Tampilkan postingan dengan label Politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Politik. Tampilkan semua postingan

Rabu, 10 September 2008

Tetap merdeka dalam keterpurukan ?

Setiap memasuki bulan Agustus, kita selalu diingatkan oleh peristiwa heroik yang terjadi di era tahun 45 ketika dengan gegap gempita serta dalam kondisi yang serba seadanya atau bahkan kekurangan, kita sebagai bangsa memproklamirkan kemerdekaannya. Saat ini dalam rangka memperingati hari kemerdekaan , kita disepanjang jalan dapat menemui beberapa kendaraan yang melilitkan sebuah bendera ukuran kecil yang kita hormati dan kita pertahankan dengan pengorbanan jiwa berupa bendera merah putih. Masih segar dalam ingatan ketika sekolah di SD guru saya menjelaskan tentang arti warna bendera kita dimana merah diartikan berani dan warna putih artinya suci dan diajari menyanyi lagu “berkibarlah benderaku …”. Maka dikaitkan dengan situasi yang terjadi di tanah air saat ini, saya mencoba merenung kembali apa sebenarnya arti kemerdekaan bagi pribadi saya ditengah keterpurukan bangsa ini, dan ditengah perebutan kekuasaan yang tanpa etika dan moral yang lebih mengedepankan kepentingan golongan maupun partai ? Ketika kita melihat tingkat kesulitan hidup yang luar biasa bagi saudara-saudara kita yang masih terhimpit dan terjepit kesulitan ekonomi untuk dapat memenuhi kebutuhan mempertahankan hidup secara fisik saja, ketika ribuan bayi. balita dan batita mengalami ketidaknormalan pertumbuhan baik fiisik, intelektual maupun psikis karena gisi buruk, ketika banyak anak tak mampu lagi bersekolah, ketika semua harga kebutuhan dasar, tarif listrik, tarif telepon, tariff BBM melonjak dan tak terjangkau, ketika kelaparan melanda dibeberapa daerah di Indonesia, ketika bom meledak di berbagai daerah, dan ketika kita bertanya mengapa semua ini terjadi padahal kita telah merdeka selama 60 tahun ? Tidak mudah menemukan jawab, dan mari kita tanya kepada rumput bergoyang, sejauh mana kita sebagai pribadi/personal sebagai warga negara yang baik ikut menyumbang kebaikan bagi negeri ini ? Seperti yang didengungkan oleh seorang Kennedy Presiden AS yang terkenal yang menyatakan ; ‘Jangan tanyakan apa yang diberikan negara kepadamu, tetapi tanyakanlah apa yang telah kau berikan untuk negaramu ?’

Mengulang rutinitas

Ketika tanggal 17 Agustus sudah mulai dekat, kita selalu melihat banyak pagar depan rumah dan kantor diperbaiki dan dicat kembali, diberbagai jalan dipasang umbul-umbul bendera, pemasangan gapura, diadakan lomba baris berbaris, panjat pinang dsb, ada kegiatan hiburan dengan berbagai macam atraksi yang digelar, dan pada saat 17 Agustus maka beramai-ramai kita melakukan upacara bendera untuk memperingati hari proklamasi yang mengantar kita sebagai sebuah bangsa yang merdeka, bermartabat dan berdaulat. Semua rutinistas ini selalu berulang setiap tahun dan jangan sampai kita secara tak sadar terjebak dalam suatu rutinitas yang tak bermakna. Apakah kita sebagai sebuah warga dari bangsa yang merdeka benar-benar merasakan makna penting dari sebuah kata merdeka ? Atau kita tidak peduli lagi dengan semua yang terjadi di republik ini ? Sudah saatnya bagi kita untuk merefleksi kembali dan menggugat arti dari keadaan ‘merdeka’ dalam artian yang sebenarnya !. Ketika 60 tahun berlalu dan kita memasuki milenium ke tiga , kita dapat bertanya kembali sudah sejauh mana perjalanan kita sebagai bangsa yang mempunyai cita-cita kedepan untuk masyarakat Indonesia ? Bukankah para pendiri bangsa sudah memandu kita melalui pembukaan UUD 45 yang didalamnya memuat arahan bagi kita dalam mewujudkan masayarakat yang adil dan makmur ? Ketika Bapak pendiri bangsa mengamanatkan dalam pembukaan UUD 45 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, pertanyaannya untuk kita semua sudah seberapa banyak dari warga kita yang benar-benar cerdas dan kritis, bukan hanya sekedar mempunyai gelar akademis S1, S2. S3 ? Atau masih banyak diantara kita yang melacurkan intelektualitasnya demi kemapanan hidup, menjaga status quo, memikirkan diri dan keluarganya saja, memperoleh jabatan yang berarti memperoleh fasilitas dan angpao, memutarbalikkan fakta dan kebenaran, memenuhi dan memuja hedonisme untuk diri kita ? Seberapa banyak para birokrat kita yang dengan kecerdasannya dan kearifannya mampu meningkatkan harkat hidup dan kesehjahteraan masyarakat, terutama masyarakat miskin di daerah terpencil ? Seberapa jauh para akademisi dengan kemampuan intelektual dan ilmunya mampu mengurai dan mengurangi kesulitan yang dihadapi masyarakat kecil melalui penggunaan teknologi, penerapan sistem ekonomi yang memihak rakyat maupun ilmu-ilmu lainnya yang terkait langsung dengan kehidupannya ? Seberapa banyak pemuka agama yang mampu membebaskan umatnya dari rasa putus asa karena menjadi pengangguran akibat tidak memperoleh kerja sebagai penopang hidup dan wujud dari aktualisasi dirinya ? Seberapa banyak polisi yang benar-benar mempunyai keinginan untuk mengayomi dan memberikan rasa aman kepada warga masyarakat ? Seberapa banyak dokter dan paramedis yang benar-benar melayani masyarakat dengan sepenuh hati untuk dapat sembuh dari penyakit dan penderitaaan yang dialaminya ? Atau kita semua dari berbagai profesi sudah terlilit dalam kubangan materialisme dan hanya uang dan materi yang mampu menyemangati dalam kehidupan kita. Ketika kita melihat dalam kehidupan kita sehari-hari adanya perampokan secara kasar oleh penjahat maupun secara halus oleh pejabat melalui KKN yang menumbuhkan kebencian dari masyarakat karena membuahkan kekerasan dan ketidak adilan dalam masyarakat, maka perayaan kemerdekaan dapat menjadi ajang refleksi bagi kita semua, apakah kita benar-benar paham arti sebuah kemerdekaan atau kita hanya sekedar ikut meramaikan saja supaya kelihatan sok nasionalis ?
Merampok uang rakyat, menggunakan kekuasaan untuk kepentingan keluarga, golongan maupun kelompoknya merupakan tindakan orang-orang yang belum merdeka karena terbelenggu oleh penguasaan materi dan kekuasaan dan selalu merasa terperangkap dalam nafsu serakah dan kekerasan.


Merdeka dalam keadilan

Mari kita rayakan kemerdekaan dengan kesungguhan hati , kebeningan nurani, kepekaan sosial yang tinggi, kecerdasan yang kita miliki, kearifan, dan mempertanggungjawabkan kemerdekaan yang kita alami semuanya pada Sang Maha Adil. Kita gunakan momen yang penting dan bersejarah ini untuk tidak terjebak dalam rutinitas, namun mampu menggali arti hakiki dari sebuah kemerdekaan. Masing-masing dari kita sebagai warga negara yang baik dengan talenta yang kita punyai dan profesi kita mampu menyumbang rasa keadilan dalam pembangunan republik ini sehingga tidak justru sebaliknya memanfaatkan semua peluang / celah hukum maupun sistem kontrol untuk melakukan KKN dan sebangsanya yang merugikan negara dan menimbulkan ketidakadilan yang berujung pada tumbuhnya kekerasan dalam masyarakat dan ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai penyelenggara negara. Kita cermati UUD 45 yang belum terealisasi untuk kita realisasikan sebagi wujud penghormatan kepada para pejuang yang telah gugur membela kemerdekaan maupun para pendiri bangsa yang dengan susah payah memerdekakan negeri ini dari penjajahan. Kita lakukan amandemen UUD 45 untuk menyempurnakan tatanan republik ini sehinga lebih demokratis, berkeadilan dan beradab. Jangan ada lagi penjajahan gaya baru baik oleh bangsa kita sendiri maupun bangsa lain, berupa penjajahan ekonomi, hukum maupun lainnya atas nama globalisasi. Mari kita wujudkan kata merdeka dalam tindakan, bukan sekedar teriakan yang hanya enak didengar namun tidak ada implikasinya dalam mensejahterakan rakyat. Hidup rakyat Indonesia yang mampu merdeka dalam berpikir dan berpikir merdeka !!!!

Memotret masyarakat Indonesia yang diterlantarkan oleh negara ?

Dalam mengamati setiap perubahan politik yang terjadi di tanah air belakangan ini , ada sesuatu yang selalu pasti yakni ketidakpastian itu sendiri serta ketidakstabilan kondisi ekonomi dan keamanan yang selalu terkait dengan tingkat eskalasi konflik yang dilakonkan oleh para elit politik yang cenderung beku nuraninya dan haus kekuasaan seperti halnya vampire/ drakula yang selalu mencari darah segar untuk dihisap. Pertikaian antara pihak eksekutip yang dalam hal ini diwakili Presiden sendiri dan legislatip (DPR) yang dimotori poros tengah dalam kurun waktu yang relatip panjang sangat melelahkan serta memuakkan. Hal ini terkait dengan substansi yang dipertikaikan tidak ada relevansinya dengan usaha bangsa ini untuk keluar dari krisis dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Mereka, para elit politik yang bertikai mencoba memainkan peran sandiwara atas nama negara, bangsa dan rakyat, namun sebenarnya mereka cenderung sangat picik dan kerdil dalam wawasan kerakyatan karena yang mereka perjuangkan adalah kepentingan pribadi dan paling luas adalah golongannya, tanpa peduli akan resiko dan biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat miskin yang semakin dimiskinkan dan menderita akibat krisis yang ‘dibuat berkelanjutan’ oleh para penanggung jawab dan penyelenggara negara Saat ini sangat dirasakan adanya keterasingan antara yang mewakili negara dengan masyarakat warga yang dilayaninya. Seolah yang terjadi adalah adanya negara yang berjalan tanpa mengindahkan masyarakat dan masyarakat yang ditelantarkan oleh negara. Kondisi masyarakat kita saat ini seperti halnya anak yatim piatu, meskipun masih berbapak eksekutip dan beribu legislatip. Ketika antara ibu dan bapak bertengkar, yang paling merasakan penderitaan dan menjadi korban adalah anak itu sendiri. Anak yang dalam hal ini merupakan persofinikasi masyarakat, dibiarkan untuk bertahan dengan segala permasalahannya dan dibiarkan bergelut sendiri. Menjadi pertanyaan untuk kita adalah untuk apa ada negara kalau rakyat dibiarkan menderita dan yang sangat menyakitkan adalah penderitaan ini bukan disebabkan oleh ketiadaan / miskinnya sumber daya alam, melainkan akibat amburadulnya penyelenggaraan negara oleh para elit politik yang tak beretika dengan moralitas yang diragukan. Apa guna kita membayar pajak, kalau pajak yang masuk untuk pendapatan negara hanya dihambur-hamburkan untuk membayar politikus yang kerjanya hanya suka bertengkar serta lebih memikirkan untuk kepentingan sendiri dan bukan untuk kepentingan masyarakat ?

Sisdur versus gusdur

Saat ini kita dikaburkan dengan kata ‘konstitusional, institusional’ yang dianggap memenuhi sisdur (sistem prosedur) yang diperhadapkan dengan kata ‘demokratisasi’ yang cenderung melawan aturan yang mapan (gusdur = gusur prosedur). Kita sebagai masyarakat harus selalu mengkritisi ucapan politikus kita yang seringkali mengumbar ucapan ‘sesuai konstitusi’, karena kata-kata ini digunakan Orde baru untuk melanggengkan penindasannya. Orde Baru secara sistematis telah menyiapkan ‘perangkap konstitusi” untuk menekan laju proses demokratisasi dan menghabisi lawan-lawan politiknya. Undang-undang dan Peraturan pemerintah yang dibuat bertujuan untuk memberangus demokratisasi dan terwujudnya civil society (masyarakat madani). Dan kalau kita mau sedikit menoleh kebelakang perjuangan reformasi, maka sebenarnya turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan juga tidak memenuhi konsitusi alias tidak konstitusional. Soeharto turun karena adanya tuntutan dan desakan masyarakat pro reformasi yang dimotori oleh mahasisiwa yang dengan gagah berani memposisikan dirinya sebagai pembela rakyat dan langsung berhadapan dengan kekuasaan yang korup, sentralistik, otoriter serta militeristik. Kekuatan yang dimotori mahasiswa mampu menjungkirbalikkan semua tatanan konstitusi yang cenderung disalahgunakan untuk kepentingan penguasa. Disamping itu gerakan moral yang dimotori mahasisiwa mampu mematahkan asumsi para pengamat politik bahwa tanpa bekerja sama dengan militer (ABRI waktu itu) seperti halnya gerakan Angkatan 66, tidak akan mampu menumbangkan Soeharto dan kroni-kroninya. Terlihat dari episod reformasi, ternyata perjuangan yang dilandasi kebenaran, memihak rakyat, serta berdasar kesadaran kritis yang dilandasi akan rasa nasionalisme yang benar dan luas yang dimotori mahasiswa mampu menjadi lokomotip yang menarik rangkaian gerbong demokrasi untuk mewujudkan masyarakat madani yang dikenal dengan Indonesia Baru (asal tidak mengikuti Orde baru). Namun sayang dalam perjalanan reformasi, proses demokratisasi telah direcoki dengan pertentangan antara eksekutip dan legislatip yang tidak mendasarkan pada kebutuhan rakyat, namun justru memasalahkan hal-hal yang tidak substansial dan tidak strategis seperti misalnya pemulihan ekonomi rakyat, maupun keutuhan bangsa. Kita dijebak dalam permainan pansus “Bruneigate dan Buloggate” yang nota bene tidak seberapa nilainya dibanding dengan kasus BLBI yang memakan ratusan trilyun rupiah uang negara, maupun “ORBAGATE” dengan KKN nya yang telah membangkrutkan negara menuju krisis yang berkepanjangan. Harus dicermati dalam setiap pilihan maupun dukungan, agar kita tidak terjebak dalam permainan kata para politikus sehingga kita tidak menyesal telah mendukung kelompok ‘serigala berbulu domba’.

Sakralisasi vs desakralisasi

Orde baru yang merupakan lambang status quo telah menerapkan secara sistematis dan berhasil proses sakralisasi lembaga kepresidenan dengan Peresiden sendiri sebagai pusatnya sehingga seolah-olah tidak gampang didekati dan dijangkau oleh masyarakat. Meskipun Indonesia merupakan negara bebentuk republik dan negara hukum, namun dalam pelaksanaan menerapkan perilaku sebuah kerajaan yakni neo feodalisme, otoriter sehingga mengasingkan pejabat dari rakyat yang dilayaninya. Mentalitas pejabat saat itu (mungkin juga masih sampai saat ini) adalah mentalitas bangsawan yang harus dilayani oleh abdinya yakni raktyat jelata/ kawula alit dan kata-kata pejabat adalah sabda pandita ratu yang artinya rakyat harus tunduk dan patuh pada perintah dan kemauannya. Republik tidak diartikan sebagai Res publica yang artinya kedaulatan ditangan rakyat dan untuk kepentingan umum, melainkan diplesetkan menjadi ‘daulat tuanku’. Dalam era kepresidenan Habibie dan Gus Dur, maka terjadi gusdur (gusur prosedur) yang mencoba mendesakralisasikan lembaga kepresidenan. Bagaimana saat kita melihat Habibie dengan gayanya yang santai diwawancarai oleh Yosua si penyanyi cilik, juga bagaimana Gus Dur dengan ‘coffe morningnya’ di istana serta disetiap sehabis solat Jumat mencoba berinteraktip dengan masyarakatnya. Kalau dijaman Orba pejabat harus berbusa-busa dalam berpidato dengan waktu yang lama dan membosankan, maka tampilan pidato pejabat di era reformasi menjadi lebih singkat, padat, dan berisi.

Elitis vs kerakyatan

Di jaman Orba, rakyat dimarginalkan perannya melalui perangkat hukum yang dibuat dan kedaulatan rakyat dipindahkan wewenangnya ketangan elit politik. Elit politik mengatasnamakan rakyat dengan sekehendak hati tanpa dapat dikontrol, telah melakukan kontrol yang luar biasa intervensinya kedalam setiap pribadi warga negara dengan peraturan ijin yang ketat termasuk dalam kegiatan berkesenian (pementasan theatre, pameran lukisan, seminar dll), memobilisasi massa tanpa partisipasi. Kata-kata partisipasi telah disalah artikan dengan pengertian dilibatkan, padahal partisipasi mengandung arti adanya proses pemberdayaan, kontrol dan pengambilan keputusan oleh rakyat. Begitu banyak kaum politisi sebagai kaum elit mengatasnamakan rakyat telah membuat kebijakan yang tidak populis dan cenderung menyengsarakan rakyat, namun kita sebagai rakyat hanya dapat melongo, terkaget-kaget, geram, marah dsb. Contoh yang aktual ketika PAD NTT sebanyak 48 % diambil untuk anggota DPRD Tk I NTT, Undang-undang tentang lalu lintas , maka banyak protes dari masyarakat yang merasa dirugikan, demikian pula kebijakan kenaikan harga BBM, telepon, listrik, sembako dll hanya cenderung sepihak dan kita sebagai masyarakat harus mau tidak mau menerima kebijakan tersebut. Kita sebagai rakyat tidak ada peluang dan kesempatan untuk menggunakan hak kita, termasuk mengontrol pihak penyelenggara negara karena memang belum dibuat mekanisme yang memungkinkan rakyat terlibat aktip dalam diskusi di tataran wacana maupun dalam pengambilan keputusan. Paling banyak kita hanya dapat menggunakan instrumen seperti PTUN untuk menggugat kebijakan yang sudah terlanjur dikeluarkan.
Sudah saatnya kita sebgai rakyat untuk tidak lagi sepenuhnya menggantungkan usaha pemakmuran bangsa kepada kaum elit politik yang semakin sulit diatur, dikendalikan dan merasa bahwa negara adalah miliknya dan mati hidupnya rakyat tergantung pada dirinya. Para elit politk melupakan hal yang hakiki yakni negara Indonesia ada dan merdeka karena perjuangan rakyat, dan bukan hanya perjuangan segelintir elit. Bapak pendiri bangsa kita yakni Soekarno dan Mohamad Hata karena kondisi yang ada dengan bersusah payah mengambil resiko yang besar untuk atas nama rakyat menyatakan merdeka dan alangkah ironisnya ketika elit politik sekarang lebih mementingkan kepentingan mereka daripada kepentingan keselamatan bangsa Indonesia. Pada kesempatan era reformasi yang krusial ini kita sebagai rakyat jangan mau lagi dijebak dalam kalimat ‘atas nama rakyat’ maupun dalam permainan kotor para elit politik yang haus kekuasaan. Percuma mengandalkan mereka yang masih menggunakan paradigma lama yakni politik untuk kekuasaan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaannya, termasuk mengorbankan rakyat yang dilayaninya dan belum mau menggunakan paradigma baru yakni politik untuk kesejahteraan rakyat yang mendasarkan pada etika, moralitas yang bersih dan mempertanggungjawabkan kepada rakyat serta Tuhan.
Mari kita bangun bersama mekanisme dalam sistem ketatanegaraan kita yang memberi kesempatan dan ruang kepada rakyat untuk berdaulat dan menggunakan hak-haknya, termasuk hak mengontrol para elit politik kita saaat ini yang cenderung menyerupai drakula yang tidak mendasarkan perilaku politiknya pada etika moral Panca Sila, melainkan hanya melakukan permainan pencak silat politik yang melelahkan, boros, membosankan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan baik kepada rakyat yang dilayani maupun kepada “Sang Pencipta & Pengatur Kehidupan”.

PEMBERDAYAAN ATAU PEMERDAYAAN POLITIK RAKYAT ?

Masih segar dalam ingatan kita, ketika Mei 1998 para pahlawan reformasi yang sebagian besar dari kalangan mahasiswa harus mati muda dalam mengamanatkan suara hati nurani penderitaan rakyat dengan tertembus peluru oknum aparat ABRI/POLRI (waktu itu) yang ironisnya dibeli dengan uang rakyat atau melalui dana yang diperoleh dari hutang luar negeri atas nama keamanan dan perlindungan untuk rakyat. Mahasiswa saat itu bergabung dengan kelompok lainnya seperti LSM, akademisi, dan rakyat bertekad berjuang sendiriran melawan kekuasaan yakni pemerintahan rejim Soeharto yang memanipulasi ABRI yang seharusnya sebagai alat negara, namun disalahgunakan menjadi alat kekuasaan untuk melakukan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri, sementara semboyannya adalah ABRI Manunggal Rakyat. Tidak seperti saat era 66, ketika mahasiswa bergandengan secara mesra dengan ABRI untuk mengganyang issu komunisme, maka pada 1998 adalah tahun yang sulit bagi warga sipil dalam menyuarakan tuntutannya.

Butuh berapa Presiden untuk demokrasi ?

Ketika Ir. Soekarno muda melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda, terlihat betapa gagah perkasa dan menggelegar gelora semangat yang ditimbulkan oleh pidato maupun tulisan yang sempat disebarluaskan. Masyarakat yang sebelumnya cenderung bersikap apatis dan masa bodoh dalam era kolonial dibuat sadar akan keterbelengguannya dari kemiskinan, kebodohan dan penderitaan yang tiada berujung akibat adanya penindasan secara sistematis dengan adanya penjajahan Belanda. Puncak dari keberhasilan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia tercapai ketika dwitunggal Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaaan Indonesia.
Namun dalam perjalanan, sejarah mencatat Soekarno jatuh atau tepatnya dijatuhkan dengan tuduhan terlibat G 30 S/PKI meskipun belum dibuktikan secara hukum di pengadilan . Namun yang dapat terlihat sangat beda dalam perjalanan sejarah adalah antara Sokerno muda yang energik, idealis dengan Soekarno tua yang cenderung otoriter dengan terbukti mundurnya Hatta dari tampuk kekuasaan sebagai Wakil Presiden.
Maka setelah peristiwa G 30 S/PKI, naiklah Soeharto menggantikan posisi Soekarno sebagai orang kedua sebagai warga negara Indonesia yang berhasil menjabat Kepala Negara sekaligus Presiden. Setelah malang melintang dalam kesewenangan selama 32 tahun tanpa dapat dikontrol oleh DPR/MPR yang mewakilki rakyat, maupun oleh rakyat sendiri melalui kritik, karena setiap orang yang kritis akan ditahan dan juga pers yang kritis akan diberangus. Rakyat meskipun berteriak lantang menentang ketidakadilan yang dibuat oleh pemerintahan ORBA, namun dengan tiadanya sistem dan mekanisme kontrol langsung dari rakyat dalam berpartisipasi menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa dan melayani rakyat, maka semua yang ada hanya sampai pada sebatas retorika, dan hukum dipermainkan oleh uang dan kuasa dan tidak menyuarakan keadilan maupun tidak berpihak pada kebenaran (meskipun secara relatip). Suara rakyat terbungkam oleh penguasaaan kontrol terhadap media massa baik cetak maupun elektronik yang dilakukan pemerintah, sistem intelejen sampai tingkat desa sehingga terciptalah pemerintahan yang terlalu kuat, cenderung menjadi sewenang-wenang dan berpusat pada Soeharto sehingga menimbulkan mimpi buruk yang berkepanjangan selama 32 tahun dan masih berimbas sampai saat ini. Hutang luar negeri yang menumpuk dalam jumlah ratusan trilyun rupiah, pengurasaan SDA yang melampaui ambang batas kerusakan lingkungan, rusaknya tatatan moralitas, budaya dan nilai-nilai ketimuran merupakan akibat dari tiadanya pemberdayaan politik rakyat karena sistem massa mengambang (floating mass) serta tiadanya saluran kontrol yang dapat dilakukan oleh rakyat. Orde Baru yang pada awal pemerintahannya menyatakan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen, ternyata dalam perjalanan sejarah juga mencatat lembaran hitam seperti pendahulunya yang digantikannya. Pemerintahan Soeharto mampu bertahan 32 tahun karena ditunjang oleh tiadanya sistem dan mekanisme yang memungkinkan rakyat mendapat akses informasi yang benar, tidak menyesatkan serta mampu melakukan kontrol baik terhadap eksekutip, legislatip, maupun yudikatif. Dibawah ORBA, legislatif menjadi juru stempel serta loyo, sedangkan yudikatif menjadi macan ompong tak bertaring yang tidak lagi mengabdi pada keadillan tetapi pada kekuasaan dan uang. Dan puncak kemarahan rakyat tercapai ketika mahasiswa didukung oleh sebagian rakyat yang pro reformasi dan sudah muak melihat kebobrokan sistem pemerintahan yang ada mampu mendesak MPR untuk menurunkan Soeharto sebagai Persiden.
Maka naiklah Habibie yang saat itu menjabat Wakil Presiden sebagai orang ketiga yang berhasil menduduki kursi kepresidenan. Habibie yang dikenal sebgai seorang teknolog yang jenius, ternyata tidak mampu menahan lajunya kebohongan dan KKN, dan bahkan ikut sebagai pelaku dari kebohongan terhadap publik, meski dalam pemnerintahannya sempat menghasilkan produk UU dan PP yang dijiwai semangat reformasi. Pemerintah dibawah Habibie ternyata telah menggelembungkan hutang luar negeri Indonesia atas nama rakyat hanya dalam hitungan ratusan hari tanpa DPR/MPR dan rakyat dapat mengontrolnya. Maka tumbanglah pemerintahan transisi Habibie, meski telah didukung tim sukses diantaranya DR. Marwah Daud yang sampai menangisi kekalahan Habibie serta munculnya suara Sulawesi Merdeka akibat kekalahannya.
Maka melalui pemilihan oleh anggota MPR & DPR hasil Pemilu 1999 yang dikatakan paling jujur, bersih dan demokratis, terpilihlah Presiden Abdurahman Wahid sebagai orang keempat yang berhasil menduduki kursi kepresidenan setelah hampir 54 tahun Indonesia merdeka. Terpilihnya Gus Dur merupakan hasil rekayasa poros tengah yang menolak calon presiden seorang wanita. Abdulrahman Wahid dikenal sebagai tokoh forum demokrasi yang ingin menegakkan demokrasi di Indonesia, telah membiarkan pers bebas menjalankan fungsinya tanpa kontrol dari pemerintah, juga membiarkan suasana untuk bebas menyuarakan pendapat, menuntut hak sebagai warga negara, menfungsikan pemerintah hanya sebagai fasilitator, namun terpaksa harus meninggalkan istana karena dijatuhkan melalui “proses konstitusi” yang memperlihatkan adanya konspirasi tingkat tinggi dalam MPR dan DPR melalui pembentukan Pansus Buloggate, Memo I, Memo II dan puncaknya di Sidang Istimewa. Dan sekali lagi terlihat komponen pro reformasi maupun rakyat kebanyakan tidak dapat berbuat apa-apa serta tidak mampu mengontrol ketika melihat perilaku eksekutip dan legislatip saling berseteru selama hampir 6 bulan lebih dan menghabiskan energi yang tidak terkira, serta kerugian material yang tak terhitung jumlahnya akibat anjlognya nila tukar rupiah terhadap dolar US. Terlihat dalam perseteruan tersebut menggambarkan betapa lihainya para elit politisi kita bermain akrobatik politik seperti yang dilakukan pros tengah, Matori abdul Djalil dkk. Mereka selalu berkata lantang memperjuangkan kepentingan rakyat, namun rakyat sebenarnya juga tahu bahwa substansi perjuangan mereka tidak menyentuh sama sekali kepentingan rakyat, dan hanya kepentingan partai maupun kelompoknya atau lebih tepatnya demi memperebutkan kekuasaan semata. Politik kita masih diwarnai kekerasan, baik dalam kata-kata/pernyataan, maupun dalam tindakan yang terbukti dengan aksi para elit poltisi yang menggerakkan masa pendukung sehingga dapat memicu konflik horisontal. Sekali lagi ini semua membuktikan bahwa kedaulatan sudah tidak berada lagi ditangan rakyat namun berada di DPR dan MPR karena kita sebagai rakyat lupa untuk menciptakan sistem dan mekanisme kontrol langsung terhadap perlilaku DPR/MPR yang cenderung partisan, arogan, dan tidak menyuarakan kepentingan reakyat, namun lebih mengedepankan perebutan kekuasaan. Bukti lain lagi yang menunjukkan tiadanya kedaulatan di tangan rakyat adalah tidak dijalankannya UUPA yang sudah diundangkan sejak ORLA, terutama land reform yang sampai saat inipun masih jauh dari harapan. Bahkan di jaman ORBA, hak atas tanah adat/ulayat diambil dan dijadikan tanah negara serta dibagikan kepada para konglomerat baik dalam bentuk HPH maupun HGU yang luasannya cukup aduhai . Terjadilah proses marginalisasi masyarakat yang hidup dan berada diseputar lokasi Sumber daya Alam (SDA) yang diambil alih oleh negara dan dibagikan pada konglomerat pencuri. Masyarakat sekitarnya semakin terdesak dan bahkan diusir keluar dari tanah leluhurnya yang telah didiami secara turun temurun. Maka kerusakan SDA atas nama pembangunan menjadi sah hukumnya dan peristiwa yang sangat memalukan kita sebagai bangsa yang besar dan beradab adalah ketika terjadi pembakaran hutan yang sangat luas di Sumatera dan Kalimantan yang mampu mengekspor polutan berupa asap ke negara tetangga sehingga Indonesia dikenal sebagai negara yang tidak peduli pada pelestarian lingkungan. Usaha untuk menyuarakan ketidak adilan, penindasan serta melakukan perubahan dari pemerintahan yang cenderung otoriter menuju pemerintahan demokratis selama masa ORBA selalu dilakukan oleh para pemuka agama yang kritis , politisi berhati nurani, kalangan akademisi, tokoh-tokoh kritis seperti Petisi 50 , LSM , seniman seperti Iwan Fals, Rendra dkk, namun penguasa ORBA selalu berlindung dibalik kata “konstitusional” dengan menciptakan seperangkat UU yang dapat melanggengkan penguasaannya dan ditambah dengan tiadanya sistem dan mekanisme kontrol dari rakyat terhadap eksekutip, legislatip maupun yudikatip, maka kehidupan kenegaraan kita menjadi compang camping penuh dengan KKN, dusta, fitnah, kekerasan dalam segala bentuknya, hutang luar negeri yang sangat besar dll selama 32 tahun. Kita sebagai sebuah bangsa seperti tersihir secara masal dan tidak mampu berbuat apa-apa meskipun didepan kita secara kasat mata melihat segala bentuk KKN, penyelewengan kekuasaan, dusta dsb. Bahkan lebih celaka lagi, orang-orang yang mempertahankan kejujuran sebagai nilai luhur kemanusiaan harus disingkirkan dari percaturan kehidupan. Maka yang sering kita jumpai adalah manusia yang berkarakter harimau namun berbulu domba. Anggota DPR yang kritis dan menyuarakan kebenaran direcall dan anggota DPR yang duduk manis namun tidak mampu berbuat apa-apa untuk memperjuangkan kepentingan rakyat masih dapat bertahan sampai akhir masa jabatannya dan kita sebagai rakyat yang diwakilinya tidak dapat berbuat apa-apa terhadap anggota DPR seperti itu. Paling banter kita hanya mampu menyanyikan lagunya Iwan Fals tentang wakil rakyat yang seharusnya merakyat, tidak tidur waktu sidang soal rakyat dst untuk sedikit mengobati kedongkolan hati kita. Dijaman reformasipun masih terjadi hal-hal yang lebih parah di DPR dan DPRD ketika mereka ditenggarai disuap dan melakukan permainan ‘politik uang’, namun keberadaan mereka tidak mampu direcall meskipun kita tahu bahwa oknum anggota DPR/DPRD telah melakukan ‘premanisme’ dengan kekuasaan yang ada ditangannya (yang diberikan oleh rakyat untuk mengontrol eksekutip) dengan modus operandi meminta angpao kepada pinpro maupun para kontraktor jika mereka tidak ingin dibeberkan penyelewengan yang dilakukannya dipersidangan dewan maupun dilaporkan ke polisi dan kejaksaan Ketika pers dan kelompok pro reformasi mengkritik tingkah mereka yang sudah tidak sesuai dengan jiwa reformasi, maka dengan pongahnya mereka para anggota DPR/DPRD akan mengatakan bahwa dirinya adalah wakil rakyat yang sah dan hanya partai yang dapat memecatnya. Tidak ada rasa pertangungjawaban secara moral kepara para konstituen pemilihnya dalam pemilu yang lalu, dan seolah–olah tidak ada kesinambungan hasil pemilu dengan DPR/DPRD sekarang. Jadi sebenarnya yang terjadi meski dalam era reformasi sekarang ini bukannya pemberdayan politik rakyat, namun pemerdayaan kedaulatan rakyat oleh oknum anggota DPR/DPRD.

Amandemen UUD 45, solusi yang strategis

Belajar dari kesalahan para mantan Presiden dan ulah oknum DPR/DPRD maupun MPR, maka sudah selayaknya kita sebagai rakyat harus terlibat akti dan berpartisipasi dalam proses amandemen UUD 45.Kita sebagai rakyat harus mengkritisi draft UUD yang baru, dan jika perlu kita secara bersama membentuk Komisi Konstituante untuk pembuatan UUD baru sehingga kita sebagai rakyat tidak kehilangan kedaulatannya karena mampu menciptakan ruang untuk partisipasi rakyat serta sistem kontrol dari rakyat baik terhadap eksekutip, legislatip maupun yudikatip sehingga tidak terulang kembali keputusan publik yang merugikan rakyat seperti misalnya putusan bebas untuk Tomy, Pansus Buloggate I, berbagai pungutan pajak yang besar kepada rakyat dll. Kita harus belajar dari Philipina dengan ‘people powernya’ yang mana Presiden baru yakni Cory Aquino mampu menghasilkan UUD baru yang lebih demokratis dan mampu membatasi kewenangan penguasa, serta mampu menyediakan ruang untuk partisipasi rakyat, sistem dan mekanisme kontrol dari rakyat terhadap penguasa dan hal ini terbukti sangat efektip ketika Presiden Estrada yang baru beberapa bulan berkuasa langsung dapat diproses di pengadilan ketika ditenggarai terlibat KKN dan kriminalitas, sehingga digantikan wakilnya. Mari kita secara aktip merumuskan bersama Draft UUD baru kita yang lebih berwajah kerakyatan, demokratis dan mampu menyatukan kita yang meskipun sebagai bangsa yang majemuk nanun dapat hidup rukun , damai dan berkeadilan. Semoga !!!!

Selasa, 09 September 2008

Menunggu tenggelamnya “Merah Putih di tiang Perahu retak bangsa” melalui disintegrasi dan konflik elit politik ?

Menyimak dan mengamati perkembangan politik ditanah air, terkadang menumbuhkan rasa sesak di dada karena timbulnya rasa iba, malu, pilu dan berbagai gejolak hati yang tak mampu terungkap dan terucap lewat kata. Alangkah menyedihkan kondisi perpolitikan kita saat ini, yang sebenarnya dikemudikan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas intelektual yang tinggi (sebagian dari mereka adalah Doktor) maupun sebagai pimpinan umat (minimal mantan pemimpin), namun dalam kenyataan mereka begitu hobi berkonflik satu dengan yang lain. Mereka, para pimpinan politik seolah-olah berlaku sebagai petinju seperti halnya Mike Tyson, yang siap bertarung dengan siapa saja asal memperoleh bayaran yang tinggi. Memukul lawan mainnya bagi Tyson adalah rejeki, dan keterjungkalan lawan mainnya berarti kemenangan bagi dirinya serta mengukir prestasi dunia yang akan dielu-elukan para penggemarnya. Jika perlu untuk memenangkan pertandingan perlu “bermain cantik” dengan menggigit telinga lawan mainnya. Padahal menurut masyarakat, menggigit telinga seseorang adalah tindakan tidak terpuji dan kejahatan kriminal kekerasan. Para elit politisi kita saat ini telah berlaku seperti halnya petinju yang hanya melihat pihak yang berbeda adalah lawan yang harus dirobohkan, menjadikan negara sebagai tempat/ ajang ring tinju dan masyarakat menjadi suporternya.

Etika politik diabaikan

Inilah wajah perpolitikan Indonesia yang dimainkan oleh orang-orang pintar, cerdas, namun kurang berwawasan kebangsaan, kurang bersikap kenegarawanan dan senang menggunakan berbagai rekayasa politik, memainkan rasa etnis, suku, keagamaan secara berlebihan. Agama ditarik kebawah menjadi lebih rendah nilainya dan cenderung dipolitisir, sehingga agama yang menjadi tuntunan hidup yang sakral telah dibelokkan hanya untuk merebut maupun mempertahankan kekuasaan. Sentimen agama mulai dibangkitkan diantara pengikutnya dan benturan elit politik tingkat vertikal berubah menjadi bencana bagaikan air bah ketika ditarik ketataran horizontal. Sebagian masyarakat kita yang dalam kondisi terengah-engah mempertahankan hidup bagaikan orang yang menunggu ajal dengan napas yang tinggal satu-satu akibat krisis multi dimensi, ternyata kondisi tersebut sama sekali tidak mampu menggugah sense of crisis para pemimpin politik kita untuk lebih mengedepankan kepentingan rakyat banyak daripada hanya melakukan perebutan kekuasaan. Hati nurani dan kepekaan sosial kemanusiaan mereka telah sirna dan digantikan kepongahan akan kekuasaan, baik di eksekutip, legislatip maupun yudikatip. Para politisi menjadi buta dan tuli hatinya, meskipun bangsa ini telah diberi sinyal tanda jaman dari “Sang Pencipta” melalui berbagai bencana baik bencana alam (gempa bumi, banjir, angin topan, longsor dll) maupun bencana politik (Aceh, Sambas, Sampit, Ambon, Poso, Papua dan kota mana lagi yang akan menyusul ?) Masih kurang banyakkah korban-korban anak negeri yang tidak berdosa namun harus meregang nyawanya hanya karena mereka hidup bukan di tanah kelahirannya, meskipun tanah yang didiami masih termasuk tanah airnya yakni Indonesia ? Salahkah mereka yang berstatus sebagai pendatang ingin menggapai kehidupan yang lebih baik di tanah orang, namun masih dinegeri sendiri melalui transmigrasi baik oleh pemerintah maupun atas kehendak sendiri? Salahkah penduduk lokal yang marah karena tidak diberi peran dan dipersiapkan sejak awal dengan perlakuan khusus oleh pemerintah ORBA maupun Orde Reformasi untuk mampu bersaing di alam pembangunan sehingga mereka saat ini hanya menjadi penonton pembangunan didaerah kelahirannya sendiri ? Salahkah warga lokal yang merasa keadilan hanya sebuah retorika, karena mereka harus terus menerus hidup susah dengan ekonominya yang ‘lemah lembut’, tergusur dari tanahnya, diperlakukan dengan kekerasan, sementara para pendatang menguasai berbagai bidang strategis baik di pemerintahan, ekonomi, maupun politik ? Siapakah sebenarnya pemilik bumi yang kita diami ini ? Bukankah Tuhan menciptakan bumi untuk didiami manusia dari berbagai suku bangsa untuk saling mengenal dan menyempurnakan satu dengan lainnya ? Lalu jika terjadi konflik seperti saat ini, menjadi tanggung jawab siapa, salah siapa, dan dosa siapa ? Jangan kita bertanya pada rumput yang bergoyang seperti lirik yang dilantunkan Ebiet karena goyangan konflik ini mampu mengkoyak perahu bangsa Indonesia yang telah retak dan tinggal menunggu tenggelam dihantam krisis multi dimensi dan konflik elit politik dan meruntuhkan “Merah Putih “ yang dikibarkan diatas perahu kita. Apa yang harus kita lakukan bersama-sama untuk menyelamatkan perahu retak Indonesia akibat tidak digunakannya etika oleh para elit politik kita baik semasa ORBA maupun sekarang ini ? Mampukah kita yang berada jauh dari pusat kekuasaan (Jakarta) menyuarakan keprihatinan dan litani kesengsaraan para pengungsi, kaum pinggiran, sopir angkutan umum yang diperas preman, buruh-buruh kecil, para penganggur yang kebingungan mencari kerja dan menanggung beban ekonomis dan psikis, dan mereka semua rakyat kecil yang seharusnya diberi perlindungan dan diringankan penderitaannya, namun dalam kenyataan hanya diabaikan dan dipandang sebagai pelengkap penderitaan dari sebuah pembangunan bangsa yang mengaku berbudaya dan beradab ? Mungkin para politisi jika ditanya tidak akan lupa dengan kelima sila PancaSila sebagai sebuah hapalan, namun sebagai perwujudannya banyak elit politik yang sudah melupakan makna hakiki dari setiap sila yang menjadi falsafah bangsa, yang mengikat kita semua sebagai sebuah bangsa yang mengaku besar namun kerdil dalam menyikapi krisis multi dimensi yang kita alami bersama.

Kompromi politk melalui rekonsiliasi

Kata rekonsiliasi telah menjadi kosa kata yang kita kunyah dan telan setiap hari seperti halnya makanan yang harus kita makan kalau kita ingin tetap sehat, bugar, dan melakukan aktivitas “memuliakan Sang Pencipta” melalui hasil kerja kita dalam keseharian. Ketika kita menyadari bahwasanya kerja bukan hanya untuk memenuhi “kebutuhan jasmani”, namun juga memenuhi kebutuhan akan ‘makanan rohani’ , maka kita perlu menanyakan kepada diri kita sendiri, apa sumbangan kita sebagai anak bangsa / negeri yang sedang melihat kondisi bangsa yang mengalami kesakitan luar biasa untuk mengurangi rasa sakit yang dihadapi bersama ? Maukah kita memulai dari lingkungan yang terkecil yakni keluarga batih untuk melakukan rekonsiliasi diantara anggota yang berseteru menuju kompromi untuk membangun kesatuan keluarga ? Jika hal ini terus dapat dilakukan berjenjang sampai tingkat bangsa sebagai sebuah keluarga, maka akan mendorong para elit politik untuk kembali menumbuhkan rasa malu dalam dirinya, sehingga mereka meyadari akan ‘ketelanjangan ambisi kekuasaannya’ yang mengorbankan rakyatnya. Mari kita suarakan secara lantang dan bersama-sama akan kebosanan dan kemuakan kita terhadap perilaku elit politik yang sudah tidak lagi berbusana etika politik dan nilai-nilai luhur warisan budaya leluhur kita. Pemimpin yang demikian seharusnya tidak lagi pantas memimpin negeri (yang indah dengan sejuta pulau, bhineka tunggal ika, kaya akan nilai budaya dan SDAdll), dan sebaiknya dinatara mereka melakukan kompromi politik melalui rekonsiliasi total, dan menyerahkan kepemimpinannya pada politisi muda yang etis , berwawasan kebangsaan, kenegarawanan, dan bermoral tinggi demi kepertingan rakyat.

Suksesi politisi muda

Setelah melakukan kompromi melalui rekonsialisi total, minimal keempat tokoh yang dianggap tokoh nasional ini sebaiknya berkompromi untuk memilih sekumpulan politisi muda dari 200 juta rakyat Indonesia yang terbebas dari kontaminasi KKN ORBA maupun rejim reformasi yang gagal mengemban amanat reformasi. Biarlah suksesi kepemimpinan nasional tidak ditandai dengan kekerasan, korban jiwa yang tak perlu, bencana politik yang akan semakin menyusahkan rakyat. Beri kesempatan kepada sekumpulan politisi muda ini untuk menyiapkan pemilu yang dipercepat dengan sistem pemilihan langsung yang jujur, demokratis dan terbebas dari money politic. Diharapkan yang tampil sebagai pemenang adalah seorang Presiden muda usia sehat jasmani dan rohani namun penuh dengan kearifan dan kebijaksanaan, Ketua MPR yang masih muda usia namun sangat memperhatikan kepentingan rakyatnya seperti halnya tokoh pergerakan kemerdekaan kita dan Ketua DPR yang meski muda usia namun punya prinsip bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat dan aspirasi rakyatlah yang disuarakan, bukan aspirasi golongan, apalagi membangun konspirasi politik yang tidak sehat dan malakukan money politic yang tidak etis. Kata orang bijak, jumlah usia tidak menentukan bijaksana atau tidaknya seseorang, melainkan hati nurani yang jernih, kejujuran, kecerdasan, solidaritas sosial yang tinggi, religiositas tinggi yang memandang jabatan pemimpin sebagai amanah, mau melayani dan mempertanggungjawabkan hasil kepemimpinannya kepada Sang Khalik. Kita tunggu munculnya pemimpin muda yang cerdas, berbudi luhur, bijaksana, mempunyai wawasan luas yang mampu membawa Indonesia kearah masyarakat madani yang demokratis, beradab, berbudaya, berkeadilan dan sejahtera lahir batin. Mari kita kepakkan sayap-sayap kita yang meskipun patah namun masih tetap mencoba untuk terbang menggapai tempat tujuan, dan tidak berdiam diri menunggu tenggelamnya perahu retak bangsa bersama merah putih ditiangnya yang berbendera dan berkebangsaan Indonesia. Jangan lagi kita mengulangi kesalahan tenggelamnya kapal mewah ‘Titanic’, dimana ruang mesin telah kemasukan air, namun para penumpang elit, kaum borjuis yang diatas dek masih bermain musik sambil berdansa, dan tidak sempat lagi membangunkan anak kecil yang sedang terlelap tidur dan sedang bermimpi bahwa kapalnya telah merapat ke pelabuhan tujuan. Salam merdeka dari seorang anak negeri yang tidak berarti !!!


YBT. Suryo Kusumo

Salah seorang yang prihatin akan kondisi negeri.