Senin, 27 Oktober 2008

Spiritual versus Spirit-uang

Dalam kehidupan modern yang begitu cepat perubahannya, ternyata membawa konsekuensi yang luar biasa terhadap pemahaman akan arti penting menjalani sebuah proses yang dinamai kehidupan.
Dalam dunia kejiwaan , sesuatu yang mampu menggerakkan dari hati yang terdalam sering dikenal sebagai spiritual.
Bahkan kata spriritual sering dikaitkan dengan keyakinan beragama yang dikenal dengan spiritualitas.
Begitu pentingnya spiritualitas dalam kehidupan ini yang mampu menjadikan seseorang dengan gigih dan pantang menyerah menggapai sebuah impian untuk mewujudkannya dalam dunia nyata.
Spirit atau semangat , mampu menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang positip yang secara rasio/logis sulit bisa terjadi. Begitu kuatnya spirit para pejuang kemerdekaan untuk mewujudkan tekad “merdeka” sehingga mampu mengorbankan jiwanya dalam perjuangan heroik untuk memerdekakan bangsa dari penjajahan, kemiskinan, keterbelakangan, penindasan dan kesengsaraan yang seolah tiada berujung.
Semangat merdeka membuat para pejuang secara konsisten dan persisten tidak kenal lelah dan takut untuk menderita melalui jalan gerilya yang penuh onak dan duri untuk terus berjuang dengan segala keterbatasan dalam meraih cita-cita merdeka.

Namun setelah 63 tahun merdeka apakah spirit kebangsaan dan kemerdekaan tersebut masih ada dan melekat dihati sebagian besar rakyat Indonesia ? Apakah kita yang mengalami era kemerdekaan terutama generasi muda yang bergaya hidup modern, berkiblat ke hedonisme dengan segala pernik-pernik kehidupan “dugem” yang lebih memuja kenikmatan masih tetap dan terus mempunyai semangat kebangsaan ? Juga bagi para politisi Senayan apakah momen 100 tahun Kebangkitan Nasional mampu membangunkan dan mengembalikan spiritual berpolitik demi nasionalisme-inklusip untuk mensejahterakan rakyat Indonesia / konstituen yang diwakilinya sebagai wujud dari sila ke-lima Pancasila atau lebih memilih berpihak pada para pemodal yang membangkrutkan perekonomian nasional kita ?

Melihat bandul pergerakan politik yang terjadi akhir-akhir ini kelihatannya semakin menyakinkan kita bahwa para politisi dan penyelenggara negara secara tidak sadar maupun sadar telah tergadai atau menggadaikan negara ini pada kekuatan asing yang sudah menerobos ke relung terdalam dalam masyarakat kita dengan berbagai trik dimana tanpa sadar atau yang lebih parah lagi tanpa pernah mau tahu, mengakibatkan kesengsaraan bagi rakyat kecil yang memberi mandat kekuasaan pada mereka,.


Spirit-uang yang menggila

Masyarakat kita semakin materialistis dan memuja kebendaan secara berlebihan dan melupakan nilai-nilai luhur warisan pendahulu kita sehingga seringkali dalam setiap tindakan yang diambil mengabaikan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. Kita sering dengar dalam pembicaraan keseharian bagaimana kegiatan keseharian kita lebih dikendalikan dan didasari oleh UUD ( Ujung-Ujungnya Dana) . sehingga terjadi pemerasan berkelanjutan dimana hampir semua sektor kehidupan telah dijadikan komoditas yang diperjualbelikan.

Sangat disayangkan, sikap demikian telah menjerumuskan negara kedalam situasi yang rumit dengan banyaknya hutang, penawaran yang murah dari potensi dan hasil tambang kita, permasalahan sosial yang ditimbulkan dimana kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena mudahnya kita “dibeli” pihak asing dengan iming-iming memperoleh uang dalam jumlah banyak alias menjadi kaya mendadak tanpa perlu bersusah payah.

Spirit-uang telah mengalahkan spirit-solidaritas dimana atas nama ketertiban umum para petugas Satpol PP telah menunjukkan muka beringas tanpa rasa kemanusiaan mengobrak-abik asset/modal para pedagang UKM kaki lima yang dianggap telah memperburuk keindahan kota, mematikan mata pencaharian hidup keluarga mereka hanya karena mereka berdagang tidak pada tempatnya. Spirit-uang telah menyebabkan lahan-lahan komersial jatuh ke tangan pemodal kuat dan menyingkirkan para pedagang kaki lima yang punya spirit -wirausaha.


Nasionalisme vs kapitalisme

Dalam realita, tidak mudah mengedepankan kepentingan nasional dibanding kepentingan pemodal, karena seperti kita telah tahu, kekuatan pemodal (baik dalam negeri dan asing) telah masuk kerelung terdalam dari aktivitas bangsa kita dengan cara tersamar, terselubung dan tidak kasat mata dengan menggunakan tangan-tangan bangsa kita sendiri yang mau menjadi penindas terhadap bangsanya demi kehidupan yang penuh kemewahan. Apalagi kita sudah lama terninabobokkan dengan cara hidup yang memuja kenikmatan dan materialistis.
Lihat saja kasus Jaksa Urip, kasus Al Amin Nasution, kasus BLBI telah menunjukkan bagaimana berbagai sektor kehidupan bangsa menjadi sangat mudah untuk “dibeli” oleh kepentingan segelintir orang dan melupakan kepentingan rakyat.

Kasus privatisasi air, perebutan HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) oleh warga asing dimana banyak hasil kekayaan intelektual bangsa kita telah dipatenkan dan menjadi milik
asing semakin menunjukkan kelemahan bangsa kita menuju BERDIKARI.
Telah semakin nampak dalam kehidupan nyata di Indonesia dimana kedepan yang akan menguasai bukan lagi para politisi dan militer namun justru para pemodal alias pengusaha.

Dan kita bisa melihat bagaimana nasib para korban lumpur Lapindo yang terlunta-lunta di negeri sendiri dalam memperjuangkan hak-haknya ketika pemerintah harus berhadapan dengan pemodal yang sekaligus bertindak sebagai pejabat negara.

Pengusaha yang menjadi politisi tanpa kontrol yang kuat, akan menjadi penjahat kemanusiaan dan hal ini telah ditunjukkan oleh berbagai pemimpin didunia dimana pemimpin yang berasal dari kalangan pengusaha menjadi sangat serakah dan menyalah gunakan kekuasaannya untuk menumpuk kekayaan keluarganya.

Demikian pula kalangan pemimpin yang berasal dari non pengusaha kemudian berkolusi dengan pengusaha dan tanpa ada kontrol yang kuat akan sangat berbahaya seperti yang terjadi di Indonesia.


Kembali ke jati diri bangsa

Sudah saatnya spirit-uang yang terjadi saat ini digantikan oleh spiritual yang mendasarkan pada prinsip solider sebagai sebuah bangsa yang senasib dan sepenanggungan yang mendasarkan pada Panca Sila. Kita harus kembali pada jati diri bangsa yang lebih mengedepankan semangat gotong royong menuju berdikari dan meninggalkan kebiasaan buruk sikap “mengemis dan berhutang”.

Kita harus kembali secara lebih mendalam menyelami lirik lagu Indonesia Raya yang lebih dulu mengedepankan “membangun jiwa baru kemudian bangunlah badannya”.
Sebagai bangsa yang teruji dalam berbagai kesulitan dan pencobaan, sudah saatnya kita kembali merefleksi arah perjalanan pembangunan bangsa ini yang tidak hanya mengedepankan sisi ekonomi saja tetapi juga secara holistik memperhatikan semua aspek yang mempengaruhi keberlanjutan kita bersama sebagai sebuah bangsa.


YBT Suryo Kusumo
tony.suryokusumo@gmail.com

www.adikarsa.blogspot.com
www.adikarsagreennet.blogspot.com

Senin, 13 Oktober 2008

Natal, momentum untuk mewujudkan “Indonesia Baru?”

Setiap penghujung tahun, kita selalu diajak untuk merenungkan sebuah kosa kata yang telah akrab dalam kehidupan keseharian namun sulit sekali terwujud secara berkelanjutan yakni kata ‘DAMAI’.

Natal selalu mengajak kita untuk kembali ke fitrah, mempertanyakan arti sebuah perjalanan kehidupan dari mulai kelahiran kita sampai periode saat ini dalam sebuah kosmos yang kita kenal sebagai bumi yang satu tempat kita berpijak dan berkiprah.

Damai dibumi, damai dihati, damai dalam kemajemukan (suku, bangsa, agama, adat-istiadat, bahasa, budaya, ideologi dan perpolitikan). Bahkan para pendiri negara ini sejak dini telah meletakkan sebuah pondasi filosofi yang kokoh yang menekankan pentingnya perdamaian sehingga tercapai kompromi dalam perumusan PANCASILA .

Dalam Pembukaan UUD 45 , bapak bangsa mempersiapkan berdirinya sebuah negara yang damai melalui ungkapan yang menyatakan ‘ikut menjaga ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi, keadilan sosial ….’

Namun akhir-akhir ini kita sebagai sebuah bangsa merasakan betapa semakin jauhnya kita dari harapan bapak bangsa. Perayaan keagamaan yang harusnya disyukuri dengan penuh suka cita dan kemenangan, berubah menjadi kekuatiran dan ketakutan oleh adanya teror berupa ancaman tindak kekerasan dan terjadinya pengeboman. Kemajemukan yang seharusnya makin memperkaya satu dengan yang lain dan menambah kearifan kita seperti halnya ketika melihat warna pelangi yang meskipun berbeda warna namun indah jika menyatu, ternyata tidak mampu membendung emosi dan sentimen keagamaan, kedaerahan yang sempit.

Perbedaan bukan lagi dianggap sebagai berkah, namun justru lebih dilihat sebagai ancaman, dan berujung pada konflik yang mengarah pada pembinasaan umat dan peradaban manusia. Kita semakin terjebak dalam kesempitan cara pandang dan berpikir, sehingga semakin meninggalkan akal sehat dan nurani. Ketika kita melakukan pembenaran untuk membinasakan satu dengan lainnya hanya karena berbeda agama, suku dll, maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita dapat mempertanggungjawabkan perbuatan kita pada Tuhan, Sang Pencipta ? Kalau kita membunuh untuk membela saudara kita yang seiman, apakah surga akan penuh dengan orang yang bergelimang darah ditangannya ? Dan apakah kekerasan berupa pembunuhan menjadi solusi terbaik dan tidak menimbulkan dendam berkelanjutan ?

Mengapa ampunan dan kata maaf tidak mampu mengalahkan rasa benci dan dendam ? Bukankah kita lebih baik mengasihi musuh yang menganiaya kita sehingga dengan kasih maka diharapkan musuh akan bertobat untuk tidak memakai jalan kekerasan sebagai penyelesaian masalah yang dihadapi. Lalu kepada siapa kita akan membagi KASIH jika tidak kepada sesama kita, meskipun berbeda SARA ?


Ketika hati nurani mesti bicara

Mari dalam mensyukuri nikmat dan anugerah yang kita terima dalam hidup ini, kita telah mampu lebih mengedepankan suara hati nurani yang bersih, bening dan jujur. Biarlah Sang Maha Kuasa menyentuh hati kita lewat nurani kita, sehingga kita tidak mengotori kehidupan yang sedang kita jalani dengan berbagai bentuk kekerasan, baik kekerasan fisik maupun non fisik. Kita mencoba kembali untuk merajut benang-benang persaudaraan yang terkoyak oleh berbagai sebab dengan tali silaturahmi dan persaudaraan sejati. Coba kita tengok kembali perjalanan hidup kita selama setahun terakhir ini sehingga kita mampu kembali ke fitrah dan diawal tahun baru 2008 kita mampu menjadi manusia baru yang sungguh-sungguh berubah mengarah ke kebaikan budi dan nurani.

KKN dan sejenisnya juga merupakan bentuk lain dari teror bom di Bali dan sebentuk kekerasan lain yang sangat halus karena menyerobot/ merampas hak orang lain yang bukan milik kita, serta memutus rantai rahmat yang diberikan Tuhan YME kepada sesama kita melalui kekuasaan yang kita miliki ?

Bukankah kekuasaan yang ada ditangan kita adalah amanah dari Sang Maha Murah ? Mengapa kita menjadi serakah dan buta hati untuk mengambil hak orang lain maupun memeras orang lain yang tak berdaya karena kebetulan kita diberi sedikit kekuasaan yang bukan milik kita karena sebenarnya merupakan mandat dari rakyat yang setiap saat dapat dicabut? Bukankah memperdagangkan/ membisniskan kekuasaan yang kita miliki, berarti mengkianati pengabdian kita yang tulus kepada sesama kita ?


Lain kata, lain perbuatan ?

Marilah kita bangun raga kita ini dengan jiwa yang bersih dan jauh dari kepura-puraan serta melepas topeng yang tidak perlu kita kenakan. Janganlah kita menjadi bangsa pendosa yang terkutuk karena tidak mampu memanfaatkan waktu yang diberikan Tuhan kepada kita untuk bertobat sejati ? Atau kita menjadi bangsa munafik yang seolah-olah sangat religius tetapi sebenarnya sangat jauh dari sumber kehidupan itu semdiri yakni Sang Pencipta ?

Bagaimana kita harus menerangkan kepada komunitas dari bangsa lain yang melihat kesemarakan kehidupan beragama di Indonesia yang tinggi yang ditandai dengan siaran acara televisi berupa mimbar agama dari semua agama, sinetron yang berbau religi , namun disisi lain KKN jalan terus bahkan masuk ke kalangan DPR yang nota bene wakil rakyat dan juga yudikatif ?Atau kita termasuk golongan bangsa TOMAT (Tobat namun kemudian kumat) untuk selalu menipu Tuhan dengan retorika dan segala puja puji yang penuh kepura-puraan ? Bagaimana kita mengaku sangat toleran satu dengan yang lain , sementara beberapa tempat ibadah mengalami pembakaran, dirusak, bahkan dilakukan pengeboman ?

Bagaimana sila kedua Pancasila menegaskan pentingnya rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, sementara orang-orang pinggiran terus digusur tanpa alternatip jalan keluar yang lebih baik? Merampas hak hidup berupa pekerjaan di sektor non formal melalui penggusuran paksa hanya karena melanggar aturan PERDA namun tanpa solusi, adalah sebentuk pembunuhan keji secara perlahan dan menghilangkan harapan hidup seseorang beserta keluarga yang ditanggungnya.

Bagaimana kita mengaku beradab, sementara di beberapa tempat, orang dapat saling membinasakan seperti layaknya anjing hanya karena adanya perbedaan SARA? Jangan kita terjebak dalam romantisme sempit sentimen keagamaan maupun kesukuan yang membuat kita kerdil dan buta hati, dimana kita seolah-olah Sembahyang Terus, namun Mencuri/ Maksiat tetap Jalan (STMJ)

Natal, melahirkan “kesadaran baru”

Natal, dalam artian “kelahiran” seharusnya mampu juga melahirkan sikap dan kesadaran baru yang berbeda dari sikap lama. Apabila sebelumnya kita gemar ber KKN ria maka semangat NATAL seharusnya mampu mengubah menjadikan diri kita lebih mencintai kejujuran dan solider dengan rakyat kecil yang menderita.

Kalau sebelumnya kita lebih mementingkan diri kita dan keluarga saja, NATAL kali ini seharusnya mampu memperluas perhatian kita untuk kepentingan yang lebih luas yakni kepentingan umu/publik.

Sebagai pegawai negeri yang tak lain merupakan pelayan publik misalnya, bagaimana layanan publik menjadi lebih baik dan manusiawi. Tantangan bagi dinas-dinas pemerintah untuk setelah NATAL yakni dalam awal tahun 2008 untuk tidak kalah dalam kualitas pelayanannya dengan BUMN seperti BANK BUMN, TELKOM dll maupun dengan sektor privat seperti kantor TELKOMSEL INDOSAT dll. Kita dapat merasakan bagaimana sektor privat melayani warga sebagai pelanggan dengan penuh kesungguhan, sikap yang sangat ramah, ruangan yang bersih dan ber AC antrian yang tertib dan tempat duduk yang nyaman, Alangkah indahnya jika hal yang sama juga dapat dinikmati ketika kita masuk kantor dinas-dinas pemerintah dimana rakyat diperlakukan seperti halnya pelanggan (customer).

NATAL seharusnya mampu menggugah kesadaran kita akan arti pentingnya sikap “kesederhanaan” seperti yang diteladankan Yesus sendiri. Kita kurangi kebisaaan hidup penuh foya-foya dan boros digantikan dengan “sikap hidup hemat dan berinvestasi”
Kita hentikan kebiasaan ketergantungan pada alkohol dan narkoba , mabuk-mabukan, pesta berlebihan, termasuk juga sebenarnya kebiasaan merokok yang seolah-olah tidak merugikan, namun sebenarnya juga berbahaya karena dapat mengakibatkan sakit jantung, impotensi, kelainan pada janin, dan juga membahayakan bagi orang lain yang meski tidak merokok namun sangat berbahaya apabila menghirup asap rokok yang dikenal dengan perokok pasip.

NATAL sebaiknya mampu meningkatkan kesadaran arti penting menjaga kelestarian lingkungan. Natal yang kebetulan selalu jatuh pada musim hujan dapat jadi momentum untuk melahirkan kebiasaan baru untuk “menumbuhkan tanaman alias menanam dan memelihara tanaman” yang mampu menghijaukan dan menyejukkan lingkungan kita terutama lahan tidur, lahan kritis dan lahan disekitar kita yang belum termanfaatkan. Kebiasaan menumbuhkan tanaman juga mampu membersihkan polusi udara, mengurangi rasa stres, menjadikan alam sebagai sahabat, memberi tempat bagi kehidupan yang layak bagi burung dan satwa lainnya.

NATAL dapat dijadikan sebagai awal untuk lebih meningkatkan sikap hidup bersih (termasuk jiwa kita), membiasakan membuang sampah pada tempatnya, menjadikan ruang publik seperti pasar tradisional , rumah sakit umum, sekolah dll menjadi lebih bersih, tertib, teratur dan enak dipandang.


Mari kita bulatkan tekad untuk kedepan, melalui Natal tahun ini kita mampu lahir kembali sebagai bangsa yang besar dalam mewujudkan nilai luhur religiositas, meninggalkan kebiasaan dosa berupa KKN, politik uang, perjudian, mabuk, kekerasan dalam segala bentuknya , mampu meningkatkan pelayanan publik dengan standar yang lebih baik, mewujudkan kasih dalam perbuatan nyata sehari-hari diseputar tempat kerja, lingkungan keluarga kita, tetangga dll.

Kita jangan terjebak dalam pesta pora yang mengenyangkan perut semata, memuja kemewahan dalam konsumsi pakaian, pohon natal dan gemerlapnya lampu dan hiasan Natal maupun terperangkap dalam “Sinterklas Kapitalis’, namun mampu menggali arti kesahajaan, pengorbanan untuk mampu mengantar ‘kelahiran anak manusia’ oleh seorang gadis desa yang lugu bernama Maria, perwujudan rasa tanggung jawab dan kebapakan dari Yosep, dan yang paling penting adalah bagaimana Allah Bapa menyambung kembali tawaran keselamatan melalui kelahiran PutraNYa Yesus ke dunia. Mari kita wujudkan Natal yang penuh kasih dan damai, tidak dengan ucapan maupun jabat tangan semata, melainkan dalam aksi nyata dan praksis kehidupan keseharian kita.

Membagi kasih tanpa merasa berbuat lebih, mendorong terciptanya kedamaian tanpa kekerasan, menyongsong tahun baru 2008 dengan semangat pelayanan dan pengabdian yang tulus demi peningkatan harkat dan martabat sesama.

Kita wujudkan Indonesia Baru dengan habitus baru yang berwajah humanis manusiawi dalam tatanan negara yang modern dan demokratis, menjunjung harkat dan martabat manusia melalui penghargaan terhadap HAM. Semoga


YBT Suryo Kusumo
Pengembang masyarakat perdesaan
tony.suryokusumo@gmail.com

Gereja Katolik yang transparan di era keterbukaan, sebuah harapan.

Dalam menyikapi perubahan masyarakat di Indonesia, gereja selalu berada didepan untuk menyuarakan keprihatinan rakyat berupa surat gembala dan press release yang disebarkan melalui berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Gereja mencoba untuk tetap jernih melihat permasalahan bangsa dan tidak mau terjebak serta selalu menjaga jarak dengan kegiatan politik praktis yang hanya berorientasi kekuasaan semata, cenderung semakin tidak etis, menghalalkan segala cara yang sering bertentangan dengan moralitas. Gereja Katolik secara hirarki melalui KWI selalu berusaha untuk jujur menyampaikan pandangannya demi kebaikan bangsa dan negara. Mgr. Soegiyopranoto SJ selalu berpesan hendaklah umat Katolik di Indonesia menjadi 100 % Indonesia dan 100 % Katolik. Kita diajak meninggalkan sikap eksklusif yang cenderung kerdil seperti bonsai yang enak dipandang, namun tidak produktip dan berani untuk keluar menuju sikap yang inklusip/terbuka.

Keterbukaan internal gereja

Dalam perjalanan perkembangan gereja Katolik di Indonesia, kita mengalami pasang surut seturut kehidupan politik dan gereja berusaha untuk tegak dalam menyikapi ketidakadilan, kemiskinan, pelanggaran HAM dan juga KKN. Namun sayang seringkali didalam masalah internal gereja, kita cenderung menutup diri terhadap tuntutan reformasi baik dalam hal penggembalaan umat maupun pendekatan yang dilakukan dalam menyikapi persoalan yang ada di seputar paroki. Memang kalau dilihat secara sepintas gereja Katolik unggul dalam bidang pendidikan, kesehatan dan karya amal karitatif, seperti yang juga telah diakui oleh Gus Dur selaku Presiden Republik Indonesia, terutama dibidang pendidikan.
Gereja juga menampakkan wajah ‘yang lain daripada yang lain’, terutama dalam keberpihakan dan pelayanan kepada kaum miskin dan tertindas seperti yang telah ditunjukkan oleh sepak terjang Romo Mangunwijaya Pr. Juga keberanian Institut Sosial Jakarta dibawah koordinasi Romo Sandiyawan SJ dalam membela hak buruh dan melindungi aktivis PRD dari kesewenangan penguasa ORBA telah sedikit banyak memberi warna pada penerapan/praksis ajaran sosial gereja. Namun kalau kita mau mengkaji lebih mendalam secara cermat, jernih,dan jujur, sering terlihat apa yang nampak baik dari luar, masih ada sedikit tercecer permasalahan internal gereja, seperti terlihat dalam paroki, dimana ada potensi maupun konflik terselubung, yang apabila tidak hati-hati mengelolanya secara arif dalam terang Roh Kudus, akan menimbulkan benturan yang dapat membelokkan arah biduk gereja cenderung semakin menjauh dari tujuan yang hakiki. Sudah saatnya di era reformasi, otonomi daerah, dan keterbukaan, gereja juga mulai berani mengakui kelemahan manajerial yang dimiliki dalam penggembalan umat, pengelolaan paroki maupun yayasan yang ada. Seberapa jauh gereja mulai berani membuka dialog iman, dialog karya, maupun dialog kehidupan, memberikan ruang gerak yang lebih luas untuk partisipasi umat melalui pendekatan yang partisipatip, mempertanggungjawabkan kepada umat tidak hanya jumlah penerimaan dana, namun juga penggunaannya baik yang dikelola biarawan/wati maupun oleh awam.

Audit publik, sebuah tawaran

Mungkin tawaran audit publik bagi keuangan di lembaga gereja menjadi tidak popular dan dicurigai sebagai bentuk ketidakpercayaan diantara kita. Namun jika kita mau melihat lebih jauh demi kebaikan gereja, dari lubuk hati yang terdalam niatan tawaran ini semata-mata untuk menjadikan gereja yang kita cintai terus menerus eksis disetiap perubahan jaman dalam pelayanannya baik rohani maupun sosial. Kita harus berani membuka kelemahan-kelemahan yang kita miliki, kita rasakan sehari-hari dan secara realitas ada didepan mata kita, daripada hanya berani bicara sembunyi-sembunyi dan dibelakang saja.Keterbukaan menjadikan dan membawa kita semua menjadi lebih lapang dada dalam pelayanan, serta mengurangi potensi konflik yang dapat ditimbulkan oleh sikap kecurigaan yang berlebihan dan tak beralasan baik terhadap pastor, suster, bruder, awam yang menjabat dalam dewan paroki maupun yayasan yang bernaung dibawah gereja. Kesulitan yang dihadapi gereja harus diketahui oleh umat dan dicarikan solusi secara bersama-sama secara dialogis. Permasalahan sosial ekonomi seputar paroki seperti bagaimana menangani masalah kemiskinan, ketiadaaan modal usaha, ketidakmampuan menyekolahkan anak, kecanduan narkoba, sek bebas, kekerasan terhadap perempuan, pengangguran, buruh migran, PRT (Pekerja Rumah Tangga) yang dianiaya dll terutama didaerah mayoritas katolik, sebenarnya bukan hanya masalah paroki lokal, namun juga menjadi tanggung jawab kita semua sebagai wujud solidaritas kristiani. Dan apabila diperluas, maka permasalahan tersebut yang ada ditengah-tengah bangsa Indonesia adalah masalah dan keprihatinan yang dihadapi kita bersama untuk secara bersama-sama pula mencarikan jalan keluarnya.
Kita harus berani melihat realita masih begitu banyak karyawan yang bekerja untuk lembaga gereja mengalami kesulitan untuk mencapai kehidupan yang layak. Seringkali mereka yang mengabdi pada lembaga gereja menjadi pasrah terhadap apa yang dialami meskipun dirasakan hal itu sebagai sebuah ketidakadilan. Ketidak beranian mereka menyuarakan aspirasi, seharusnya ditanggapi secara arif oleh kita sebagai bagian dari gereja untuk menolong mereka melalui kebersamaan kita, baik melalui loby/pendekatan kepada pimpinan untuk memperbaiki sistem kesejahteraan mereka dll. Disamping itu untuk mewadahi kebersamaan kita baik secara internal gereja maupun eksternal bersama masyarakat umum, perlu dikaji secara mendalam mengenai perlu tidaknya membentuk lembaga (LSM) di tiap paroki sebagai ajang untuk dialog iman, dialog karya, maupun dialog kebangsaan dalam mewujudkan kesatuan kita sebagai bagian tak terpisahkan dari replublik ini dalam membangun karakter kebangsaan (nation character building) untuk bersama-sama membangun masyarakat madani yang berwajah keadilan, kedamaian, berbudaya, beradab, bermartabat dan manusiawi dll. LSM ini dapat menjadi wadah untuk dialog kehidupan, dialog iman, dialog karya, dialog cultural dll bagi sesama umat maupun dengan umat bergama lain, menjadi saluiran untuk mengumpulkan dana dari penderma (terutama umat katolik yang kaya di paroki) yang ingin membantu sesamanya maupun dari lembaga penyadang dana. LSM ini dapat berperan sebagai fasilitator, motivator, konsultan, mediator dan asal bukan koruptor, dalam membantu menyelesaikan permasalahan sosial melalui pendekatan partisipatip, dialogis, membangun keswadayaan melalui pemberdayaan. Pendekatan karitatif untuk pengembangan masyarakat sebaiknya mulai dikurangi, kecuali untuk hal-hal yang mendesak dan darurat.
Dengan demikian terbangun kebersamaan diantara umat yang berbeda keyakinan dan terkurangi masalah sosial diseputar paroki sehingga potensi yang dapat menyulut konflik horizontal diantara masyarakat dapat diminimalisasi. Dalam kondisi demikian maka peran provokator untuk memprovokasi masyarakat melalui isu SARA dapat ditangkal karena terjembataninya dialog antar agama, dialog karya, dialog kehidupan sehingga jurang antara kaya dan miskin dapat terkurangi, silaturahmi antar umat beragama melalui kegiatan sosial sebagai wujud dialog dapat semakin terjalin sehingga terbangun pemahaman bersama diantara kita sebagai sebuah bangsa yang majemuk dalam suku, etnis, agama, budaya namun mau dan mampu bersatu seperti tertuang dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Semoga!

GEREJA KAUM MISKIN, MASIH PERLUKAH ?

Sebuah slogankah ?

Sering kita mendengar dalam berbagai kalangan Gereja Katolik ungkapan gereja kaum miskin. Dan sejauh ini dapat dipertanyakan dalam diri sendiri apakah gereja benar-benar berpihak pada kaum miskin, dalam pengertian sebagai bagian dari gereja itu sendiri. Jangan sampai terjadi ungkapan gereja kaum miskin hanya sebuah slogan yang hanya manis untuk diucapkan namun sangat lain dalam kenyataan.

Pengertian kaum miskin.

Sangat sulit mendefinisikan atau merumuskan kriteria kaum miskin. Miskin dapat dalam bentuk jasmani maupun rohani. Kemiskinan sendiri sebenarnya tidak diharapkan dan disukai karena hidup dalam kemiskinan identik dengan kehinaan dan penuh problema. Dalam dokumen MASRI ( Majelias Antar Serikat Religius Indonesia) tahun 1984 dilukiskan secara cukup luas apa yang dimaksud orang miskin dan kecil yakni antara lain orang yang tak berdaya karena mengalami aneka macam pemiskinan …. yang membuat semakin banyak orang hidup semakin tidak manusiawi dan tidak menggambarkan bahwa dia adalah citra Allah yang bermartabat sebagai manusia ( no. 6). Pada umumnya mereka hidup dibawah taraf kewajaran manusia (no 7) (Lihat dalam buku Kemiskinan dan Pembebasan hal 98).

Proses pemiskinan

Dalam pengertian kaum miskin diatas, disebutkan bahwa kemiskinan terjadi akibat tak berdaya dalam menghadapi berbagai macam pemiskinan yang disebabkan adanya ketidak-adilan dalam berbagai aspek baik sosial, ekonomi, budaya maupun politik.

Namun banyak orang berpendapat bahwa kemiskinan terjadi akibat kesalahan orang miskin sendiri yang malas, tidak mau maju, tidak jujur/suka menipu dsb. Didalam masyarakat memang masih dijumpai sebagian kecil kelompok orang miskin yang mempunyai sifat demikian. Namun kita tidak boleh menutup mata bahwa sebagian besar kaum miskin yang ada disekitar kita adalah orang-orang yang telah bekerja keras dan ulet. Namun kehidupan mereka tetap saja tidak berubah. Kita dapat melihat petani-petani kecil yang telah bersusah payah mengolah lahan, menanam berbagai tanaman kemudian setelah panen mereka jual ke pasar. Mereka, para petani berangkat pagi hari menuju pasar sering hanya dengan berjalan kaki. Kemiskinan yang terjadi pada petani kecil jelas tidak dapat disalahkan pada petani itu sendiri melainkan karena struktur ekonomi yang sering merugikan kedudukan mereka. Harga pertanian yang tidak boleh melonjak sementara harga kebutuhan sehari-hari (dari hasil industri) mengalami kenaikan yang pesat seiring dengan kenaikan harga BBM dan gaji pegawai negeri.

Proses pemiskinan yang lebih jelas terjadi dapat terlihat pada sesosok tenaga kerja/ buruh di perkebunan yang kehidupannya hampir tetap sama dari generasi ke generasi akibat upah yang kurang memadai, sementara para staf hidup dengan sangat layak.
Ini hanya sebuah gambaran nyata dari sekian banyak proses pemiskinan yyang sering tidak kita sadari yang terjadi disekitar masyarakat kita.

Jalan keluar masalah kemiskinan ?

Memang tidak mudah mencari jalan keluar dari masalah kemiskinan.
Sudah banyak para pakar dari berbagai disiplin ilmu berusaha menyelesaikan masalah kemiskinan dengan berbagai metode dan pendekatan. Ada yang menghendaki lewat jalur hukum (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dsb), dengan himbauan (misal pola hidup sederhana,kesetiakawanan sosial dsb), khotbah diberbagai kegiatan keagamaan dsb.

Sebenarnya sebagai umat kristiani kita selalu diingatkan akan ajaran yang utama yakni cinta kasih. Dan hanya kasih dalam diri kita masing-masing yang mampu merubah wajah disekitar kita menjadi lebih manusiawi dan mampu mengurangi prosentase kemiskinan. Apabila kita dapat saling memperhatikan, menolong memberi “kail” pada kaum miskin, maka proses pemiskinan akan semakin terkikis dan digantikan oleh proses saling mengasihi yang membawa masyarakat menuju kedamaian dan kebahagiaan. Pendidikan Non Formal (PNF) dapat dijadikan jembatan bagi kaum miskin yang tidak sempat menikmati pendidikan formal untuk mendapatkan ketrampilan / skill yang dapat dijadikan bekal untuk hidup mandiri. Hanya saja PNF mempunyai kendala yang cukup besar yakni masalah dana yang diperlukan cukup besar untuk penyelenggaraannya serta dibutuhkan tenaga-tenaga yang rela menyisihkan sebagian waktu hidupnya untuk kemajuan sesamanya.

Semoga kita sebagai bagian dari gereja mampu mewujudkan wajah gereja yang berpihak pada kaum miskin dalam setiap perbuatan dan tingkah laku kita sehari-hari berlandaskan kasih akan Allah dan sesama. Memang tidak mudah, banyak cobaan dan godaan namun dengan bantuan Roh Kudus kita berharap mempunyai keprihatinan yang besar terhadap kaum miskin, sehingga gereja kaum miskin benar-benar terwujud dan diperlukan, bukan sekedar slogan belaka. Semoga

YBT Suryo Kusumo
Pengembang masyarakat perdesaaan
Email : tony.suryokusumo@gmail.com

KAUM MUDA GEREJA, MENELADANI BENTO ATAU SANTO/SANTA ?

Kaum muda gereja merupakan kekuatan dan harapan kemajuan gereja dimasa mendatang. Kaum muda sebagai bagian tak terpisahkan dari umat beriman merupakan kelompok yang rawan terhadap cobaan dan godaan. Usia muda merupakan masa untuk menemukan identitas diri dari berbagai pilihan yang harus diputuskan secara tepat dan bijaksana. Kegiatan yang dipilih dan dilakukan sekarang merupakan dasar pijakan bagi kehidupan mendatang. Maka sudah selayaknya gereja memperhatikan dengan penuh kesungguhan dinamika dan perkembangan kaum mudanya untuk mengarah pada kemajuan yang didasari spriritualitas kristiani. Cobaan dan godaan yang paling rawan antara lain kehamilan usia muda diluar nikah yang menjurus ke aborsi, narkotika, pesimistis, individualistis, kemalasan dan jalan pintas menuju kaya (lewat SDSB, kriminalitas dsb).

Keberanian melawan arus

Jika kita menyimak dan memahami pesan yang terkandung dalam lagu “Bento” yang sempat populer beberapa waktu yang lalu, seakan ingin menunjukkan salah satu arus yang sedang mengalir di masyarakat kita yakni pemujaaan terhadap kebendaaan
(materialistis) yang secara langsung maupun tak langsung akan mempengaruhi jiwa kaum muda. Terlihat betapa bangga “Bento” atas pemilikan materi yang sangat berlimpah meskipun didapat dengan jalan yang berlawanan dengan suara hati, moral serta membuat sesama yang kecil dan lemah semakin tidak berharkat dan tidak manusiawi.

Maka menjadi sangat ironis jika kaum muda gereja sekarang lebih mengenal dan mengidealkan menjadi seperti Bento daripada meneladani Santo/Santa.
Siapa yang bertanggung jawab jika kaum muda gereja semakin tidak mengenal kehidupan para Santo/Santa, tetapi justru lebih dekat dan lebih mengenal pola kehidupan Bento ?

Mari kita belajar jujur terhadap diri kita sendiri, dan berefleksi kemanakah arah kaum muda gereja kita ?
Jika kita menengok ke lembaga pendidikan kristiani dari berbagai tingkatan, terlihat jelas betapa mereka yang mengenyam pendidikan kristiani justru sering memperlihatkan sikap yang berlainan dengan iman yang dihayatinya. Seragam yang sangat pantas, fasilitas yang lengkap dan cenderung mewah, gedung pendidikan yang megah, bermobil mewah, seolah-olah mengajak kaum muda untuk menyiapkan diri menjadi seperti Bento yang dihargai karena kekayaan yang berlimpah sehingga status sosialnya ikut terangkat. Kaum muda gereja yang demikian jelas akan semakin jauh dan semakin sulit menghayati dan meneladani kehidupan para Santo/Santa yang penuh dengan kesederhanaan, ketekunan, kerja keras, semangat kebersamaan dan kerelaan berkurban yang cukup tinggi.

Pendidikan formal yang seharusnya dijadikan sarana untuk membentuk kepribadian yang utuh dan meningkatkan intelektualitas dapat terjebak dan salah arah menjadi ajang untuk memamerkan kekayaan, menjatuhkan satu dengan lainnya, serta menganggap teman sebagai musuh yang harus dikalahkan.

Dan pada akhirnya dapat menyuburkan sikap individualistis dan sikap masa bodoh terhadap kesetiakawanan sosial. Maka mungkin dalam benak kaum muda terpikir bahwasanya “Sombong pangkal dihormati “ dan “Hemat menunjukkan melarat”.

Maka jika kaum muda gereja lebih bergaya Bento daripada meneladani Santo/Santa, menjadi tugas para gembala dan pemuka umat utnuk memberi arah dan keteladanan meskipun sering dianggap melawan arus. Kaum muda gereja tidak menuntut banyak dan tidak memerlukan banyak kotbah dan nasehat, melainkan pendampingan dan sikap nyata dari kaum dewasa untuk mewujudkan iman dalam perbuatan.

Semoga apa yang terungkap diatas bukanlah kenyataan obyektip yang kita tangkap, melainkan hanya pengandaian yang mungkin saja dapat terjadi pada kaum muda gereja yang kita cintai.

Mudah-mudahan semangat kebangsaan dan kerasulan lebih merasuk ke jiwa kaum muda sehingga semangat kesederhanaan, kedisiplinan, suka kerja keras dan pengorbanan untuk membangun bangsa dan gereja bagi kemajuan sesama terpateri dalam diri kaum muda gereja seperti yang telah diteladankan oleh para Santo/Santa.




Dili, 20 Oktober 1992


YBT Suryo Kusumo
Staf “PUSLAWITA”DARE