentar saja dimana keselamatan akhirat yang menjadi impian kita didasari perilaku baik kita semasa didunia, maka pastilah para pemimpin berlomba-lomba memberikan yang terbaik yang mampu diberikan selama kepemimpinannya, layaknya peribahasa “Harimau mati meninggalkan belang, Gajah mati meninggalkan gading”

Jadi sekali lagi hidup adalah pilihan, akankah kita menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan TUHAN kepada kita yang menamakan diri pemimpin bangsa ?
Semua berpulang kepada hati nurani dan tujuan hidup kita.


YBT Suryo Kusumo
tony.suryokusumo@gmail.com
www.adikarsa.blogspot.com
www.adikarsagrennet.blogspot.com