Rabu, 05 November 2008

Masih ada dan perlukah “Pahlawan” di Indonesia sekarang ?

Setiap memasuki bulan Nopember kita selalu diingatkan akan arti pentingnya makna kepahlawanan, karena setiap tanggal 10 Nopember selalu diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Memang kita harus selalu “Jas merah” alias jangan lupa sejarah yang selalu mengingatkan dan menggambarkan betapa heroiknya “Pertempuran Surabaya “ dan semangat menggelora pantang menyerah dan berani mati dari para gerilayawan di seluruh wilayah Hindia Belanda yang menghendaki Indonesia Merdeka.

Namun dalam konteks kekinian, kita sebaiknya perlu mere-formula kembali pemaknaan dari sebuah kosa kata “Pahlawan”.
Di jaman modern yang penuh dengan hingar bingar keduniawian dan semangat materialistik dan hedonis yang menggebu di tanah air , ditambah dengan peniruan gaya yang tiada habis dari gaya hidup para borju yang eksklusif, apakah tawaran meneladani para pahlawan pendahulu kita masih akan tetap laku? Apakah keteladanan semangat kepahlawanan dari para pahlawan yang telah gugur mendahului kita mampu mengalahkan semangat mengikuti “Bento” seperti lagu yang didendangkan oleh Iwan Fals?

Mana yang lebih porno, ponografi atau korupsi ?

Polemik pro dan kontra yang menghabiskan energi yang terbuang percuma telah dipertontonkan oleh anak negeri dalam menyikapi proses pengesahan RUU Pronografi
Uji publik yang dilakukan dengan setengah hati justru memunculkan banyak dugaaan adanya agenda tersembunyi dari pemaksaan pengesahan RUU ini.
Yang menjadi pertanyaan besar bagi kita apakah dengan pengesahan UU Pronografi, akan membuat bangsa ini menjadi” lebih sopan” dan islami ? Atau jangan-jangan justru dengan adanya UU Pronografi akan memicu rasa kedaerahan yang berlebihan karena beberapa daerah yang minoritas baik dari sisi agama maupun budaya merasa tidak diakomodir alias dilecehkan keberadaannya dan pengesahan UU ini justru semakin mengaburkan atau bahkan menguburkan semangat kebhinekaan dalam kesatuan NKRI yang telah dibangun komitmennya oleh para pendiri bangsa sejak awal berdirinya republik ini. Atau memang tiada persoalan yang lebih besar dan lebih urgen dari sekedar masalah pornografi ?

Mana yang lebih porno, mereka para ABG yang memamerkan pusarnya atau para penguasa yang memamerkan kekayaannya dengan tidak tahu malu meski berasal dari hasil korupsi? Atau mana yang lebih porno, berjoget dengan memakai rok mini di dugem atau menikahi anak seusia SD yang lebih pantas jadi anaknya ?

Aneh memang ketika kita justru tutup mata terhadap persoalan bangsa yang lebih besar berupa korupsi yang sudah membudaya dan berurat berakar di seantero negeri dan lebih suka menyoroti tentang pornografi.
Sementara kita tahu akibat yang ditimbulkan dari perilaku korupsi yang serakah sangat luar biasa dan berdampak luas seperti meningkatnya kemiskinan, meningkatnya penderita busung lapar untuk anak balita, semakin banyaknya wilayah perkampungan kumuh karena semakin buruknya layanan publik yang lebih memihak kepada para pemodal besar, rusaknya lingkungan karena illegal logging dan pengalih-fungsian hutan serta berbagai usaha penambangan demi kepentingan bisnis pemilik modal besar semata sehingga mengakibatkan banjir dan tanah longsor yang banyak memakan korban rakyat jelata yang tidak tahu menahu permasalahannya.

Korban Lapindo, butuh pahlawan yang sebenarnya?

Kita juga dapat melihat bagaimana penderitaan korban Lumpur Lapindo yang kita semua tahu siapa gerangan pemiliknya yang tak lain adalah seorang pengusaha nasional yang sekaligus berperan sebagai pejabat negara. Kita dapat melihat dengan telanjang bagaimana konflik kepentingan tengah bermain dalam penanganan kasus Lapindo baik dari sisi hukum maupun politik. Banyak pihak yang sudah mencoba berjuang dalam rangka memenuhi rasa keadilan bagi korban lumpur Lapindo yang kehilangan harta benda dan penghidupannya, namun kekuatan politik dan uang telah bermain didalamnya sehingga layanan publik yang seharusnya berpihak pada rakyat yang menjadi korban justru berbalik arah menjadi ajang permainan yang menunjukkan sok kuasa dari politik uang yang kotor yang mampu membungkam kebenaran dalam jangka pendek namun tidak akan bisa membungkam kebenaran sejati yang suatu saat pasti akan terkuak seperti halnya kebusukan Orde baru dimana Golkar berperan sebagai mesin politiknya.

Saatnya dibulan Nopember ini kita semua merefleksi kembali apakah pantas rakyat yang menjadi korban Lapindo dibiarkan sendirian merana dalam penantian panjang dalam memperjuangkan hak-haknya akan ganti rugi yang tidak jelas , yang sebenarnya merupakan sebentuk pelanggaran HAM karena membiarkan rakyat kehilangan harta-benda yang dimiliki dan diperoleh dengan susah payah demi mencapai kesejahteraan dalam hidupnya? Lalu dimanakah para Wakil rakyat yang terhormat, para anggota DPD yang mewakili Jawa Timur, pengurus Komnas HAM yang sering lantang berteriak menyuarakan arti penting perlindungan HAM , juga para pemuka agama , para intelektual, aktivis LSM , wartywan dan media cetak dll ?

Apakah tidak ada pahlawan sebenarnya diantara kita yang mampu berbuat demi mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan sila ke-dua Pancasila yakni Kemanusiaan yang adil dan beradab yang telah dicabik-cabik oleh mereka yang mengaku seorang nasionalis?

Pedagang Kaki Lima (PKL) yang selalu saja teraniaya

Peringatan hari Pahlawan sebaiknya dijadikan momen bagi pelayan publik dan kalangan DPR/DPRD untuk kembali melihat modus operandi Satpol PP yang selalu saja “:mengaiaya dan mengejar-kejar” para PKL yang berusaha demi memenuhi kebutuhan hidupnya meski dalam suasana ketidakpastian. Mereka para PKL yang telah mempunyai jiwa bisnis dan telah mempraktekkannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sudah selayaknya memperoleh perlindungan dalam menjalankan usahanya dan difasilitasi untuk semakin berkembang, bukan sebaliknya harus berperilaku seperti tikus yang terus dikejar oleh kucing (Satpol PP) karena dianggap merusak keindahan kota, melanggar Perda dst. PKL perlu diberi ruang/ lahan yang strategis untuk berusaha , bahkan kalau perlu Pemda.Pemkab/Pemkot perlu mengalokasikan dana untuk membeli lahan strategis yang diperuntukkan bagi para PKL dalam menjalankan usahanya. Pilihan ekonomi yang dikembangkan sebaiknya merujuk pada Bapak pendiri Koperasi yakni Bung Hatta dengan ekonomi rakyatnya. Para PKL sudah selayaknya diperlakukan sebagai pembisnis dan investor dari republik ini. Mereka para PKL dapat dijadikan tulang punggung perekonomian bangsa, difasilitasi berbagai layanan bantuan teknis baik dari sisi finansial maupun manajemen bisnis serta diarahkan untuk menjadi pengusaha nasional skala besar.


TKI/TKW, Pahlawan devisa negara yang diabaikan

Kembali pada semangat pengorbanan, yang menjadi tantangan adalah bagaimana layanan publik kita semakin memperlakukan rakyat yang dilayaninya dengan lebih manusiawi, tidak justru memeras dengan berbagai kedok dan cara agar dapat tambahan pendapatan. Sudah banyak dikeluhkan bagaimana buruk serta korupnya layanan yang terkait dengan keimigrasian, perijinan dll yang dialami oleh pengusaha maupun para TKW/TKI.
Para TKW/TKI sepeti yang telah sering dilansir dalam media seringkali menjadi korban dari berbagai sindikat yang mencoba memeras mereka baik sejak saat perekrutan, keberangkatan, bahkan sampai kepulangannya kembali ke tanah air.
Membiarkan TKI/TKW sebagai warga negara yang tidak siap dan tidak terdidik untuk bekerja diluar negeri sebenarnya merupakan kesalahan besar bagi pemerintah kita karena berarti pemerintah dapat dianggap lalai atau melakukan pembiaran dari tanggung jawabnya untuk untuk melindungi warganya dari berbagai ancaman di luar negeri.

Kita seharusnya belajar dari negara maju yang begitu peduli terhadap keselamatan warganya terutama yang berada di luar negeri dengan memberi travel warning, menyiapkan sistem evakuasi bagi warganya dalam kondisi yang membahayakan jiwanya, dan berbagai perlindungan dan kemudahan lainnya.

TKI/TKW sebenarnya merupakan pahlawan meski tidak secara formal diakui, karena selain mencari lapangan kerja secara mandiri untuk dirinya, juga memasukkan dana sebagai devisa negara yang berarti ikut memperkuat struktur keuangan nasional.
Sama halnya dengan guru yang dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, TKI/TKW seperti halnya para jurnalis, aktivis LSM , aktivis lingkungan, aktivis HAM dll juga merupakan “Pahlawan Tanpa Tanda-tanda”.

Semoga semangat dan jiwa kepahlawanan dapat ditunjukkan dengan lebih menghargai mereka yang selama ini terpinggirkan seperti para TKI/TKW, para PKL, Pemulung dan laskar mandiri dll yang telah berjasa bagi pembangunan di republik ini.

Selain itu , juga dapat ditunjukkan dengan berbagai cara seperti tidak lagi melakukan KKN tetapi memberi keteladanan dalam kejujuran yang semakin langka dinegeri ini, tidak merusak lingkungan namun menyelamatkan dan melestarikannya, memberi senyuman yang ramah dan tumpangan kepada sesama atau bangsa lain yang kebetulan berkunjung kenegeri ini, tidak menebar teror atas nama apapun, berdisiplin dan ikut antre dalam memperoleh sesuatu serta tidak membiasakan memakai jalan pintas dengan kuasa dan uang, ikut menjaga kebersihan dengan tidak membuang sampah sembarangan serta mendidik anak-anak sejak usia belia untuk berdisiplin dalam membuang sampah , mengejar ilmu untuk kebaikan sesama, serta seribu satu jalan lain yang dapat ditempuh.


YBT Suryo Kusumo

tony.suryokusumo@gmail.com
http://www.adikarsa.blogspot.com/
http://www.adikarsagreennet.blogspot.com/

Tidak ada komentar: