Rabu, 10 September 2008

Hak Anak atas lingkungan kehidupan yang sehat

Setiap tanggal 23 Juli kita memperingati Hari Anak secara rutin untuk selalu mengingatkan bahwa anak mempunyai hak untuk mengekpresikan dirinya sebagai manusia yang utuh ciptaan TUHAN.

Seringkali dalam keseharian, kita melupakan bahwa anak kita bukanlah milik kita tetapi titipan TUHAN, seperti halnya pandangan Khalil Gibran dalam salah satu penggalan sajaknya yang menyatakan Anakku bukanlah anakku, Ia bagaikan anak busur panah yang melesat sesuai dengan kehendakNya. Sebagai busur kita tidak berhak menentukan kearah mana anak panah akan melesat, namun hanya bisa menfasilitasi apa saja yang harus disiapkan agar arah anak panah dapat mencapai sasaran. Seringkali kita terperdaya akan bentuk fisik anak yang kecil, lemah tak berdaya yang dengan mudah menjadi sasaran ambisi kita sebagai orang tua, menjadi ajang pelampiasan kasih sayang yang berlebihan yang menyebabkan anak menjadi cengeng, manja dan tidak mandiri dan yang paling menyedihkan anak seringkali menjadi korban kekerasan dalam segala bentuknya baik secara psikis, maupun fisik. Apalagi dijaman sekarang yang penuh dengan kesulitan dan himpitan ekonomi yang dengan mudah menyulut kemarahan orang tua dan kemudian melampiaskan kepada anaknya yang tak berdaya dan tak berdosa.

Masih banyak anak Indonesia yang dibesarkan dalam lingkungan yang tidak memadai untuk pertumbuhan dirinya secara normal karena keterbatasan orang tuanya yang belum mampu menyediakan lingkungan hidup yang sehat bagi si anak, seperti misal anak yang tinggal dilingkungan tempat pembuangan sampah (TPA), dipasar tradisional yang becek dan kotor, dipinggir bantaran kali maupun bantalan rel kereta api yang sewaktu waktu dapat membahayakan jiwanya. Masih banyak anak jalanan yang tidak terurus yang dibiarkan hidup terlantar dan terlunta-lunta yang setiap kali dapat menjadi korban kekerasan seks seperti sodomi, maupun pemerasan dan tindak kriminalitas lainnya oleh preman jalanan. Sungguh ironis meskipun konstitusi memandatkan pada pemerintah sebagai penyelenggara negara seperti tercantum dalam UUD 45 pasal 34 yang mewajibkan negara untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar, namun perhatian pemerintah masih saja belum optimal . Masih langkanya rumah singgah bagi anak jalanan, apresiasi terhadap bakat mereka melalui tersedianya berbagai sarana untuk menyalurkan bakat adalah bukti masih belum ada kesungguhan melihat talenta yang mereka miliki. Padahal kita tahu mereka anak jalanan maupun pengamen jalanan sudah mampu membuktikan melalui ajang di TV swasta seperti Mama Mia yang melejitkan Angel, juga Indonesia Idol ke 4 yang melejitkan Aris si pengamen di kereta api. Demikian pula dibidang ilmu pengetahuan, sudah banyak anak Indoensia menyabet penghargaan internasional.

Sangat minimnya ruang bermain bagi anak-anak di kota besar juga semakin memperkuat bukti masih rendahnya pemahaman kita akan pentingnya ketersediaan ruang yang cukup bagi pertumbuhan anak. Seringkali pertimbangan ekonomi lebih dominan dalam menyusun tata ruang kota sehingga ruang untuk anak seringkali diabaikan.

Bahkan meski pemerintah telah mencanangkan wajib belajar 9 tahun sebagai hak anak atas belajar secara gratis , namun masih banyak dijumpai anak-anak yang putus sekolah karena orang tua tak mampu membiayainya untuk kebutuhan diluar SPP.
Inilah ironi dimana dalam Pembukaan UUD 45 sangat tegas disampaikan tujuan Indonesia Merdeka adalah salah satunya “Ikut mencerdaskan kehidupan bangsa”, namun seringkali kita melihat pembiaran dan ketidak seriusan pemerintah menangani anak putus sekolah, yang berarti membiarkan tunas bangsa sebagai generasi penerus mengalami pembodohan ditengah arus pusaran globalisasi yang sangat cepat mengalami perubahan.
Lalu apa yang dapat kita harapkan apabila generasi mendatang dibiarkan tetap bodoh dan buta huruf (dalam artian tidak hanya buta huruf tetapi buta teknologi dan informasi).
Belum lagi kebijakan UAN (Ujian Akhir Nasional) bagi anak SD merupakan beban psiksis tersendiri bagi anak seusia mereka yang sebenarnya belum layak mendapat ujian semacam itu apapun alasannya.

Bagaimana sebagai sebuah bangsa, kita akan siap menghadapi persaingan yang begitu ketat dan menggila, jika generasi mendatang yang terwakili oleh anak-anak Indonesia dibiarkan tercemar dengan tontonan sinetron yang tidak mendidik, beredarnya video porno yang pelakunya anak sekolah yang seharusnya menjadi harapan bangsa kedepan, kekerasan yang dipertontonkan melalui acara Smack down, dan sebangsanya.

Yang lebih mengerikan ketika anak disuguhi adegan dalam keseharian kita korupsi yang dilakukan oleh orang tuanya dalam bentuk KKN sementara dengan penuh kesalehan orang tua yang ber KKN ria ini memberikan pesan moral kepada anaknya untuk rajin berdoa, menjunjung kejujuran dll. Begitu hipokritnya kehidupan orang dewasa yang dipertontonkan setiap hari kepada anak-anak. Lalu pertanyaannya, anak-anak akan meneladani kepada siapa ?

Belum lagi bahaya lain yang mengancam seperti NARKOBA yang disinyalir telah memasuki ranah dunia anak dari SD melalui berbagai tipu daya seperti yang terjadi baru-baru ini dengan menggunakan permen yang tidak asing bagi dunia anak. Sungguh sangat keji mereka yang telah tega meracuni anak dengan NARKOBA dengan segala triknya, sehingga anak-anak sebagai penerus bangsa telah kecanduan sejak dini yang jika dibiarkan akan membahaykan ketahanan negara. Layak bagi para pengedar NARKOBA untuk dihukum seumur hidup dengan kerja paksa untuk membuat jera mereka.

Kehidupan seks bebas yang sering mencemari kehidupan sosial dimasyarakat juga harus diwaspadai karena begitu mudahnya saat ini anak-anak mengakses tontonan orang dewasa, begitu mudah memperoleh alat KB untuk menghindari kehamilan, betapa banyak dan mudahnya orang dewasa melakukan perselingkuhan seks. Nilai sakral perkawinan termasuk kegiatan seks didalamnya, pendidikan agama yang mengajarkan nilai-nilai luhur perkawinan maupun seks, keteladanan para pemimpin untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan kehidupan keluarga akan sangat membantu anak untuk menjadi pewaris bangsa yang tangguh, punya nilai dan beradab.

Mari kita semua bertanggung jawab dan peduli untuk melindungi anak-anak kita sebagai tunas bangsa yang masih kuncup sehingga tidak membiarkan mereka layu sebelum berkembang.

Kita dukung perkembangan fisik dan psikis anak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat jasmani dan rohani sehingga anak-anak Indonesia pantas menggantikan kita yang telah berumur yang kebetulan belum bisa mewariskan Indonesia Jaya yang bebas dari korupsi, polusi lingkungan (sampah, racun sisa pertambangan dan pembalakan liar, kompleks pelacuran, hotel dan lokasi tempat selingkuh dll), kemiskinan, kebodohan dll.

Mari kita tidak mengulangi kesalahan yang sama untuk anak-anak dan jangan biarkan segala bentuk perilaku negatip kita wariskan kepada anak-anak kita. Sudah cukup rasanya hutang yang diwariskan kepada generasi mendatang, sehingga mereka tidak perlu lagi diwarisi perilaku kita sebagai orang tua yang korup, selingkuh, seks bebas, hipokrit dsb

Hidup anak Indonesia

YBT Suryo Kusumo
tony.suryokusumo@gmail.com
adikarsagreennet.blogspot.com
adikarsaglobalindo.blogspot.com

Pembantu rumah tangga (PRT), budak atau mitra ?

Pembantu Rumah Tangga merupakan sekelompok orang yang dinilai rendah dalam status sosial di masyarakat serta dianggap sebagai profesi kaum pinggiran yang terabaikan, terisihkan dan merupakan kelompok pekerja yang tanpa perlindungan hukum namun sangat dibutuhkan kehadirannya dalam sebuah kehidupan keluarga modern. Mereka ini adalah cermin dari sebuah potret buram masyarakat bawah yang terseok-seok meniti kehidupan dialam globalisasi tanpa ketrampilan yang berarti selain kekuatan fisik berupa tenaga yang ada padanya. Posisi tawar mereka sangat rendah terhadap ‘majikannya’, kalau tidak dapat dikatakan tanpa posisi tawar sama sekali. Kebanyakan dari mereka adalah kaum perempuan yang berasal dari desa dan mencoba masuk dalam kehidupan kota yang baginya merupakan sebuah kota impian dan penuh harapan. Namun antara kenyataan dan impian memang seringkali sangat berbeda, sehingga ketika mereka masuk dalam kehidupan realitas yang penuh dengan sandiwara dan kemunafikan, mereka harus melakonkan sebuah peran seperti halnya seorang budak, yang seringkali diperas tenaganya tanpa jam istirahat yang jelas, upah kerja yang rendah, menerima umpatan, caci maki dan perlakuan-perlakuan tidak manusiawi lainnya. Inilah awal dari sebuah kesengsaraan panjang dan litani kesedihan dari PRT yang hidup dalam situasi keterpaksaan dan tanpa pilihan.


Antara dicaci dan dibutuhkan

Kehidupan PRT memang sebuah paradoks, disatu sisi kehadiran mereka sangat dibutuhkan oleh para perempuan karir yang bekerja diluar rumah maupun para istri yang kerepotan atau malas mengurusi pekerjaaan domestik rumah tangga, namun disisi lain mereka sering sangat dibenci, dicaci maki, diumpat apabila sedikit melakukan kesalahan ataupun ketika berusaha istirahat sejenak dari kelelahan panjang yang menderanya. Padahal PRT sebelum berkerja tidak diberi orientasi dan dibekali dengan ketrampilan , namun mereka dipaksa harus belajar sambil bekerja, sehingga wajar apabila mereka sering melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kemauan dan standar minimal yang dimiliki majikannya. Sebuah ironi ketika melihat upah kerja yang diterapkan kepada mereka yang jelas-jelas sangat jauh dari upah standar minimum regional, namun dalam jam kerja mereka tidak mengenal kata istirahat. Demikian pula dalam hak-hak sebagai pekerja, mereka sama sekali tidak mampu menuntut seperti halnya para buruh, namun hanya mengandalkan kebaikan dari majikannya. Mereka setiap saat siap dipecat, diberhentikan walaupun mereka tidak mempunyai kesalahan apapun. Kebaikan hati dan pengertian dari majikanlah yang akan menyelamatkan PRT dalam kehidupannya dimasa kini dan masa depan , dan mereka sangat tergantung dari majikannya baik dalam menu makan, ketersediaan pakaian, kesehatan maupun hak-hak dasar lainnya. Padahal kita tahu bahwa mereka adalah kaum sebangsa yang kebetulan tidak beruntung dalam mengenyam kehidupan dalam era kemerdekaan bangsanya, yang tidak mempunyai pilihan lain selain sebagai PRT dalam menyambung hidupnya dan membantu orang tuanya di desa yang juga terlilit masalah kemiskinan yang mungkin sudah turun temurun. Jangan tanyakan arti keadilan bagi mereka, karena kata adil menjadi sangat abstrak dan tidak masuk dalam kehidupan mereka yang sudah biasa hidup dalam ketidakadilan dan penindasan yang terstruktur. Mereka sudah terbiasa dengan hidup penuh derita dalam kubangan kemiskinan dan tidak pernah lagi mempertanyakan mengapa semua ini harus dialaminya ? Hanya kepercayaan akan iman kepada Tuhan Yang Maha Adil yang menyebabkan mereka terus berjuang meraih kebahagiaan dalam hidup di dunia, mewujudkan kerja sebagai pengabdian kepada sesama, dan sarana untuk pemuliaan Tuhan. Mereka tidak pernah belajar teologi, namun mereka sangat meyakini bahwa hidup harus berusaha keluar dari penderitaan sebab sesuai iman yang diyakininya, Injil adalah khabar gembira bagi semua orang, termasuk dirinya. Bahkan dalam kemiskinannya, para PRT ini masih mampu menunjukkan solidaritasnya diantara mereka dengan memberi dari kekurangnya, meniru episod bijak seorang perempuan bersatus janda yang sudah jatuh miskin namun masih mampu memberi dari kekurangnya. Sementara dalam kehidupan modern kota, hal-hal bijak semacam ini sudah dianggap usang, kuno dan tak berlaku lagi karena untuk bertahan hidup kalau perlu kita mengorbankan orang lain atau memakan sesamanya, meskipun kita mengaku sebagai seorang yang beriman!

PRT, budak atau mitra ?

Memperlakukan PRT seperti halnya seorang budak belian dimasa lampau sebenarnya sudah tidak pantas lagi dijaman reformasi yang mengagungkan HAM dan menjunjung tinggi hak setiap warga untuk memperoleh pekerjaan secara layak. PRT sebenarnya bukanlah pembantu/budak kita, namun sebagai pekerja yang kebetulan membantu kita. Maka hak-hak seorang pekerja harus diberikan kepada mereka, baik dalam jumlah maksimum jam kerja setiap minggu, jaminan hidup yang layak maupun perlakuan manusiawi lainnya. Bukankah mereka adalah kaum sebangsa kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang kebetulan kurang beruntung nasibnya? Atau kita sudah tidak peduli lagi, karena kita lebih berorientasi pada hal ekonomis menyangkut penghematan biaya, dibanding menghormati harkat dan martabat seorang manusia sebagai mahluk ciptaan yang secitra denganNYA ? Bukankah kalu kita merendahkan harkat dan martabat PRT berarti juga ikut merendahkan Sang Pencipta ? Atau kehidupan keagamaan kita hanya berlaku ketika kita beribadah pada hari tertentu saja dan tidak perlu tercemin dalam perilaku kehidupan keseharian kita ?


PRT = Pekerja Rumah Tangga

PRT untuk saat ini dan ke depan sebaiknya bukan lagi kepanjangan dari Pembantu Rumah Tangga melainkan Pekerja Rumah Tangga. Dengan mengakui mereka sebagai pekerja, maka sudah sewajarnya apabila kita yang menggunakan jasanya memberikan hak-hak dasar sebagai seorang pekerja, terutama dalam jam kerjanya, upah yang layak, perlakuan yang manusiawi, jaminan hidup yang lebih baik, serta hak-hak sosial sebagai warga masyarakat. Kita dapat membayangkan betapa repotnya apabila mereka tidak ada, dan kita semua harus mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga kita secara mandiri dan sendiri. Sudah saatnya kita juga ikut serta memberdayakan para pekerja rumah tangga yang ada di keluarga kita, sehingga mnereka tidak harus selamanya dalam hidupnya berprofesi sebagai PRT melainkan hanya sebagai batu loncatan untuk mempunyai ketrampilan yang lebih baik dan lebih beragam untuk kehidupan di hari depan. Mungkin mereka dapat diberi kesempatan untuk melanjutkan ke sekolah formal, belajar ketrampilan memasak, menjahit, manajemen wirausaha kecil, atau ketrampilan lainnya sehingga mereka dapat merajut hari esoknya menjadi lebih baik. Dan ketika kita melihat mereka dengan profesi yang lebih baik lagi, maka kita ikut bangga karena secara tidak langsung kita ikut terlibat mengantar seorang anak bangsa menuju kehidupan yang lebih berharkat, bermartabat dan manusiawi. Semoga semakin banyak keluarga yang mempunyai niatan suci untuk memberdayakan PRT menjadi lebih meningkat wawasan dan ketrampilannya, memperlakukan mereka secara manusiawi sebagai bagian dari keluarganya, memberikan kesempatan untuk menggunakan hak-haknya, termasuk hak istirahat dan menjaga kesehatannya.
Jangan lagi ada perlakuan yang kurang manusiawi diantara kita terhadap PRT, dan marilah mereka kita jadikan mitra , karena kita harus mempertanggungjawabkan perbuatan kita, yang mungkin saja didunia fana ini kita luput dari tangan-tangan hukum, namun kita tidak akan luput dari keadilanNYA ! Bukankah indikator keberhasilan hidup kita adalah selamat baik di dunia dan di akhirat ? Apalah artinya kita memiliki semua yang ada di dunia, namun kita kehilangan kesempatan untuk masuk dalam kerajaanNYA? . Amin.

Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik

Heboh DPRD NTT yang mengambil porsi dana PDAS 2001 sebesar 43,8 % atau dana APBD 47,4 % sungguh menyentak hati nurani kita sebagai warga rakyat NTT. Betapa tidak, dana PADS yang keseluruhan berjumlah Sembilan belas milyar delapan ratus juta rupiah (Sasando Pos 1 & 10 Maret 200) merupakan dana yang dikumpulkan secara susah payah dari seluruh masyarakat NTT yang bekerja keras membangun perekonomian keluarganya sekaligus perekonomian NTT. PADS merupakan akumulasi dari berbagai masukan yang berasal dari setoran BUMD, retribusi, kekayaan SDA dll disiapkan terlebih untuk memakmurkan rakyat, sehingga pembenaran dalam bentuk apapun, termasuk demi pemberdayaan anggota dewan seperti yang dikatakan Ketua Komisi B DPRD NTT Ir. Umbu Pura Woha sungguh tidak dapat diterima dan tidak masuk akal sehat. Perlu penjelasan kepada publik dan pertanggungjawaban dari anggota dewan yang terhormat atas pengambilan porsi PADS tersebut Kejadian seperti ini semakin menunjukkan dan membenarkan asumsi dan indikasi akan lemahnya mekanisme sistem kontrol yang dimiliki masyarakat terhadap wakil rakyat yang menyatakan dirinya sebagai penyambung aspirasi masyarakat. Beruntunglah kita masih mempunyai rakyat dan mahasiswa kritis yang diwakili teman-teman dari LSM maupun kelompok JALUR (Jaringan Peduli Uang Rakyat) yang berani menyuarakan protes rakyat yang sebagian cenderung diam karena ketidaktahuannya maupun karena apatis. Sikap diam rakyat janganlah diartikan sebentuk jawaban persetujuan atas keputusan dan ulah anggota dewan. Hikmah dari peristiwa yang menghebohkan ini telah menyadarkan bahwa sebagai rakyat, kita ternyata telah kehilangan dua hak pokok yang sangat strategis yakni pertama pada tingkat mengakses informasi yang berkaitan dengan kepentingan rakyat, dan kedua adalah kontrol atas keputusan-keputusan yang diambil oleh para wakil rakyat yang menyangkut kepentingan publik maupun pelaksanaannya oleh eksekutip.

Politik massa mengambang.

Kehadiran Orde Lama dan Orde Baru selama hampir 54 tahun ternyata tidak terlalu banyak memberi sumbangan bagi pencerahan dan pencerdasan pemahaman politik masyarakat yang diklaim dilayani dan disejahterakan. Kebijakan politik massa mengambang selama ORBA telah menjauhkan masyarakat dari politik sehingga berdampak sampai saat ini dimana terlihat rakyat kebanyakan masih beranggapan masalah politik tidak penting karena tidak berkaitan langsung dengan hidupnya, dan yang lebih penting adalah bagaimana berjuang untuk terus bertahan hidup. Rakyat kurang paham akan pentingnya partisipasi dalam politik, karena secara mikro tidak langsung menyentuh kehidupannya, padahal secara makro keputusan yang dibuat oleh DPR (legislatip) maupun pemerintah (eksekutip) akan berpengaruh besar terhadap kehidupannya meskipun tidak langsung seperti antara lain kenaikan listrik, BBM, sembako dll. Slogan ORBA yakni “ Politik No, Pembangunan Yes” telah merasuk kedalam pola pikir rakyat, terlebih rakyat kecil yang menjadi korban dan dikorbankan sebagai tumbal pembangunan. Rakyat kecil yang jujur dan polos namun telah kenyang berjuang dengan linangan dan kubangan air mata yang telah habis terkuras meskipun didampingi para ksatria sejati (baik dari kalangan intelektual sejati, LSM kritis, agamawan nurani, pers idealis maupun dari kalangan masyarakat peduli sosial), ternyata dalam masa ORBA tetap sebagai pihak yang kalah, dan kebenaran yang dimiliki rakyat tidak menjamin adanya kemenangan karena begitu dominannya pemerintah terhadap rakyat. Kekalahan dan ketertindasan rakyat kecil, secara dibawah sadar telah mengajarkan kepada rakyat lainnya untuk tidak coba-coba berlagak sok idealis dan menerapkan lagu mars yang kita kenal ‘maju tak gentar membela yang benar”. Pengalaman empiris mengajarkan untuk tidak mencoba melawan pemerintah ORBA apabila tidak ingin dimatikan hak politik dan hak pribadi diri dan keluarganya. Lebih baik rakyat kecil bernyanyi “ Bintang kecil di langit yang tinggi” sebagai impian, sementara para penguasa dengan nikmatnya melantunkan lagu “kemesraan” dalam ber KKN ria.

Hutang luar negeri atas nama rakyat, dan pengurasan SDA demi terpenuhinya APBN dan APBD ternyata lebih banyak masuk ke kantong-kantong penguasa dan kroni-kroninya. Atas nama pembangunan bangsa , telah berapa banyak korban rakyat baik jiwa maupun penderitaan batin karena harus tergusur, keluar dari tanah leluhurnya yang telah diakrabinya sejak kecil . Pertambangan rakyat digusur dan digantikan dengan perusahaan multinasional, yang mampu menyediakan “angpao” untuk para penguasa. Hak-hak atas tanah adat/ulayat tidak diakui dan diklaim sebagai milik negara yang kemudian dibagikan kepada pengusaha dalam bentuk HPH (Hak Pengusahaan Hutan yang berubah akronimnya menjadi Hak Perusakan Hutan, dalam kenyataannya). Dana yang masuk dari pengusaha digunakan oleh partai/ orsospol yang berkuasa sebagai dana taktis untuk memenangkan pemilu. Inilah wajah dari praktek otorianisme yang didukung pendekatakan keamanan (militeristik). Suara-suara yang menyatakan bahwa ORBA lebih baik daripada Orde Reformasi Transisi dengan alas an pembenaran karena lebih mampu memberi rasa aman, stabilitas politik terjamin, harga sembako murah, dll telah membuktikan ‘ keberhasilan proses pembodohan politik, sosial dan ekonomis ‘ yang secara sangat halus, perlahan dan sistematis telah mampu menumpulkan daya analitis banyak pihak yang hanya mau berpikir secara pragmatis, instan, berjangka pendek, meskipun secara prinsipal berlawanan dengan jiwa dan semangat pembukaan UUD 45 yakni antara lain mencerdaskan kehidupan bangsa. Dampak jangka panjang dari politik massa mengambang telah m,engakibatkan rakyat mengalami kebingungan dan gamang melihat situasi yang semakin rumit dan tidak menentu di negeri yang kita cintai serta tidak tahu apa yang harus diperbuat.

Penyadaran melalui pendidikan politik

Sudah saatnya sekarang untuk meninjau kembali sistem ketatanegaraan Indonesia, karena baik Soekarno maupun Soeharto melakukan kesalahan yang sama. Perlu dikaji lebih dalam mengapa orang –orang terbaik pilihan bangsa yang menjadi orang nomor satu di republik ini selalu berakhir dengan tragedi. Mengapa sejarah selalu berulang dan para pelakunya tidak mau belajar dari pengalaman sebelumnya ? Apakah setelah Habibie, maka Gus Dur juga akan mengalami nasib serupa dan seterusnya ? Perlu perbaikan sistem yang menyeluruh dalam ketatanegaraan kita yang mampu memisahkan kekuasaan eksekutip , legislatip, dan yudikatip dan mempunyai sistem akses dan kontrol dari masyarakat terhadap ketiga lembaga sehingga kedaulatan benar-benar berada ditangan rakyat. Diperlukan percepatan proses perubahan amandemen UUD 45 yang tidak hanya melibatkan elit politik tetapi juga menjadi wacana diskusi di tingkat publik (masyarakat). Masyarakat harus diajak, disadarkan serta dikondisikan untuk berani menyatakan dan menyuarakan pendapatnya yang disertai argumen yang jernih, logis, dan demi kepentingan rakyat kebanyakan, seperti mengenai kebijakan politik (Amandemen UUD 45, Undang-Undang, PP, Kepres , termasuk penyedotan 43,8 % anggaran PADS oleh anggota DPRD dll) yang akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Maka slogan “Politik No, Pembangunan Yes’ harus digantikan dengan “ Politik Yes, Pengembangan Masyarakat menuju kesejahteraan Yes’. Politik harus diartikan sebagai sarana kegiatan untuk memperjuangkan kepentingan bersama bangsa melalui partai politik yang dipilih dan diyakini mampu mewujudkan kehidupan kebangsaan menuju perwujudan sila-sila Pancasila dalam keseharian. Maka ketika kehidupan politik kita mendasarkan pada antara lain sila pertama berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, proses pembunuhan /pembantaian antar suku, agama, kepentingan politik maupun kegiatan dekstruktif lainnya dalam bentuk teror seperti diskriminasi, pembakaran, pengeboman dll secara moral menjadi tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Orientasi para politisi yang masih memakai paradigma lama meskipun mengaku baru, yakni ‘politik untuk kekuasaan’ harus diakhiri dan digantikan dengan paradigma baru yakni ‘politik untuk kesejahteraan rakyat’ yang bertujuan mewujudkan sila kelima yakni’ keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. Dengan demikian “Suara rakyat adalah suara Tuhan” benar-benar dijiwai oleh para politisi dan tidak lagi menonjolkan kekuasaannya, karena kekuasaan yang ada ditangannya disadari adalah pinjaman dari rakyat yang sewaktu-waktu dapat diambil kembali apabila rakyat tidak mempercayainya lagi. Jangan mentang-mentang menjadi wakil rakyat terus menjadi penguasa yang sok merakyat, sok pejuang, padahal rakyat dengan pintar dan cerdas dapat melihat dengan kasat mata bahwa yang dipikirkan wakil rakyat hanya bagaimana untuk terus dapat menduduki kursi empuk yang menyajikan kenikmatan duniawi semata . Janganlah para penguasa mengikuti tayangan iklan sebuah produk furniture ‘Kalau sudah duduk lupa berdiri’ yang dapat diartikan kalau sudah jadi anggota dewan, lupa dengan nasib rakyat yang diwakilinya. Alasan yang dibuat-buat yang dengan terang-terangan menyedot uang rakyat tanpa mensejahterakan rakyat, sudah tidak dapat diterima ditengah masyarakat yang kritis, dan di kalangan kaum menengah yang peduli pada penderitaan rakyat. Seharusnya para anggota dewan terhormat harus mampu menjaga kehormatan dan wibawa tidak dengan cara-cara lama seperti mencari kambing hitam, mencurigai adanya pihak ketiga yang menunggangi dsb, tetapi dengan tingkah laku yang peka akan ampera (amanat penderitaan rakyat), meningkatkan kinerja yang dapat secara langsung hasilnya dirasakan rakyat. Ruang sidang yang sebenarnya bagi politisi kerakyatan adalah ditengah-tengah kehidupan rakyat yang memberi mandat, yang saat ini sedang mengalami hidup susah karena didera krisis multi dimensi berkepanjangan, tiada tersedianya lapangan kerja yang cukup, tingginya biaya hidup karena kenaikan sembako, tarif listrik & telepon yang tinggi, kenaikan BBM, mahalnya biaya pendidikan dll. Janganlah anggota dewan merendahkan diri sendiri hanya karena tidak mampu meminta dan mengucap kata maaf kepada rakyat atas kesalahan yang diperbuat baik sengaja maupun tidak sengaja, dan mencoba untuk berbalik menuju kebenaran demi kesejahteraan rakyat. Baju safari dan kemeja lengan panjang berdasi maupun simbol –simbol lainnya seperti kendaraan dinas yang exclusif sudah tidak mampu menambah rasa hormat rakyat, karena rakyat semakin menyadari bahwa selama ini mereka diberi impian kosong, janji-janji muluk, serta diperalat pada saat pemilu hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan yang menyebabkan kehidupan rakyat tidak berubah, bahkan semakin dalam terjemurus ke jurang kemiskinan dan ketakberdayaan. Rakyat dengan belajar dari pengalaman, semakin sadar bahwa tidak akan ada perubahan nasib jika hanya menyandarkan harapannya pada para legislatip dan eksekutip , dan hanya rakyat sendirilah yang mampu menolong dirinya sendiri. Rakyat menjadi kebal, muak dan apatis terhadap pidato yang retoris, berapi-api namun terlupakan dalam realisasinya. Rakyat bukan seperti keledai bodoh yang akan terantuk kembali pada batu yang sama untuk kedua kalinya, maupun kecebur didalam lubang yang sama. Mereka sudah mengetahui ‘praktik permainan politik kotor’ para politisi yang menggunakan mereka sebagai batu loncatan/pijakan untuk para politisi mengenyam hidup nikmat.

Sudah saatnya para politisi untuk ditantang keluar dari ruang sidang yang ber AC menuju ruang sidang sebenarnya yakni ditengah-tengah rakyat kecil yang hidup susah di daerah kumuh kota maupun di masyarakat pedesaan terpencil yang belum memperoleh pelayanan yang memadai dari pemerintah ( baik di bidang transportasi darat & laut ,listrik, sarana komunikasi, belum ada jamban/WC, sanitasi yang jelek, mengalami susah pangan dll, ) meskipun rakyat telah merdeka hampir 56 tahun lamanya. Beranikah wakil rakyat yang terhormat demi mewujudkan kepeduliannya, permberdayaan diri dan mengasah kepekaan hati nurani melakukan ‘live in’ ke desa terpencil dan daerah kumuh selama sebulan untuk bergaul dan bergumul dengan permasalahan nyata masyarakat kecil sehari-hari dan mengetahui dengan sesungguhnya apa yang terjadi dengan rakyat yang diwakilinya ? Maukah para politisi memperjuangkan secara maksimal pengadaan sarana dasar untuk sebuah kehidupan pedesaan secara layak ? Sudahkan para wakil rakyat secara bersama-sama dengan semua pihak yang peduli rakyat memikirkan pelaksanaan penguatan ekonomi rakyat secara nyata sampai pada pelaksanaannya (termasuk didalamnya menaikkan harga hasil pertanian, perkebunan milik rakyat dll) ?

Mari kita bangun perpolitikan yang sehat dan menggunakan akal budi yang luhur serta nurani melalui tindakan nyata keseharian para politisi yang langsung menyentuh kepentingan rakyat kebanyakan. Kita jauhkan perdebatan politik tingkat tinggi yang hanya memuaskan diri para politisi, namun menyengsarakan rakyat yang diwakilinya. Mari kita kurangi ‘masturbasi/ onani politik’ yang hanya membuang energi percuma dan hanya memuaskan ego, namun tidak memberi kemaslahatan bagi rakyat. Sudah cukup penderitaan rakyat untuk tidak ditambah. Sebaiknya para politisi belajar dari sebuah episod bijak mengenai Goliat dan Daud, dimana meskipun Goliat berbadan besar dan berkuasa namun kalah oleh Daud yang meskipun kecil tetapi cerdas dan diberkati Tuhan. Salam untuk para wakil rakyat dari saya, salah seorang dari rakyat kebanyakan yang mencoba menggunakan haknya untuk mengontrol anggota dewan terhormat sehingga tetap terjaga kehormatannya sampai pemilu berikutnya . Biarlah kita bersama saling memaafkan, saling belajar dari kesalahan dan menuju kebenaran, saling menjadi lebih bijak satu dengan yang lain, sehingga kita mampu mengedepankan nasib rakyat diatas nasib kita sendiri. Horas wakil rakyat, sebaiknya lirik lagu Iwan fals tentang wakil rakyat tidak perlu didendangkan lagi dijaman reformasi karena memang seharusnya tinggal hanya kenangan.


YBT. Suryo Kusumo (Pengembang Masyarakat Pedesaan)

Tetap merdeka dalam keterpurukan ?

Setiap memasuki bulan Agustus, kita selalu diingatkan oleh peristiwa heroik yang terjadi di era tahun 45 ketika dengan gegap gempita serta dalam kondisi yang serba seadanya atau bahkan kekurangan, kita sebagai bangsa memproklamirkan kemerdekaannya. Saat ini dalam rangka memperingati hari kemerdekaan , kita disepanjang jalan dapat menemui beberapa kendaraan yang melilitkan sebuah bendera ukuran kecil yang kita hormati dan kita pertahankan dengan pengorbanan jiwa berupa bendera merah putih. Masih segar dalam ingatan ketika sekolah di SD guru saya menjelaskan tentang arti warna bendera kita dimana merah diartikan berani dan warna putih artinya suci dan diajari menyanyi lagu “berkibarlah benderaku …”. Maka dikaitkan dengan situasi yang terjadi di tanah air saat ini, saya mencoba merenung kembali apa sebenarnya arti kemerdekaan bagi pribadi saya ditengah keterpurukan bangsa ini, dan ditengah perebutan kekuasaan yang tanpa etika dan moral yang lebih mengedepankan kepentingan golongan maupun partai ? Ketika kita melihat tingkat kesulitan hidup yang luar biasa bagi saudara-saudara kita yang masih terhimpit dan terjepit kesulitan ekonomi untuk dapat memenuhi kebutuhan mempertahankan hidup secara fisik saja, ketika ribuan bayi. balita dan batita mengalami ketidaknormalan pertumbuhan baik fiisik, intelektual maupun psikis karena gisi buruk, ketika banyak anak tak mampu lagi bersekolah, ketika semua harga kebutuhan dasar, tarif listrik, tarif telepon, tariff BBM melonjak dan tak terjangkau, ketika kelaparan melanda dibeberapa daerah di Indonesia, ketika bom meledak di berbagai daerah, dan ketika kita bertanya mengapa semua ini terjadi padahal kita telah merdeka selama 60 tahun ? Tidak mudah menemukan jawab, dan mari kita tanya kepada rumput bergoyang, sejauh mana kita sebagai pribadi/personal sebagai warga negara yang baik ikut menyumbang kebaikan bagi negeri ini ? Seperti yang didengungkan oleh seorang Kennedy Presiden AS yang terkenal yang menyatakan ; ‘Jangan tanyakan apa yang diberikan negara kepadamu, tetapi tanyakanlah apa yang telah kau berikan untuk negaramu ?’

Mengulang rutinitas

Ketika tanggal 17 Agustus sudah mulai dekat, kita selalu melihat banyak pagar depan rumah dan kantor diperbaiki dan dicat kembali, diberbagai jalan dipasang umbul-umbul bendera, pemasangan gapura, diadakan lomba baris berbaris, panjat pinang dsb, ada kegiatan hiburan dengan berbagai macam atraksi yang digelar, dan pada saat 17 Agustus maka beramai-ramai kita melakukan upacara bendera untuk memperingati hari proklamasi yang mengantar kita sebagai sebuah bangsa yang merdeka, bermartabat dan berdaulat. Semua rutinistas ini selalu berulang setiap tahun dan jangan sampai kita secara tak sadar terjebak dalam suatu rutinitas yang tak bermakna. Apakah kita sebagai sebuah warga dari bangsa yang merdeka benar-benar merasakan makna penting dari sebuah kata merdeka ? Atau kita tidak peduli lagi dengan semua yang terjadi di republik ini ? Sudah saatnya bagi kita untuk merefleksi kembali dan menggugat arti dari keadaan ‘merdeka’ dalam artian yang sebenarnya !. Ketika 60 tahun berlalu dan kita memasuki milenium ke tiga , kita dapat bertanya kembali sudah sejauh mana perjalanan kita sebagai bangsa yang mempunyai cita-cita kedepan untuk masyarakat Indonesia ? Bukankah para pendiri bangsa sudah memandu kita melalui pembukaan UUD 45 yang didalamnya memuat arahan bagi kita dalam mewujudkan masayarakat yang adil dan makmur ? Ketika Bapak pendiri bangsa mengamanatkan dalam pembukaan UUD 45 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, pertanyaannya untuk kita semua sudah seberapa banyak dari warga kita yang benar-benar cerdas dan kritis, bukan hanya sekedar mempunyai gelar akademis S1, S2. S3 ? Atau masih banyak diantara kita yang melacurkan intelektualitasnya demi kemapanan hidup, menjaga status quo, memikirkan diri dan keluarganya saja, memperoleh jabatan yang berarti memperoleh fasilitas dan angpao, memutarbalikkan fakta dan kebenaran, memenuhi dan memuja hedonisme untuk diri kita ? Seberapa banyak para birokrat kita yang dengan kecerdasannya dan kearifannya mampu meningkatkan harkat hidup dan kesehjahteraan masyarakat, terutama masyarakat miskin di daerah terpencil ? Seberapa jauh para akademisi dengan kemampuan intelektual dan ilmunya mampu mengurai dan mengurangi kesulitan yang dihadapi masyarakat kecil melalui penggunaan teknologi, penerapan sistem ekonomi yang memihak rakyat maupun ilmu-ilmu lainnya yang terkait langsung dengan kehidupannya ? Seberapa banyak pemuka agama yang mampu membebaskan umatnya dari rasa putus asa karena menjadi pengangguran akibat tidak memperoleh kerja sebagai penopang hidup dan wujud dari aktualisasi dirinya ? Seberapa banyak polisi yang benar-benar mempunyai keinginan untuk mengayomi dan memberikan rasa aman kepada warga masyarakat ? Seberapa banyak dokter dan paramedis yang benar-benar melayani masyarakat dengan sepenuh hati untuk dapat sembuh dari penyakit dan penderitaaan yang dialaminya ? Atau kita semua dari berbagai profesi sudah terlilit dalam kubangan materialisme dan hanya uang dan materi yang mampu menyemangati dalam kehidupan kita. Ketika kita melihat dalam kehidupan kita sehari-hari adanya perampokan secara kasar oleh penjahat maupun secara halus oleh pejabat melalui KKN yang menumbuhkan kebencian dari masyarakat karena membuahkan kekerasan dan ketidak adilan dalam masyarakat, maka perayaan kemerdekaan dapat menjadi ajang refleksi bagi kita semua, apakah kita benar-benar paham arti sebuah kemerdekaan atau kita hanya sekedar ikut meramaikan saja supaya kelihatan sok nasionalis ?
Merampok uang rakyat, menggunakan kekuasaan untuk kepentingan keluarga, golongan maupun kelompoknya merupakan tindakan orang-orang yang belum merdeka karena terbelenggu oleh penguasaan materi dan kekuasaan dan selalu merasa terperangkap dalam nafsu serakah dan kekerasan.


Merdeka dalam keadilan

Mari kita rayakan kemerdekaan dengan kesungguhan hati , kebeningan nurani, kepekaan sosial yang tinggi, kecerdasan yang kita miliki, kearifan, dan mempertanggungjawabkan kemerdekaan yang kita alami semuanya pada Sang Maha Adil. Kita gunakan momen yang penting dan bersejarah ini untuk tidak terjebak dalam rutinitas, namun mampu menggali arti hakiki dari sebuah kemerdekaan. Masing-masing dari kita sebagai warga negara yang baik dengan talenta yang kita punyai dan profesi kita mampu menyumbang rasa keadilan dalam pembangunan republik ini sehingga tidak justru sebaliknya memanfaatkan semua peluang / celah hukum maupun sistem kontrol untuk melakukan KKN dan sebangsanya yang merugikan negara dan menimbulkan ketidakadilan yang berujung pada tumbuhnya kekerasan dalam masyarakat dan ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai penyelenggara negara. Kita cermati UUD 45 yang belum terealisasi untuk kita realisasikan sebagi wujud penghormatan kepada para pejuang yang telah gugur membela kemerdekaan maupun para pendiri bangsa yang dengan susah payah memerdekakan negeri ini dari penjajahan. Kita lakukan amandemen UUD 45 untuk menyempurnakan tatanan republik ini sehinga lebih demokratis, berkeadilan dan beradab. Jangan ada lagi penjajahan gaya baru baik oleh bangsa kita sendiri maupun bangsa lain, berupa penjajahan ekonomi, hukum maupun lainnya atas nama globalisasi. Mari kita wujudkan kata merdeka dalam tindakan, bukan sekedar teriakan yang hanya enak didengar namun tidak ada implikasinya dalam mensejahterakan rakyat. Hidup rakyat Indonesia yang mampu merdeka dalam berpikir dan berpikir merdeka !!!!

Memotret masyarakat Indonesia yang diterlantarkan oleh negara ?

Dalam mengamati setiap perubahan politik yang terjadi di tanah air belakangan ini , ada sesuatu yang selalu pasti yakni ketidakpastian itu sendiri serta ketidakstabilan kondisi ekonomi dan keamanan yang selalu terkait dengan tingkat eskalasi konflik yang dilakonkan oleh para elit politik yang cenderung beku nuraninya dan haus kekuasaan seperti halnya vampire/ drakula yang selalu mencari darah segar untuk dihisap. Pertikaian antara pihak eksekutip yang dalam hal ini diwakili Presiden sendiri dan legislatip (DPR) yang dimotori poros tengah dalam kurun waktu yang relatip panjang sangat melelahkan serta memuakkan. Hal ini terkait dengan substansi yang dipertikaikan tidak ada relevansinya dengan usaha bangsa ini untuk keluar dari krisis dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Mereka, para elit politik yang bertikai mencoba memainkan peran sandiwara atas nama negara, bangsa dan rakyat, namun sebenarnya mereka cenderung sangat picik dan kerdil dalam wawasan kerakyatan karena yang mereka perjuangkan adalah kepentingan pribadi dan paling luas adalah golongannya, tanpa peduli akan resiko dan biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat miskin yang semakin dimiskinkan dan menderita akibat krisis yang ‘dibuat berkelanjutan’ oleh para penanggung jawab dan penyelenggara negara Saat ini sangat dirasakan adanya keterasingan antara yang mewakili negara dengan masyarakat warga yang dilayaninya. Seolah yang terjadi adalah adanya negara yang berjalan tanpa mengindahkan masyarakat dan masyarakat yang ditelantarkan oleh negara. Kondisi masyarakat kita saat ini seperti halnya anak yatim piatu, meskipun masih berbapak eksekutip dan beribu legislatip. Ketika antara ibu dan bapak bertengkar, yang paling merasakan penderitaan dan menjadi korban adalah anak itu sendiri. Anak yang dalam hal ini merupakan persofinikasi masyarakat, dibiarkan untuk bertahan dengan segala permasalahannya dan dibiarkan bergelut sendiri. Menjadi pertanyaan untuk kita adalah untuk apa ada negara kalau rakyat dibiarkan menderita dan yang sangat menyakitkan adalah penderitaan ini bukan disebabkan oleh ketiadaan / miskinnya sumber daya alam, melainkan akibat amburadulnya penyelenggaraan negara oleh para elit politik yang tak beretika dengan moralitas yang diragukan. Apa guna kita membayar pajak, kalau pajak yang masuk untuk pendapatan negara hanya dihambur-hamburkan untuk membayar politikus yang kerjanya hanya suka bertengkar serta lebih memikirkan untuk kepentingan sendiri dan bukan untuk kepentingan masyarakat ?

Sisdur versus gusdur

Saat ini kita dikaburkan dengan kata ‘konstitusional, institusional’ yang dianggap memenuhi sisdur (sistem prosedur) yang diperhadapkan dengan kata ‘demokratisasi’ yang cenderung melawan aturan yang mapan (gusdur = gusur prosedur). Kita sebagai masyarakat harus selalu mengkritisi ucapan politikus kita yang seringkali mengumbar ucapan ‘sesuai konstitusi’, karena kata-kata ini digunakan Orde baru untuk melanggengkan penindasannya. Orde Baru secara sistematis telah menyiapkan ‘perangkap konstitusi” untuk menekan laju proses demokratisasi dan menghabisi lawan-lawan politiknya. Undang-undang dan Peraturan pemerintah yang dibuat bertujuan untuk memberangus demokratisasi dan terwujudnya civil society (masyarakat madani). Dan kalau kita mau sedikit menoleh kebelakang perjuangan reformasi, maka sebenarnya turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan juga tidak memenuhi konsitusi alias tidak konstitusional. Soeharto turun karena adanya tuntutan dan desakan masyarakat pro reformasi yang dimotori oleh mahasisiwa yang dengan gagah berani memposisikan dirinya sebagai pembela rakyat dan langsung berhadapan dengan kekuasaan yang korup, sentralistik, otoriter serta militeristik. Kekuatan yang dimotori mahasiswa mampu menjungkirbalikkan semua tatanan konstitusi yang cenderung disalahgunakan untuk kepentingan penguasa. Disamping itu gerakan moral yang dimotori mahasisiwa mampu mematahkan asumsi para pengamat politik bahwa tanpa bekerja sama dengan militer (ABRI waktu itu) seperti halnya gerakan Angkatan 66, tidak akan mampu menumbangkan Soeharto dan kroni-kroninya. Terlihat dari episod reformasi, ternyata perjuangan yang dilandasi kebenaran, memihak rakyat, serta berdasar kesadaran kritis yang dilandasi akan rasa nasionalisme yang benar dan luas yang dimotori mahasiswa mampu menjadi lokomotip yang menarik rangkaian gerbong demokrasi untuk mewujudkan masyarakat madani yang dikenal dengan Indonesia Baru (asal tidak mengikuti Orde baru). Namun sayang dalam perjalanan reformasi, proses demokratisasi telah direcoki dengan pertentangan antara eksekutip dan legislatip yang tidak mendasarkan pada kebutuhan rakyat, namun justru memasalahkan hal-hal yang tidak substansial dan tidak strategis seperti misalnya pemulihan ekonomi rakyat, maupun keutuhan bangsa. Kita dijebak dalam permainan pansus “Bruneigate dan Buloggate” yang nota bene tidak seberapa nilainya dibanding dengan kasus BLBI yang memakan ratusan trilyun rupiah uang negara, maupun “ORBAGATE” dengan KKN nya yang telah membangkrutkan negara menuju krisis yang berkepanjangan. Harus dicermati dalam setiap pilihan maupun dukungan, agar kita tidak terjebak dalam permainan kata para politikus sehingga kita tidak menyesal telah mendukung kelompok ‘serigala berbulu domba’.

Sakralisasi vs desakralisasi

Orde baru yang merupakan lambang status quo telah menerapkan secara sistematis dan berhasil proses sakralisasi lembaga kepresidenan dengan Peresiden sendiri sebagai pusatnya sehingga seolah-olah tidak gampang didekati dan dijangkau oleh masyarakat. Meskipun Indonesia merupakan negara bebentuk republik dan negara hukum, namun dalam pelaksanaan menerapkan perilaku sebuah kerajaan yakni neo feodalisme, otoriter sehingga mengasingkan pejabat dari rakyat yang dilayaninya. Mentalitas pejabat saat itu (mungkin juga masih sampai saat ini) adalah mentalitas bangsawan yang harus dilayani oleh abdinya yakni raktyat jelata/ kawula alit dan kata-kata pejabat adalah sabda pandita ratu yang artinya rakyat harus tunduk dan patuh pada perintah dan kemauannya. Republik tidak diartikan sebagai Res publica yang artinya kedaulatan ditangan rakyat dan untuk kepentingan umum, melainkan diplesetkan menjadi ‘daulat tuanku’. Dalam era kepresidenan Habibie dan Gus Dur, maka terjadi gusdur (gusur prosedur) yang mencoba mendesakralisasikan lembaga kepresidenan. Bagaimana saat kita melihat Habibie dengan gayanya yang santai diwawancarai oleh Yosua si penyanyi cilik, juga bagaimana Gus Dur dengan ‘coffe morningnya’ di istana serta disetiap sehabis solat Jumat mencoba berinteraktip dengan masyarakatnya. Kalau dijaman Orba pejabat harus berbusa-busa dalam berpidato dengan waktu yang lama dan membosankan, maka tampilan pidato pejabat di era reformasi menjadi lebih singkat, padat, dan berisi.

Elitis vs kerakyatan

Di jaman Orba, rakyat dimarginalkan perannya melalui perangkat hukum yang dibuat dan kedaulatan rakyat dipindahkan wewenangnya ketangan elit politik. Elit politik mengatasnamakan rakyat dengan sekehendak hati tanpa dapat dikontrol, telah melakukan kontrol yang luar biasa intervensinya kedalam setiap pribadi warga negara dengan peraturan ijin yang ketat termasuk dalam kegiatan berkesenian (pementasan theatre, pameran lukisan, seminar dll), memobilisasi massa tanpa partisipasi. Kata-kata partisipasi telah disalah artikan dengan pengertian dilibatkan, padahal partisipasi mengandung arti adanya proses pemberdayaan, kontrol dan pengambilan keputusan oleh rakyat. Begitu banyak kaum politisi sebagai kaum elit mengatasnamakan rakyat telah membuat kebijakan yang tidak populis dan cenderung menyengsarakan rakyat, namun kita sebagai rakyat hanya dapat melongo, terkaget-kaget, geram, marah dsb. Contoh yang aktual ketika PAD NTT sebanyak 48 % diambil untuk anggota DPRD Tk I NTT, Undang-undang tentang lalu lintas , maka banyak protes dari masyarakat yang merasa dirugikan, demikian pula kebijakan kenaikan harga BBM, telepon, listrik, sembako dll hanya cenderung sepihak dan kita sebagai masyarakat harus mau tidak mau menerima kebijakan tersebut. Kita sebagai rakyat tidak ada peluang dan kesempatan untuk menggunakan hak kita, termasuk mengontrol pihak penyelenggara negara karena memang belum dibuat mekanisme yang memungkinkan rakyat terlibat aktip dalam diskusi di tataran wacana maupun dalam pengambilan keputusan. Paling banyak kita hanya dapat menggunakan instrumen seperti PTUN untuk menggugat kebijakan yang sudah terlanjur dikeluarkan.
Sudah saatnya kita sebgai rakyat untuk tidak lagi sepenuhnya menggantungkan usaha pemakmuran bangsa kepada kaum elit politik yang semakin sulit diatur, dikendalikan dan merasa bahwa negara adalah miliknya dan mati hidupnya rakyat tergantung pada dirinya. Para elit politk melupakan hal yang hakiki yakni negara Indonesia ada dan merdeka karena perjuangan rakyat, dan bukan hanya perjuangan segelintir elit. Bapak pendiri bangsa kita yakni Soekarno dan Mohamad Hata karena kondisi yang ada dengan bersusah payah mengambil resiko yang besar untuk atas nama rakyat menyatakan merdeka dan alangkah ironisnya ketika elit politik sekarang lebih mementingkan kepentingan mereka daripada kepentingan keselamatan bangsa Indonesia. Pada kesempatan era reformasi yang krusial ini kita sebagai rakyat jangan mau lagi dijebak dalam kalimat ‘atas nama rakyat’ maupun dalam permainan kotor para elit politik yang haus kekuasaan. Percuma mengandalkan mereka yang masih menggunakan paradigma lama yakni politik untuk kekuasaan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaannya, termasuk mengorbankan rakyat yang dilayaninya dan belum mau menggunakan paradigma baru yakni politik untuk kesejahteraan rakyat yang mendasarkan pada etika, moralitas yang bersih dan mempertanggungjawabkan kepada rakyat serta Tuhan.
Mari kita bangun bersama mekanisme dalam sistem ketatanegaraan kita yang memberi kesempatan dan ruang kepada rakyat untuk berdaulat dan menggunakan hak-haknya, termasuk hak mengontrol para elit politik kita saaat ini yang cenderung menyerupai drakula yang tidak mendasarkan perilaku politiknya pada etika moral Panca Sila, melainkan hanya melakukan permainan pencak silat politik yang melelahkan, boros, membosankan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan baik kepada rakyat yang dilayani maupun kepada “Sang Pencipta & Pengatur Kehidupan”.

PEMBERDAYAAN ATAU PEMERDAYAAN POLITIK RAKYAT ?

Masih segar dalam ingatan kita, ketika Mei 1998 para pahlawan reformasi yang sebagian besar dari kalangan mahasiswa harus mati muda dalam mengamanatkan suara hati nurani penderitaan rakyat dengan tertembus peluru oknum aparat ABRI/POLRI (waktu itu) yang ironisnya dibeli dengan uang rakyat atau melalui dana yang diperoleh dari hutang luar negeri atas nama keamanan dan perlindungan untuk rakyat. Mahasiswa saat itu bergabung dengan kelompok lainnya seperti LSM, akademisi, dan rakyat bertekad berjuang sendiriran melawan kekuasaan yakni pemerintahan rejim Soeharto yang memanipulasi ABRI yang seharusnya sebagai alat negara, namun disalahgunakan menjadi alat kekuasaan untuk melakukan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri, sementara semboyannya adalah ABRI Manunggal Rakyat. Tidak seperti saat era 66, ketika mahasiswa bergandengan secara mesra dengan ABRI untuk mengganyang issu komunisme, maka pada 1998 adalah tahun yang sulit bagi warga sipil dalam menyuarakan tuntutannya.

Butuh berapa Presiden untuk demokrasi ?

Ketika Ir. Soekarno muda melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda, terlihat betapa gagah perkasa dan menggelegar gelora semangat yang ditimbulkan oleh pidato maupun tulisan yang sempat disebarluaskan. Masyarakat yang sebelumnya cenderung bersikap apatis dan masa bodoh dalam era kolonial dibuat sadar akan keterbelengguannya dari kemiskinan, kebodohan dan penderitaan yang tiada berujung akibat adanya penindasan secara sistematis dengan adanya penjajahan Belanda. Puncak dari keberhasilan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia tercapai ketika dwitunggal Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaaan Indonesia.
Namun dalam perjalanan, sejarah mencatat Soekarno jatuh atau tepatnya dijatuhkan dengan tuduhan terlibat G 30 S/PKI meskipun belum dibuktikan secara hukum di pengadilan . Namun yang dapat terlihat sangat beda dalam perjalanan sejarah adalah antara Sokerno muda yang energik, idealis dengan Soekarno tua yang cenderung otoriter dengan terbukti mundurnya Hatta dari tampuk kekuasaan sebagai Wakil Presiden.
Maka setelah peristiwa G 30 S/PKI, naiklah Soeharto menggantikan posisi Soekarno sebagai orang kedua sebagai warga negara Indonesia yang berhasil menjabat Kepala Negara sekaligus Presiden. Setelah malang melintang dalam kesewenangan selama 32 tahun tanpa dapat dikontrol oleh DPR/MPR yang mewakilki rakyat, maupun oleh rakyat sendiri melalui kritik, karena setiap orang yang kritis akan ditahan dan juga pers yang kritis akan diberangus. Rakyat meskipun berteriak lantang menentang ketidakadilan yang dibuat oleh pemerintahan ORBA, namun dengan tiadanya sistem dan mekanisme kontrol langsung dari rakyat dalam berpartisipasi menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa dan melayani rakyat, maka semua yang ada hanya sampai pada sebatas retorika, dan hukum dipermainkan oleh uang dan kuasa dan tidak menyuarakan keadilan maupun tidak berpihak pada kebenaran (meskipun secara relatip). Suara rakyat terbungkam oleh penguasaaan kontrol terhadap media massa baik cetak maupun elektronik yang dilakukan pemerintah, sistem intelejen sampai tingkat desa sehingga terciptalah pemerintahan yang terlalu kuat, cenderung menjadi sewenang-wenang dan berpusat pada Soeharto sehingga menimbulkan mimpi buruk yang berkepanjangan selama 32 tahun dan masih berimbas sampai saat ini. Hutang luar negeri yang menumpuk dalam jumlah ratusan trilyun rupiah, pengurasaan SDA yang melampaui ambang batas kerusakan lingkungan, rusaknya tatatan moralitas, budaya dan nilai-nilai ketimuran merupakan akibat dari tiadanya pemberdayaan politik rakyat karena sistem massa mengambang (floating mass) serta tiadanya saluran kontrol yang dapat dilakukan oleh rakyat. Orde Baru yang pada awal pemerintahannya menyatakan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen, ternyata dalam perjalanan sejarah juga mencatat lembaran hitam seperti pendahulunya yang digantikannya. Pemerintahan Soeharto mampu bertahan 32 tahun karena ditunjang oleh tiadanya sistem dan mekanisme yang memungkinkan rakyat mendapat akses informasi yang benar, tidak menyesatkan serta mampu melakukan kontrol baik terhadap eksekutip, legislatip, maupun yudikatif. Dibawah ORBA, legislatif menjadi juru stempel serta loyo, sedangkan yudikatif menjadi macan ompong tak bertaring yang tidak lagi mengabdi pada keadillan tetapi pada kekuasaan dan uang. Dan puncak kemarahan rakyat tercapai ketika mahasiswa didukung oleh sebagian rakyat yang pro reformasi dan sudah muak melihat kebobrokan sistem pemerintahan yang ada mampu mendesak MPR untuk menurunkan Soeharto sebagai Persiden.
Maka naiklah Habibie yang saat itu menjabat Wakil Presiden sebagai orang ketiga yang berhasil menduduki kursi kepresidenan. Habibie yang dikenal sebgai seorang teknolog yang jenius, ternyata tidak mampu menahan lajunya kebohongan dan KKN, dan bahkan ikut sebagai pelaku dari kebohongan terhadap publik, meski dalam pemnerintahannya sempat menghasilkan produk UU dan PP yang dijiwai semangat reformasi. Pemerintah dibawah Habibie ternyata telah menggelembungkan hutang luar negeri Indonesia atas nama rakyat hanya dalam hitungan ratusan hari tanpa DPR/MPR dan rakyat dapat mengontrolnya. Maka tumbanglah pemerintahan transisi Habibie, meski telah didukung tim sukses diantaranya DR. Marwah Daud yang sampai menangisi kekalahan Habibie serta munculnya suara Sulawesi Merdeka akibat kekalahannya.
Maka melalui pemilihan oleh anggota MPR & DPR hasil Pemilu 1999 yang dikatakan paling jujur, bersih dan demokratis, terpilihlah Presiden Abdurahman Wahid sebagai orang keempat yang berhasil menduduki kursi kepresidenan setelah hampir 54 tahun Indonesia merdeka. Terpilihnya Gus Dur merupakan hasil rekayasa poros tengah yang menolak calon presiden seorang wanita. Abdulrahman Wahid dikenal sebagai tokoh forum demokrasi yang ingin menegakkan demokrasi di Indonesia, telah membiarkan pers bebas menjalankan fungsinya tanpa kontrol dari pemerintah, juga membiarkan suasana untuk bebas menyuarakan pendapat, menuntut hak sebagai warga negara, menfungsikan pemerintah hanya sebagai fasilitator, namun terpaksa harus meninggalkan istana karena dijatuhkan melalui “proses konstitusi” yang memperlihatkan adanya konspirasi tingkat tinggi dalam MPR dan DPR melalui pembentukan Pansus Buloggate, Memo I, Memo II dan puncaknya di Sidang Istimewa. Dan sekali lagi terlihat komponen pro reformasi maupun rakyat kebanyakan tidak dapat berbuat apa-apa serta tidak mampu mengontrol ketika melihat perilaku eksekutip dan legislatip saling berseteru selama hampir 6 bulan lebih dan menghabiskan energi yang tidak terkira, serta kerugian material yang tak terhitung jumlahnya akibat anjlognya nila tukar rupiah terhadap dolar US. Terlihat dalam perseteruan tersebut menggambarkan betapa lihainya para elit politisi kita bermain akrobatik politik seperti yang dilakukan pros tengah, Matori abdul Djalil dkk. Mereka selalu berkata lantang memperjuangkan kepentingan rakyat, namun rakyat sebenarnya juga tahu bahwa substansi perjuangan mereka tidak menyentuh sama sekali kepentingan rakyat, dan hanya kepentingan partai maupun kelompoknya atau lebih tepatnya demi memperebutkan kekuasaan semata. Politik kita masih diwarnai kekerasan, baik dalam kata-kata/pernyataan, maupun dalam tindakan yang terbukti dengan aksi para elit poltisi yang menggerakkan masa pendukung sehingga dapat memicu konflik horisontal. Sekali lagi ini semua membuktikan bahwa kedaulatan sudah tidak berada lagi ditangan rakyat namun berada di DPR dan MPR karena kita sebagai rakyat lupa untuk menciptakan sistem dan mekanisme kontrol langsung terhadap perlilaku DPR/MPR yang cenderung partisan, arogan, dan tidak menyuarakan kepentingan reakyat, namun lebih mengedepankan perebutan kekuasaan. Bukti lain lagi yang menunjukkan tiadanya kedaulatan di tangan rakyat adalah tidak dijalankannya UUPA yang sudah diundangkan sejak ORLA, terutama land reform yang sampai saat inipun masih jauh dari harapan. Bahkan di jaman ORBA, hak atas tanah adat/ulayat diambil dan dijadikan tanah negara serta dibagikan kepada para konglomerat baik dalam bentuk HPH maupun HGU yang luasannya cukup aduhai . Terjadilah proses marginalisasi masyarakat yang hidup dan berada diseputar lokasi Sumber daya Alam (SDA) yang diambil alih oleh negara dan dibagikan pada konglomerat pencuri. Masyarakat sekitarnya semakin terdesak dan bahkan diusir keluar dari tanah leluhurnya yang telah didiami secara turun temurun. Maka kerusakan SDA atas nama pembangunan menjadi sah hukumnya dan peristiwa yang sangat memalukan kita sebagai bangsa yang besar dan beradab adalah ketika terjadi pembakaran hutan yang sangat luas di Sumatera dan Kalimantan yang mampu mengekspor polutan berupa asap ke negara tetangga sehingga Indonesia dikenal sebagai negara yang tidak peduli pada pelestarian lingkungan. Usaha untuk menyuarakan ketidak adilan, penindasan serta melakukan perubahan dari pemerintahan yang cenderung otoriter menuju pemerintahan demokratis selama masa ORBA selalu dilakukan oleh para pemuka agama yang kritis , politisi berhati nurani, kalangan akademisi, tokoh-tokoh kritis seperti Petisi 50 , LSM , seniman seperti Iwan Fals, Rendra dkk, namun penguasa ORBA selalu berlindung dibalik kata “konstitusional” dengan menciptakan seperangkat UU yang dapat melanggengkan penguasaannya dan ditambah dengan tiadanya sistem dan mekanisme kontrol dari rakyat terhadap eksekutip, legislatip maupun yudikatip, maka kehidupan kenegaraan kita menjadi compang camping penuh dengan KKN, dusta, fitnah, kekerasan dalam segala bentuknya, hutang luar negeri yang sangat besar dll selama 32 tahun. Kita sebagai sebuah bangsa seperti tersihir secara masal dan tidak mampu berbuat apa-apa meskipun didepan kita secara kasat mata melihat segala bentuk KKN, penyelewengan kekuasaan, dusta dsb. Bahkan lebih celaka lagi, orang-orang yang mempertahankan kejujuran sebagai nilai luhur kemanusiaan harus disingkirkan dari percaturan kehidupan. Maka yang sering kita jumpai adalah manusia yang berkarakter harimau namun berbulu domba. Anggota DPR yang kritis dan menyuarakan kebenaran direcall dan anggota DPR yang duduk manis namun tidak mampu berbuat apa-apa untuk memperjuangkan kepentingan rakyat masih dapat bertahan sampai akhir masa jabatannya dan kita sebagai rakyat yang diwakilinya tidak dapat berbuat apa-apa terhadap anggota DPR seperti itu. Paling banter kita hanya mampu menyanyikan lagunya Iwan Fals tentang wakil rakyat yang seharusnya merakyat, tidak tidur waktu sidang soal rakyat dst untuk sedikit mengobati kedongkolan hati kita. Dijaman reformasipun masih terjadi hal-hal yang lebih parah di DPR dan DPRD ketika mereka ditenggarai disuap dan melakukan permainan ‘politik uang’, namun keberadaan mereka tidak mampu direcall meskipun kita tahu bahwa oknum anggota DPR/DPRD telah melakukan ‘premanisme’ dengan kekuasaan yang ada ditangannya (yang diberikan oleh rakyat untuk mengontrol eksekutip) dengan modus operandi meminta angpao kepada pinpro maupun para kontraktor jika mereka tidak ingin dibeberkan penyelewengan yang dilakukannya dipersidangan dewan maupun dilaporkan ke polisi dan kejaksaan Ketika pers dan kelompok pro reformasi mengkritik tingkah mereka yang sudah tidak sesuai dengan jiwa reformasi, maka dengan pongahnya mereka para anggota DPR/DPRD akan mengatakan bahwa dirinya adalah wakil rakyat yang sah dan hanya partai yang dapat memecatnya. Tidak ada rasa pertangungjawaban secara moral kepara para konstituen pemilihnya dalam pemilu yang lalu, dan seolah–olah tidak ada kesinambungan hasil pemilu dengan DPR/DPRD sekarang. Jadi sebenarnya yang terjadi meski dalam era reformasi sekarang ini bukannya pemberdayan politik rakyat, namun pemerdayaan kedaulatan rakyat oleh oknum anggota DPR/DPRD.

Amandemen UUD 45, solusi yang strategis

Belajar dari kesalahan para mantan Presiden dan ulah oknum DPR/DPRD maupun MPR, maka sudah selayaknya kita sebagai rakyat harus terlibat akti dan berpartisipasi dalam proses amandemen UUD 45.Kita sebagai rakyat harus mengkritisi draft UUD yang baru, dan jika perlu kita secara bersama membentuk Komisi Konstituante untuk pembuatan UUD baru sehingga kita sebagai rakyat tidak kehilangan kedaulatannya karena mampu menciptakan ruang untuk partisipasi rakyat serta sistem kontrol dari rakyat baik terhadap eksekutip, legislatip maupun yudikatip sehingga tidak terulang kembali keputusan publik yang merugikan rakyat seperti misalnya putusan bebas untuk Tomy, Pansus Buloggate I, berbagai pungutan pajak yang besar kepada rakyat dll. Kita harus belajar dari Philipina dengan ‘people powernya’ yang mana Presiden baru yakni Cory Aquino mampu menghasilkan UUD baru yang lebih demokratis dan mampu membatasi kewenangan penguasa, serta mampu menyediakan ruang untuk partisipasi rakyat, sistem dan mekanisme kontrol dari rakyat terhadap penguasa dan hal ini terbukti sangat efektip ketika Presiden Estrada yang baru beberapa bulan berkuasa langsung dapat diproses di pengadilan ketika ditenggarai terlibat KKN dan kriminalitas, sehingga digantikan wakilnya. Mari kita secara aktip merumuskan bersama Draft UUD baru kita yang lebih berwajah kerakyatan, demokratis dan mampu menyatukan kita yang meskipun sebagai bangsa yang majemuk nanun dapat hidup rukun , damai dan berkeadilan. Semoga !!!!

Selasa, 09 September 2008

Quo Vadis Kota KUPANG sebagai Kota KASIH ?

(Beberapa catatan untuk Walikota yang dipilih langsung oleh rakyat)

Dalam perkembangan untuk mewujudkan sebuah “kemajuan”, Kota-Kupang seperti halnya ibu kota propinsi di seluruh Indonesia terus berbenah diri untuk layak disebut sebagai kota metropolitan atau kota yang modern alias maju.

Berbagai cara dan upaya ditempuh untuk memperlihatkan wajah gemerlap dan molek sebuah kota yang modern seperti halnya pembangunan beberapa monumen seperti patung Sonbai, Tirosa dibundaran PU, patung KB di Oebobo, patung perdamaian yang dilambangkan dengan burung merpati di Penfui dsb Tak pelak lagi ketika Kota Kupang terus bertumbuh menuju kota modern , sisi gelap sebuah realita tentang jorok dan kumuhnya kota coba ditutup tutupi dengan berbagai cara agar yang terlihat cuma sisi yang menawan dan gemerlap.
Mari kita tengok pengembangan mall seperti Flobamora yang menawarkan sejuta keindahan dan kemudahan dalam berbelanja, bank-bank papan atas yang memberi kemudahan layanan 24 jam, apotek yang buka selama 24 jam, dan berbagai kemudahan lainnya.

Tata ruang kota yang terabaikan

Sebagai kota yang sedang tumbuh, sudah seharusnya dan selayaknya apabila Pemkot Kupang berupaya untuk mensosialisasikan tata ruang kota melalui pemasangan peta rencana tata kota ditempat strategis seperti mall Flobamora, Kupang lama dll yang mudah diakses oleh warga kota sehingga dapat terhindar dari salah tata letak dan fungsinya dan ada kontrol dari warganya apabila ada penyimpangan peruntukan wilayah. Memang telah ada peta tersebut namun sayangnya ada yang dipasang di lokasi pariwisata Lasiana di dekat bak sampah dan banyak sampah berserakan disekitar peta tersebut sehingga membuat warga enggan membacanya.

Sudah sewajarnya jika sejak dini Pemkot Kupang sebagai fasilitator mensosialisasikan terus menerus area mana yang direncanakan untuk perkantoran, area untuk bisnis, area terbuka untuk publik, area terbuka hijau dll. Yang dirasakan selama ini begitu cepat perkembangan kota namun kelihatannya masih belum ditata dengan mempertimbangkan keberlanjutan kota ke depan. Contoh nyata, dimana-mana tumbuh dan dibangun ruko yang kadang justru berada di lokasi yang dapat menyebabkan kemacetan lalu lintas.

Terlihat ketika hujan besar di musim hujan, maka beberapa ruas jalan kota yang telah beraspal hotmix yang mahal terendam banjir dan sebagian sampah dari saluran pembuangan meluber ke jalan menambah jorok wajah kota.

Yang cukup urgen, kalau tidak boleh dikatakan terlambat adalah perlu dibangunnya hutan kota sebagai ajang rekreasi warga yang murah meriah bagi warga kota namun juga dapat meningkatkan tali silaturahmi dan kedekatan antar warga tanpa mengabaikan sisi keindahan kota.

Penggusuran yang tak manusiawi

Pembelajaran yang bisa dipetik dari perkembangan kota besar lainnya di Indonesia terutama di Jakarta dan Surabaya adalah bagaimana Satpol PP telah digunakan untuk menjadi alat kekerasan dalam menegakkan Perda tanpa solusi dan menimbulkan sakit hati dan kemiskinan baru bagi warga kecil yang tergusur.

Kita dapat menyaksikan ditayangan TV bagaimana kekerasan dipertontonkan layaknya negara yang tidak mengenal perikemanusiaan. Ibu-ibu pedagang kaki lima menjerit, menangis dan histeris sambil memeluk bayi digendongannya ketika berhadapan dengan penggusuran paksa oleh pasukan Satpol PP yang bertindak bagaikan robot yang tak berperasaan seolah tak ada solusi selain “kalah-menang” .

Tayangan tentang kios kaki lima yang diobrak abrik, pedagang yang berhamburan berlarian menyelamatkan diri seolah-olah bagaikan tikus yang dikejar kucing, rumah-rumah kumuh yang dirobohkan dan dibakar tanpa mau tahu para penghuninya mau tinggal dimana ? Para pedagang kaki lima yang telah memiliki jiwa bisnis namun tidak punya cukup modal untuk membeli tempat berjualan yang strategis di kota justru diperlakukan selayaknya para kriminal, padahal seharusnya Pemda bangga karena mereka tidak perlu mengemis menjadi pegawai negeri atau mengharapkan bantuan RASKIN ataupun BLT.

Pembelajaran yang perlu dilakukan adalah belajar dari kota Yogyakarta khususnya di sepajang Malioboro dimana pedagang kaki lima tetap diperbolehkan menggelar barang dagangannya tanpa merusak pemandangan kota , tetap mampu menjaga kebersihan dan tidak mengganggu toko-toko lainnya. Mereka mendirikan paguyuban dan koperasi PKL (Pedagang Kaki Lima) yang dijadikan ajang bagi anggotanya untuk menjaga kebersihan, melindungi diri dari ancaman pemerasan oleh preman dan saling menolong satu dengan lainnya.

Gagasan almarhum Romo Mangun sangat menarik untuk dipelajari mengenai penataan pedagang kaki lima terutama makanan di kampus biru UGM Bulaksumur dimana mereka dibantu dibuatkan tempat berjualan yang rapi, artistik dan dijaga kebersihannya oleh para pedagang itu sendiri sehingga tidak mengurangi keindahan kampus, namun mahasiswa dapat memperoleh makanan dengan mudah dan murah sesuai kemampuan kocek mereka.

Artinya perlu dipikirkan sejak awal oleh Pemkot Kupang pengalokasian yang cukup untuk ruang./tempat jualan dilokasi yang strategis bagi para pedagang kecil /kaki lima namun mereka perlu diedukasi secara terus menerus untuk dapat berkontribusi menjaga keindahan dan kebersihan kota.

Sebagai contoh tempat penjualan jagung bakar dan kelapa muda disepanjang jalan di kota Kupang dapat ditata dengan menyediakan tenda yang dihias secara artistik seturut budaya Flobamora dan diatur tempat parkirnya supaya tidak menggangu lalu lintas. Juga para pedagang diajak untuk menata sekitarnya dengan tanaman bunga dan selalu menjaga kebersihan lingkungan sekitarnya.

Kebijakan Pemkot Kupang kedepan sebaiknya lebih memberi ruang dan perkembangan pada pusat perbelanjaan tradisional namun modern dalam pengelolaannya. Kita dapat mencontoh Pemkab Bantul yang salah satu kebijakan yang diambil tidak memperbolehkan berdirinya mall/hypermarket melainkan Pemkab Bantul menfasilitasi dengan membangun pasar tradisional berstandar mall/ supermarket.

Memang tidak mudah, namun kalau mau sebenarnya Pasar Kasih Naikoten , Pasar Oebobo, Pasar Oeba bisa disulap menjadi pasar modern yang tidak becek, nyaman dan asri.

Demikian pula pasar ikan di Pasir Panjang dapat ditingkatkan layanannya dengan misalnya Pemkot menyediakan pasar dengan pendingin untuk ikan dan ditata secara asri sehingga dapat menambah lokasi masyarakat untuk mendapatkan makanan murah meriah namun bergizi, seperti halnya Pantai Losari di Makasar yang menjadi tempat rendevouz bagi warga kota.

Polusi yang kian “nendang”

Kota Kupang terasa menyesakkan apabila anda keluar rumah sekitar jam 6.30 pagi dimana polusi dari gas buangan motor dan mobil terasa sangat meyesakkan dada. Apalagi kalau anda berada dibelakang motor bermesin 2 tak dengan knalpot keatas yang menyemprotkan asapnya pas ke hidung kita, juga dibelakang mobil-mobil keluaran lama yang kadang tidak sempurna pembakarannya.

Belum lagi kebiasaan warga yang membakar sampah rumah tangga akan menambah emisi yang dibuang keudara yang berkontribusi pada meningkatnya pemanasan global.

Kita saat ini dapat melihat bagaimana sampah dibuang sembarang, misalnya dibeberapa tempat diseputaran kawasan Walikota Baru , karena belum ada pengelolaan sampah ditingkat RT/RW dibeberapa tempat, tidak ada tempat pembuangan sampah resmi yang tersedia dan tak ada mobil dari Dinas Kebersihan yang secara rutin mengangkut sampah warga.

Masih belum adanya pengelolaan sampah yang terdesentralisasi dan selama ini masih terpusat pembuangannya di Bolok telah menambah persoalan kedepan karena sampah yang dihasilkan warga dari tahun ke tahun akan semakin menumpuk, sehingga kalau kita mau belajar dari TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Bantar Gebang yang penuh masalah, maka sudah sewajarnya Pemkot Kupang bekerja sama dengan para Akademisi mencari solusi bijak cara pengelolaan sampah (bukan pembuangan sampah) yang ramah lingkungan.

Edukasi terhadap warga sebagai produsen sampah perlu dilakukan dimana sampah sejak dari rumah tangga sudah mulai dipilah-pilah menjadi sampah yang dapat dikomposkan, sampah yang dapat didaur ulang dan sampah beracun.berbahaya. Melalui RT./RW Pemkot bisa menggalakkan pembuatan kompos dari sampah organik dengan bantuan alat dekomposer yang murah dan pemakaian reagent berupa bakteri pembusuk.

Selain itu, untuk mengurangi polusi, Pemkot bisa menyediakan sarana jalan khusus sepeda maupun moda angkutan tak bermesin lainnya seperti halnya yang ada jalan di Malioboro Yogyakarta sehingga banyak warga kota beralih bersepeda ria karena selain mengurangi polusi juga meningkatkan kesehatan.

Pengelolaan kawasan terbuka hijau sebagai paru-paru kota perlu ditingkatkan sehingga tercipta hutan kota yang dapat mengurangi polusi. Warga perlu dilibatkan dalam menghijaukan halaman rumah mereka dengan menanam pohon dan bunga sehingga menjadi lebih asri mengingat terbatasnya ruang terbuka hijau. Kantor-kantor pemerintah harus memberi contoh tentang bagaimana mengelola kantor yang ramah lingkungan.

Penghijauan dengan tanaman asli Nusa Tenggara Timur seperti Cendana, Gewang, Lontar dll perlu terus digalakkan. Mencontoh lokasi didekat bandara Ngurah Rai, tanaman kaktus besarpun juga dapat menambah hijaunya kota Kupang selain tahan terhadap kekeringan.

Solidaritas yang memudar

Tidak cukup tersedianya ruang publik sebagai tempat rekreasi, selain juga belum adanya panggung hiburan rakyat atau taman budaya serta gaya hidup orang kota yang cenderung individualis telah menyebabkan longgarnya kekerabatan antar tetangga, kecuali yang didasari oleh kesamaan suku, asal atau keyakinan. Hal ini jika terus dibiarkan akan mempersubur semangat eksklusif SARA dan kurang mendukung inklusivitas warga yang tumbuh dalam keberagaman. Perlu dipikirkan kegiatan yang dapat mempererat dan mempersatukan warga yang beragam sehingga tidak terjebak dalam kesempitan cara pandang serta mampu meningkatkan dialog antar suku, antar iman dan antar kaya-miskin.
Pola pemukiman yang cenderung berbasis suku perlu dikurangi dan diusahakan keanekaragaman dari SARA sehingga memudahkan warga dalam melakukan komunikasi lintas SARA dan mengurangi kemungkinan konflik berdasar SARA karena telah terbangun pemahaman yang baik dimana meski berbeda tetapi tetap satu kesatuan (Bhineka Tungal Ika) dan justru adanya keberagaman akan mampu memperkaya cara pandang warga kota Kupang dalam hidup keseharian serta tidak lagi terjebak dalam cara berpikir stereotip.

Kaum lemah yang terpinggirkan

Peradaban kota modern sering menyingkirkan para pendatang yang lemah baik dalam hal ketrampilan, modal dan jaringan kerja. Akibatnya mereka terpaksa memilih menjadi pekerja informal seperti berjualan ditepi jalan, menjajakan jasa sebagai pengangkut barang dagangan dipasar-pasar dan tak sedikit yang akhirnya berprofesi sebagai pemulung dan tinggal didaerah kumuh. Mereka sebenarnya sebagai pemulung sangat membantu dalam proses daur ulang, namun yang perlu dipikirkan adalah bagaimana tersedianya perumahan bagi warga kota yang lemah dan miskin sehingga sebagai bagian warga kota mereka tidak semakin dipinggirkan. Anaka-anak jalanan perlu dikelola secara manusiawi sehingga mereka dapat tetap memperoleh pendidikan dan ada rumah singgah bagi mereka.

Apakah tidak sebaiknya Pemkot mulai memperbanyak membangun rumah susun sederhana yang dapat disewa atau dicicil oleh mereka sehingga dapat mendiami tempat tinggal yang layak dan tak perlu terlunta-lunta.

Pemkot sebaiknya juga sudah melengkapi sarana umum untuk para penderita cacat sehingga merekapun dapat menikmati fasilitas publik dengan sebaik-baiknya.

Perlu tersedia Rumah Sakit Jiwa bagi para penderita gangguan jiwa sehingga selain memperoleh layanan medis yang layak untuk proses penyembuhan, juga tidak merepotkan bagi keluarganya.


Biaya hidup yang tinggi

Tingginya biaya hidup di kota dapat menyebabkan tingkat stres yang tinggi yang akan menjadi berbahaya jika mencapai tahap distress atau depresi jiwa. Pemkot perlu sejak dini memberikan kemudahan dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti biaya pendidikan yang murah apalagi gratis minimal sampai SLTP, asuransi kesehatan bagi seluruh warga kota, transportasi yang murah, air bersih yang mudah didapat dan murah serta berbagai kemudahan lainnya.
Pengurusan KTP gratis misalnya, gerakan penanaman sayuran dipot/polibag secara vertikultur (keatas) dll dapat dikenalkan Pemkot Kupang pada warganya.
Pelatihan ketrampuilan hidup dengan biaya murah atau gratis sangat dirasakan membantu bagi warga kota yang kebetulan belum memiliki ketrampilan sehingga mereka dapat memperoleh pendapatan dari ketrampilannya dan tidak perlu melakukan tindakan kriminal.

Pengembangan kota satelit

Kota Kupang perlu didukung dengan pengembangan kota satelit diseputaran Kupang sehingga bebannya dapat terbagi dan kepadatan penduduk dapat terkurangi.
Mungkin perlu dipikirkan pemindahan layanan bisnis di kota satelit sehingga tidak semua warga pelosok perlu datang ke Kupang. Kupang dapat menjadi kota induk bagi kota satelit lainnya dan perlu dikaji secara hati-hati tingkat kepadatan hunian yang dapat ditampung oleh Kota Kupang terkait keterbatasan dalam tersedianya ruang, pasokan air bersih, listrik, kemungkinan banjir dan kekeringan.

Bravo Kuta Kupang menuju kota KASIH yang benar-benar mencerminkan sifat KASIH itu sendiri yang rendah hati, tidak sombong, sabar hati …….dan bebas dari perilaku korupsi sehingga layanan publiknya benar-benar prima .

KUPANG diharapkan benar-benar menjadi cerminan kota yang bernafaskan iman kristiani yang solider dan mengasihi terhadap sesama, toleran terhadap perbedaan, inklusip dan menghargai keberagaman .

Pemkot Kupang diharapkan mampu melayani kebutuhan warga kotanya terutama pada mereka yang lemah, miskin dan terpinggirkan sehingga tidak perlu lagi ada Lazarus-lazarus modern yang mengharapkan jatuhnya remahan roti dari meja si kaya yang menjadi penghuni Kota Kupang..


YBT Suryo Kusumo

tony.suryokusumo@gmail.com

NTT, miskin atau dimiskinkan ?

Nusa Tenggara Timur (NTT) telah sejak dari jaman penjajahan Belanda sampai jaman reformasi saat ini ( dialam kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia) masih tetap saja mengalami kemiskinan. Hal ini ditunjukkan oleh data statistik nasional yang memasukkan NTT sebagai propinsi termiskin kedua setelah Papua. Bahkan Kabupaten TTS berdasarkan data tahun 1998 ditetapkan menjadi kabupaten paling miskin di Indonesia . Demikian pula dari 14 kabupaten termiskin, 10 kabupaten diantaranya berada dalam wilayah administrasi Provinsi NTT. Ditinjau dari aspek keuangan, selama lima tahun berturut-turut provinsi ini menjadi provinsi termiskin di Indonesia berdasarkan total kegiatan ekonomi per kapita (PDRB per kapita). Menurut Dr. Deno Kamelus keadaan penduduk miskin NTT pada Juli 1999 tercatat 567.591 KK, dan jika setiap KK terdiri dari lima orang, maka jumlah penduduk miskin di NTT sekitar 2,83 juta jiwa atau 78,2 persen dari 3,62 juta jiwa penduduk NTT. Di bidang pendidikan ternyata masih menurut Kamelus, NTT terbilang miskin pendidikan, yang dapat dilihat dari 81,04 % penduduk NTT hanya berpendidikkan SD, bahkan tak tamat, 8,67 % berpendidikan SLTP, 8,64 % pendidikan SLTA dan hanya 1,65 % menamatkan pendidikan di perguruan tinggi (Kompas, 12/3/2001). Inilah sebagian potret buram wajah kita yang seharusnya membuat kita sebagai warga NTT tergugah untuk menggugat kemiskinan yang ada dan mencarikan solusi secara bersama-sama. Keprihatinan rakyat adalah keprihatinan anggota dewan terhormat (DPRD), para eksekutip, para penegak hukum, kaum agamawan nurani , intelektual kritis, LSM sejati , pers idealis, seniman rakyat, dan semua pihak yang peduli akan arti penderitaan hidup dalam gelimang kemiskinan.


Lingkaran setan kemiskinan

Ketika kita membicarakan kemiskinan, kita sering disibukkan dengan mencari arti dan definisi dari kata miskin itu sendiri. Di era pelaksanaan program IDT kita telah mengetahui bersama betapa repotnya pemerintah pusat maupun daerah memasukkan kriteria sebuah desa miskin. Demikian pula dengan BKKBN telah mencoba merumuskan kriteria miskin dan tidak miskin yang terbagi menjadi kelompok pra sejahtera, sejahtera 1, sejahtera 2, sejahtera 3 dan sejahtera 3 plus.

Menurut dokumen MASRI (Majelis Antar Serikat Religius Indonesia) tahun 1984 dilukiskan secara cukup luas apa yang dimaksud orang miskin dan kecil yakni antara lain orang yang tak berdaya karena mengalami aneka macam pemiskinan ….. yang membuat semakin banyak orang hidup semakin tidak manusiawi dan tidak menggambarkan bahwa dia adalah citra Allah yang bermartabat sebagai manusia (no 6) dan pada umumnya mereka hidup dibawah taraf kewajaran manusia (no 7) (Kemiskinan dan Pembebasan, hal 98).

Kemiskinan menjadi sebuah fenomena keseharian yang akrab dengan kehidupan rakyat kecil yang mencoba untuk terus bertahan dan mempertahankan sebuah kehidupan yang harus dilakoninya. Miskin itu sendiri dapat dalam bentuk jasmani maupun rohani. Hidup dalam kemiskinan sebenarnya tidak diharapkan dan tidak disukai setiap manusia karena identik dengan kehinaan, hidup dalam suasana tanpa ada pilihan dan penuh permasalahan. Mereka, kaum niskin selalu mencoba keluar dari lingkaran kemiskinan dan mencari dimana sebenarnya setannya berada ? Mereka, rakyat kecil meskipun hidup serba kekurangan dan terhisap secara sistematis oleh sebuah sistem yang mendunia yang kita kenal dengan kapitalisme, namun tetap berusaha dengan segala daya dan kemampuan yang dimiliki untuk tidak terus berkubang didalam lumpur kemiskinan. Meskipun prasarana dan sarana dasar untuk sebuah kehidupan yang layak belum terpenuhi, namun mereka tidak merengek seperti para pegawai negeri, para karyawan swasta maupun buruh yang meminta gajinya dinaikkan. Siapa yang peduli dengan besarnya pendapatan rakyat kecil ? Kalaupun rakyat kecil merasa pendapatannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan fisik agar “ dapat bertahan dari kematian”, kepada siapa rakyat kecil yang miskin ini akan mengadu ? Memang kalau kita kembali pada UUD 45 disitu tertuang dalam pasal 34 yang berbunyi ‘Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara’, namun dalam realisasinya masih jauh dari kenyataan. Kemiskinan seolah –olah menjadi begitu akrab dalam kehidupan sebagian warga NTT sehingga sudah tidak lagi dirasakan sebagai sebuah masalah, karena pertunjukan sebuah lakon kehidupan harus terus berjalan ke depan (show must go on). Kehidupan tidak berjalan mundur, dan meratapi kemiskinan adalah aib bagi rakyat kecil. Dalam penderitaannya, mereka masih memegang nilai-nilai luhur warisan nenek moyang seperti kejujuran, tidak rakus, tidak merusak alam, solider dengan sesama dll. Jika demikian keadaannya, siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab terhadap adanya kemiskinan di NTT ? Atau kalau mau ditelusuri lebih jauh, siapa sebenarnya yang menjadi setan yang sesungguhnya dalam sebuah lingkaran kemiskinan?

Proses pemiskinan

Kemiskinan adalah akibat dari sebuah proses panjang yang terkait antara pengelolaan ketersediaan SDA yang mampu menjamin daya dukung terhadap manusia yang mendiami, kemampuan SDM dalam menyiasati hidup baik dalam hal budaya, pola pikir, ketrampilan teknis yang dimiliki (teknologi) maupun keterkaitannya dengan daerah lain yang saling bergantung (interdependensi). Kemiskinan dapat terjadi akibat rakyat tak berdaya dalam menghadapi berbagai macam proses pemiskinan yang disebabkan adanya ketidakadilan dalam berbagai aspek, baik sosial, ekonomi, budaya maupun politis.

Namun sampai saat ini masih banyak dari kita yang menganggap kemiskinan adalah akibat kesalahan orang miskin itu sendiri yang malas, suka judi, mabuk , tidak mau maju, tidak jujur/suka menipu dll. Memang didalam masyarakat masih dijumpai sebagain kecil kelompok rakyat miskin yang mempunyai sifat demikian, namun kita juga tidak memungkiri dan menutup mata adanya sebagian besar kaum miskin yang ada disekitar kita adalah para pekerja keras, ulet namun mereka tetap saja terpinggirkan menjadi kaum marginal/pinggiran yang tetap miskin.. Kita juga dapat melihat kehidupan petani kecil yang telah bersusah payah mengolah lahan untuk kemudian setelah panen dijual ke pasar. Mereka berangkat pagi hari menuju pasar sering hanya berjalan kaki dikegelapan pagi . Kemiskinan pedagang kaki lima dan petani kecil ini jelas tidak dapat ditimpakan kesalahannya pada para pedagang maupun petani itu sendiri, melainkan karena struktur ekonomi makro dan kebijakannya yang tidak memihak rakyat kecil yang miskin.seperti tidak disediakannya sarana yang memadai untuk tempat berdagang yang strategis bagi pedagang kecil, rendahnya Nilai Tukar Hasil Pertanian yang tidak sebanding dengan harga kebutuhan sehari-hari (dari hasil industri seperti sabun , minyak kelapa dll). Jika pegawai negeri maupun karyawan/ buruh swasta masih ada penyesuaian gaji terhadap inflasi, maka para petani ini tidak ada yang menyuarakan ketika pendapatannya tak mencukupi akibat harga jual hasil panennya sangat rendah, sementara harga sembako semakin melangit.

Proses pemiskinan yang lebih jelas terlihat dalam sebuah perkebunan maupun lingkungan kawasan industri. Upah buruh yang sangat rendah dengan jaminan/tunjangan kesehatan, asuransi maupun hari tua yang tidak memadai memaksa buruh terus hidup dalam kemiskinan, meskipun mereka bekerja keras dengan lembur dsb.

Kepemilikan asset/modal yang tidak terdistribusi dengan baik, seperti lahan yang dikuasai oleh tuan-tuan tanah di desa maupun petani berdasi diperkotaan , penguasaan HPH yang berlebihan oleh para konglomerat penipu, potensi tambang yang tidak dikelola oleh rakyat, teknologi tinggi yang hanya dikuasai oleh sekelopok elit pengusaha, ketidak adilan dalam pengalokasian dan penyaluran kredit untuk para pengusaha dibanding untuk rakyat /petani kecil dll merupakan faktor yang menyebabkan rakyat semakin miskin dalam kemiskinannya.

Kurang tersedianya pelayanan yang baik kepada publik (rakyat) oleh pemerintah daerah sejak jaman ORLA sampai saat ini telah ikut pula menyebabkan semakin derasnya proses pemiskinan yang dialami rakyat NTT. Akuntabilitas yang rendah kepada publik (rakyat) serta kurangnya profesionalisme dari aparat pemda, karyawan swasta, LSM dll dalam hal kinerja dan hasilnya , serta ketidakberdayaan rakyat dalam mengakses dan mengontrol kebijakan yang diambil DPRD bersama Pemda (yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya), telah menyebabkan pelayanan yang diberikan aparat dinas-dinas yang terkait dengan usaha pemakmuran rakyat maupun pelayanan dari pihak swasta/LSM menjadi tidak signifikan dalam merubah nasib rakyat miskin. Kurangnya sarana dasar yang memadai untuk hidup layak, serta menunjang kegiatan ekonomi pedesaan seperti jalan beraspal/bersemen, ketiadaan sarana komunikasi, listrik, trasportasi yang murah (baik laut maupun darat) telah ikut membuat kemiskinan di desa terus melingkar-lingkar tak bertepi. Kebijakan yang merugikan rakyat namun tetap dilanjutkan seperti kasus pohon cendana di jaman ORBA, HTI, sentralisasi pembangunan sarana penunjang ekonomi yang hanya di pusat kota propinsi, kabupaten, maupun kecamatan, mentalitas KKN, pendekatan top down dan proyek, urbanisasi kaum muda ke kota , rendahnya nilai tukar hasil komoditi perkebunan seperti kemiri, jambu mete,dll telah ikut menyebabkan semakin terpuruknya kehidupan kaum petani miskin di pedesaan NTT.




Akar kemiskinan

Menjadi pertanyaan menarik adalah apakah NTT memang diciptakan untuk miskin atau ada sesuatu yang salah dalam mengelola pembangunan sehingga kita mengalami kemiskinan yang melingkar-lingkar ? Apakah kemiskinan yang dialami oleh saudara-saudara kita, benar karena SDA yang kurang mendukung terciptanya kemakmuran ? Atau kemiskinan itu sendiri terkait dengan budaya, adat –istiadat , pola pikir, etos kerja, ketrampilan yang dimiliki atau dengan kata lain karena keterbatasan kemampuan SDM nya ? Atau kemiskinan itu sendiri adalah hasil dari sebuah kebijakan pemerintah dimasa lalu yang sentralistik, penuh KKN dan kebijakan ekonominya secara makro tidak memihak pada rakyat kebanyakan ? Atau para intelektual, pegawai negeri, kaum agamawan, seniman dll menganggap bahwa kemiskinan memang sudah selayaknya terjadi dan tidak mungkin diubah menjadi sebuah kemakmuran ? Melihat dari terjadinya proses pemiskinan yang telah diuraikan sebelumnya, terlihat apa saja sebenarnya yang menjadi akar dari penyebab kemiskinan. Kita perlu menggugat keadaan ini untuk diubah menjadi kehidupan yang penuh dengan kemakmuran yang adil dan mensejahterakan rakyat NTT.

Solusi keluar dari kemiskinan

Memang tidak mudah mencari solusi untuk keluar dari permasalahan kemiskinan. Sudah begitu banyak para pakar / kaum intelektual dari berbagai disiplin ilmu di NTT maupun dari berbagai pihak seperti GEREJA, PEMDA, LSM, PERS dll berusaha menyelesaikan masalah kemiskinan di NTT melalui berbagai metode dan pendekatan.

Ada yang menghendaki kemiskinan di NTT diatasi lewat ; a) kebijakan pengembangan ekonomi rakyat melalui pembangunan pedesaan dalam bidang agro industri, peternakan, kelautan dan pariwisata, b)pencerdasan rakyat melalui pendidikan formal (SD, SLTP.SLTA, PT) dan non formal (pelatihan teknis pertanian, peternakan, berbisnis dll), c) pendidikan politik rakyat, otonomisasi, penegakan hukum (menghukum pelaku KKN, mengadakan land reform sesuai UU Agraria, penciptaan UU, Perda yang memihak rakyat dll), d) peningkatan profesionalisme para aparat pemda dalam melayani kepentingan publik (penempatan pejabat berdasar berprestasi, bukan berdasar primordialisme), e) melalui himbauan moral (seruan untuk pola hidup sederhana dll), pengumpulan dana masyarakat (melalui pola pendidikan GNOTA, pengumpulan dana lewat media massa dll), f) penyaluran bantuan untuk mengatasi kemiskinan (program BIMAS/ INMAS/ INSUS/ SUPRA INSUS, IDT, P4K, Kukesra/ Tukesra, P3DT, PPK, NTAADP, FIDRA, dll), g) khotbah keagamaan yang meminta umatnya untuk solider terhadap sesamanya yang miskin sebagai wujud kasih (derma, aksi puasa pembangunan/APP, persepuluhan , zakat dll) maupun usulan lainnya.

Menjadi pertanyaan yang menarik namun sangat retoris bagi kita adalah mengapa kemiskinan masih belum tergantikan dengan kemakmuran di NTT ? Bagaimana penanganan kemiskinan dapat menjadi komitmen kita semua warga NTT tanpa kecuali, untuk secara simultan sesuai dengan kewenangan dan kemampuannya masing-masing menyatukan diri secara sinergis dalam sebuah tekad untuk bersama-sama dan bekerja sama mengurangi kemiskinan NTT dalam jangka waktu yang kita tentukan dan sepakati bersama. Apakah kita sebagai bagian dari kaum beriman akan tega membiarkan kemiskinan melilit sebagian besar saudara kita di NTT? Mungkin sebagian kecil dari kita dapat bersyukur karena sudah terlepas dari kemiskinan dan hidup dalam gelimang harta dan kemewahan, namun apakah ungkapan syukur dalam sebuah doa/ sembahyang hanya cukup sebatas mensyukuri apa yang sudah kita peroleh tanpa berbuat sesuatu meskipun sangat kecil bagi sesama kita yang kebetulan masih belum beruntung keluar dari kemiskinannya ? Mungkin kita dapat secara bersama-sama membuat sebuah forum yang peduli akan masalah kemiskinan yang dikoordinir oleh kaum agamawan sebagai sebuah wadah untuk dialog iman, dialog karya dan dialog kemanusiaan, karena kaum agamawan pasti lebih sangat peduli terhadap kemiskinan yang dihadapi umatnya. Bukankah keberadaan kita semua yang bekerja di NTT adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya rakyat NTT ? Atau kita saat ini bekerja karena hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup dan memikirkan kepentingan kita saja ? Mari kita suarakan dan kita perjuangkan bersama program peduli untuk kepentingan kaum miskin di NTT supaya pemerdekaan Indonesia lepas dari penjajahan Belanda memberi arti tersendiri bagi warga yang kebetulan masih hidup dalam kemiskinan. Selamat melakukan refeleksi dan pertobatan sejati yang dapat ditunjukkan dengan semakin berkurangnya jumlah rakyat miskin di NTT. Semoga.

Menabur kemewahan semu, menuai krisis berkepanjangan ?

Ketika kita mampu menoleh kebelakang pada saat kita dalam masa penjajahan, akan merasakan betapa kehidupan yang kita rasakan saat ini begitu mudahnya dan serba berkecukupan. Seorang petani tua di desa dengan lugunya menceritakan perbandingan situsasi kehidupannya pada saat di jajah Belanda dengan kehidupan yang dialaminya sekarang. Dia dengan begitu polos dan banggga menjelaskan bahwa saat ini sudah berpakaian cukup baik seperti halnya para priyayi dijaman penjajahan dulu. Begitu sederhana parameter yang digunakan untuk menilai sebuah kehidupan, namun memang demikianlah ungkapan lugu yang tidak terpolusi oleh kepentingan politik sesaat. Memang tidak dapat disalahkan, karena petani tua ini tidak mempunyai kesempatan mengembangkan kapasitas intelektualitasnya melalui pendidikan formal di jaman Hindia Belanda yang peraturannya memang tidak memungkinkan untuk dimasuki golongan rakyat jelata. Kecukupan secara materi memang dirasakan ketika ORBA berkuasa, dan bahkan masyarakat luaspun terbius oleh derap pembangunan yang lebih mengutamakan hal yang bersifat fisik atau kasat mata dan meninggalkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya yang kita miliki. Kita menjadi sangat materialistik, pragmatis, hedonis dan tidak mau lagi memikirkan kehidupan mendatang, apalagi harus berpikir antisipatip berjangka panjang, yang penting saat ini dapat menikmati kehidupan dengan penuh kemewahan dan kenikmatan meskipun bergelimang kepalsuan , kepura-puraan, dan bertumpuk hutang luar negeri.


Dari hutang ke hutang

Kehidupan masyarakat kita yang tengah membangun menuju terwujudnya negara maju, acapkali membuat kita lupa akan hal yang terpenting dalam mengartikan keberhasilan sebuah pembangunan. Kosa kata pembangunan yang terlalu sering dipakai memunculkan pemahaman yang rancu dan berbeda-beda dalam memahami hakekat pembangunan itu sendiri. Kita semua terjebak dan tersihir dalam hiruk pikuk pembangunan fisik dan melupakan pembangunan jiwa kita sebagai sebuah bangsa yang besar. Nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, solidaritas, kemanusiaan, kesetiaan, kesopanan, budi pekerti dll menjadi tak berarti, tak punya nilai dan begitu gampang diabaikan ketika kita terjebak dalam konsumerisme, kemewahan dan gaya hidup hedonisme yang memuja kenikmatan duniawi semata. Orang menjadi tidak peduli, ketika dihadapkan pada pilihan apakah akan mempertahankan nilai hakiki dalam sebuah kehidupan namun kehilangan keuntungan secara finansial maupun materi, atau lebih baik mencampakkan nilai yang dianutnya, namun berlimpah materi dan kemewahan. Akibatnya dapat kita lihat, betapa rasa malu menjadi barang yang mahal dan langka, sehingga orang-orang yang masih mencoba mempertahankan nilai dalam hidupnya menjadi tersingkir, terlibas dan terlindas dalam sebuah sistem yang memuja materi dan kemewahan semu. Orang yang jujur, berdedikasi, berkorban untuk orang banyak dan sekian banyak lagi perbuatan mulia, yang seharusnya menjadi batu penjuru justru tidak diberi penghargaan, bahkan dianggap sebagai batu sandungan dan rintangan untuk ber KKN ria. Maka dapat kita lihat secara kasat mata dalam kehidupan keseharian kita, betapa orang begitu mudahnya menjadi hipokrit/munafik dan mencoba melakonkan peran ganda, sebagai abdi negara maupun masyarakat, namun sekaligus sebagai”penipu, pencuri, perampok berdasi” Mereka yang melakukan KKN sebenarnya sedang mengabdi pada dua tuan yakni Tuhan dan mamon, sementara sudah sangat jelas ditekankan kemustahilan untuk dapat mengabdi dua tuan sekaligus. Bagaimana mungkin kita mau menjelaskan, seseorang yang begitu rajin beribadah, namun sekaligus menjadi koruptor ulung sehingga terlihat adanya kepribadian ganda dalam raganya. Bagaimana seseorang yang disumpah berdasar agama dan keyakinannya, namun ketika bekerja melupakan semua isi/makna sumpah tersebut dan seolah-olah sumpah tersebut tak berarti bagi dirinya dan hanya seperti ‘sumpah serapah’ saja. Moralitas bangsa ini telah anjlog pada titik nadir, ketika kita mengaku sebagai bangsa yang religius, namun disisi lain tingkat KKN juga tidak pernah turun, bahkan cenderung bertambah ? Padahal kita tahu bahwa perilaku KKN merupakan bentuk pengingkaran dari keyakinannya. Bagaimana kita mengaku sebagai bangsa yang humanis, sementara nyawa manusia begitu gampang melayang hanya karena adanya kerusuhan yang dipicu persoalan yang sepele ? Bagaimana orang menjadi tidak punya rasa malu, ketika dengan gencarnya menimbun harta kekayaan untuk tujuh turunan dengan cara KKN, meskipun hal yang dilakukan menumbuhkan ketidakadilan bagi yang lainnya dan menyisakan penderitaan yang luar biasa bagi rakyat kecil yang mengaku dilayaninya ? Bukankah hidup harus mempertimbangkan keberhasilan untuk diakhirat nanti ? Atau jangan-jangan mereka yang melakukan KKN dan perilaku melanggar norma agama mempunyai kesangsian dalam dirinya akan pengadilan terakhir di akhirat sehingga tidak perlu takut masuk neraka ? Bangsa ini telah terpuruk dalam krisis berkepanjangan selama 5 tahun, dan belum ada tanda-tanda mau bangkit kembali. Kita sekarang merasakan betapa akibat dari kesalahan dalam mengelola negara oleh pemerintah ORBA dan dilanjutkan oleh pemerintahan berikutnya telah menimbulkan penderitaan yang serius. Kemewahan yang kita alami selama ini, terutama yang dinikmati oleh para elit politik, elit pelaku ekonomi, para pejabat dll ternyata hanyalah kemewahan semu, hasil dari mengkorupsi hutang luar negeri, mengkorupsi APBN dan APBD, memeras dan menguras SDA yang kita miliki, melakukan mark up/penggelembungan nilai proyek diatas batas kewajaran, memeras hasil keringat buruh bangsa sendiri melalui pemberlakuan upah yang sangat minim dibawah batas kewajaran hidup minimum. Terlihat jelas betapa kita sebagai bangsa telah mempertontonkan ketidakbecusan kita dalam segala sektor kehidupan melalui pemborosan yang kita lakukan, tidak efektipnya program pembangunan yang kita jalankan, penghancuran aset bangsa melalui kerusuhan yang direkayasa dan penjualan oleh BPPN, ketidakstabilan politik akibat sikap kekanak-kanakan para elit politik di eksekutip, legislatip maupun yudikatip yang berdampak pada menurunnya nilai tukar rupiah dll. Bahkan yang lebih memalukan ternyata bantuan untuk pengungsi dan rakyat miskinpun (melalui JPS) tidak lepas dari korupsi, yang semakin menguatkan penilaian tentang ambruknya benteng terakhir bangsa ini yakni dalam hal moralitas. Mau kemana kita sebagai bangsa, kalau kita dengan seenaknya dan tanpa rasa bersalah menggadaikan negara ini melalui hutang luar negeri yang menumpuk akibat rendahnya profesionalisme, rendahnya rasa tanggung jawab berbangsa, pemborosan yang dilakukan dan akibat dibiarkannya proses KKN kelas kakap menggerogoti keuangan negara yang sudah kembang kempis ? Kita saat ini telah berada pada titik krusial antara lolos dari krisis dan masih akan tetap eksis sebagai bangsa dan negara atau kita sama-sama tenggelam karena kebodohan dan kebebalan hati nurani kita ? Ternyata pengalaman membuktikan, tiadanya jaminan akan kemakmuran, meskipun bangsa kita berlimpah akan ketersediaan SDA kalau kita tidak berperilaku hidup hemat, produktip, profesional dan sebagai bangsa pekerja keras. Betapa banyak hutang luar negeri yang kita terima, dikorup untuk disimpan sebagai tabungan/deposito pribadi lalu dilarikan untuk disimpan di luar negeri sebagai tambahan penghasilan yang berasal dari bunganya dan dijadikan sebagai pasokan dana dalam hidup bermewah-mewah tanpa perlu susah payah kerja. Orang cenderung mengamankan diri berserta keluarga dan saudaranya, serta tidak mau lagi berpikir apakah yang dilakukannya merugikan rakyat banyak atau tidak ? Kalau di Jepang, meskipun termasuk dalam negara yang sudah tergolong maju, namun rakyat hidup berhemat dan menabung sehingga tabungan yang ada dapat digunakan untuk memodali usaha yang menguntungkan. Disamping itu orang Jepang terkenal pekerja keras, sehingga tanpa adanya korupsi besar-besaran, maka roda perekonomian akan terputar cepat, sehingga Jepang merupakan negara donor bagi negara berkembang, termasuk Indonesia . Di Jepang para koruptor akan malu hati dan diadili dengan hukuman yang berat, bahkan sebagian melakukan harakhiri karena malu dan merasa gagal. Sedang di Indonesia, mereka para koruptor menjadi warga terhormat karena jabatan yang disandangnya dan harta benda yang dimilikinya. Maka Indonesia merupakan surga dan suaka bagi para koruptor karena dengan uang hasil korupsinya mampu membeli hukum dan memutarbalikkan kebenaran serta melawan rasa keadilan. Mereka para koruptor merasa nyaman karena terlindungi akibat praktek money politic dan suap, sehingga mereka bagaikan benalu yang menghisap sari makanan rakyat Indonesia yang sudah mengalami kerawanan pangan dan kesusahan dalam hidupnya.


Saatnya menunjukkan nasionalisme

Sudah habis waktu yang kita miliki untuk bereuforia di jaman reformasi ini, karena masalah keuangan negara mengalami tingkat kegawatan yang nyata untuk segera diperbaiki bersama. Mungkin saatnyalah kini bagi kita semua yang mengaku sebagai bangsa Indonesia dan mencintai negeri ini untuk tidak lagi berpanjang kata, tidak lagi berbuih-buih dalam menyikapi krisis yang ada. Inilah kenyataan yang tidak mampu kita singkiri, sebuah krisis berkepanjangan yang harus kita tuai akibat peri laku kita yang senang menjual diri demi gengsi hidup dalam kemewahan yang semu, melakukan praktek KKN yang sistemik dan canggih. . Kita teriakkan SOS kepada semua warga negara Indonesia, untuk bertindak kongkret mengatasi kekurangan pendanaan di APBN melalui pengumpulan harta secara sukarela yang dikelola secara trasparan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, penghancuran budaya korupsi melalui penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu, pelaksanaan otda yang diabdikan untuk kemajuan daerah, penataan kembali UUD 45 dan seperangkat UU maupun PP yang menyertainya. Kita bangun ekonomi kerakyatan, kita ciptakan wirausahawan muda diberbagai daerah melalui pelatihan manajemen wirausaha, kesempatan berbisnis yang adil dll. Kita beri penghargaan pegawai negeri yang bekerja keras mengabdi demi kemajuan masyarakat, dan kita pecat pegawai yang hanya menjadi benalu dan bermalas-malasan saja. Kita bangkitkan perasaan senasib sepenanggungan sebagai bangsa, untuk bersama-sama mengatasi masalah demi masalah, tanpa kita saling menyalahkan dan saling menjegal. Biarlah waktu yang akan berbicara, siapa sebenarnya yang benar-benar nasionalis, berpikir untuk kebaikan dan kepentingan bangsa, dan bukan hanya berlindung dibalik seragam demi keamanan dan kenyamanan semata. Mari kita nyatakan tekad kita keluar dari krisis, melalui tindakan nyata melawan KKN, hedonisme, materialisme, dan jangan lupa melawan kapitalisme yang menjadi salah satu sebab ketidakadilan. Kita songsong tahun 2002 kedepan sebagai tahun kebangkitan nasional yang sesungguhnya, dimana kita sebagai bangsa diuji kesungguhannya dalam menjaga keutuhan negeri ini, dan mewujudkan komitmen para bapak bangsa untuk mensejahterakan masyarakat, tidak dalam tataran retorika, tetapi dalam praksis nyata di masyarakat Dan semua ini dapat terlaksana apabila dalam pemerintahan sekarang ada kesadaran dan kepekaan ’ sense of crisis’ dalam diri para pemimpin negeri ini yang ditunjukkan dalam keteladanan kehidupan keseharian dengan pola hidup yang bersahaja sehingga tercipta pemerintahan yang bersih dan baik. Mari kita tunjukkan nasionalisme kita, mumpung selagi masih ada waktu, walaupun sangat singkat. Lebih baik terlambat dalam melaksanakan pertobatan sejati, daripada tidak sama sekali dan tetap dalam keadaan menjadi manusia yang munafik/hipokrit dan sangat kerdil jiwanya. Janganlah kita meniru para konglomerat koruptor yang meminjam istilah pepatah “Berakit-rakit kehulu, berenang-renang ke Singapura, korupsi besar-besaran dahulu, baru lari ke Sinngapura”.