Selasa, 16 Desember 2008

Memaknai NATAL secara beda, perlukah ?

Terjebak dan selalu terjebak lagi dalam romantisme lagu Natal dan berbagai pernak pernik hiasan Natal seperti kapas bertaburan di pohon NATAL yang melambangkan salju yang memutih menjelang setiap perayaan Natal yang jatuh pada 25 Desember, demikian kira-kira gambaran masyarakat kristiani saat ini.

Berbagai kenangan indah bernuansa NATAL bermunculan dan berkelebat dalam benak kita masing-masing dan kondisi semacam ini dilihat sebagai peluang bagi kalangan pembisnis. Pakaian baru, mainan baru, perabotan baru, perhiasan baru dan semuanya yang serba baru seolah-olah ingin menunjukkan kebaruan semangat hidup kita.

Namun ternyata meski semangat NATAL telah memasuki relung kehidupan kita saat ini, keberuntungan seringkali masih belum berpihak pada mereka yang lemah dan miskin.
Mari kita tengok kebelakang sejenak litani kepahitan hidup anak manusia di bumi tercinta Indonesia ketika media massa mengabarkan;

- kematian sia-sia banyak balita akibat busung lapar diberbagai penjuru Indonesia,
- orang tua yang memilih jalan bunuh diri dalam menyelesaikan problemanya namun sebelumnya tega meracuni anaknya sendiri karena alasan tidak tega melihat anaknya menderita,
- drama seorang penganggur yang terlunta-lunta di Jakarta sendirian dan akhirnya putus asa dan memilih bunuh diri dengan jalan loncat dari ketinggian sebuah bangunan rumah ibadah terkenal ,
- seorang pemuda yang frustasi karena tidak mampu membelikan obat untuk ibunya yang sedang sakit keras dan memilih loncat dari tower sebuah stasiun radio di Solo baru-baru ini yang berakibat kematian tragis,
- mereka para pekerja yang jumlahnya mencapai puluhan ribu bahkan diperkirakan mencaoai ratusan ribu yang telah dan akan kehilangan pekerjaan akibat PHK masal yang dipicu oleh krisis keuangan global,
- para korban Lumpur Lapindo yang masih harus berjuang untuk mendapat hak-haknya yang seharusnya dipenuhi pihak lapindo tanpa harus berdemo karena matinya rasa kemanusiaan para pimpinan Lapindo yang mengaku dirinya nasionalis namun tega membiarkan rakyat korban Lapindo sengsara dan mengemis suaka ke Kedubes Belanda,
- mereka para pedagang PKL yang tergusur dan tidak bisa berjualan lagi sehingga tidak ada lagi pemasukan untuk menunjang kehidupan keluarganya
- mereka para kaum miskin korban penggusuran maupun kebakaran yang kehilangan tempat tinggal dan harus rela menderita
- mereka para buruh yang rela dibayar murah karena tidak ada pilihan kerja lainnya
- para petani yang selalu saja susah mendapat pupuk untuk musim tanam padi dan harus membayar mahal sementara mereka harus menjual murah hasil panenannya
- kematian sia-sia para korban lalu lintas karena kecerobohan pengendara lainnya
- kematian sia-sia karena bencana banjir, longsor
- mereka yang harus hidup di kolong jembatan, bantaran kali dan daerah kumuh lainnya yang tidak layak untuk hidup dst

Menjadi refleksi untuk kita semua, mengapa sampai saat ini masih saja terus berjatuhan para korban yang sepatutnya tidak terjadi di negara yang mendasarkan pada Pancasila dan berkelimpahan sumberdaya alamnya ?
Mengapa perayaan NATAL yang kita peringati tidak mampu menjadi tonggak kelahiran solidaritas nyata yang mampu mengurangi jumlah korban yang menderita baik karena bencana alam, politik, kemiskinan, kesakitan dll ?

Solidaritas sejati, kemanakah ?

Memang problem bangsa yang besar ini tidak bisa diletakkan hanya dipundak kaum kristiani yang sebentar lagi merayakan Natal. Namun paling tidak hal ini bisa menjadi keprihatinan bersama kita sebagai kaum kristiani dan merupakan wujud rasa solidaritas sejati yang telah ditunjukkan dan diajarkan sendiri oleh Yesus yang mau solider dengan lahir dikandang hina di Betlehem sebagai pernyataan sikapnya yang mau bergaul dan mengangkat harkat dan martabat kaum hina dina.

Sudah layak dan sepantasnya kalau kaum kristiani yang kebetulan memiliki harta berlebih mau menyisihkan sebagian hartanya untuk misi kemanusiaan namun tidak dengan cara karitatif melainkan pemberdayaan. Alanglah indah jika para profesional kristiani mau berbagi kepandaian dan ketrampilannya secara gratis melalui berbagai cara seperti kursus singkat, mendirikan lembaga ketrampilan yang diperuntukkan untuk kaum papa dan anak jalanan.
Sudah selayaknya apabila momentum NATAL 2008, kita dilingkungan Gereja Katolik diajak merefleksi arah pendidikan yang difasilitasi oleh lembaga Katolik untuk tidak lagi fokus pada pendidikan formal yang hanya menciptakan banyak intelektual penganggur, meski mereka para siswa didik telah menghabiskan investasi berupa biaya pendidikan yang tidak sedikit jumlahnya.
Kalangan Konggregasi ataupun Ordo penyelenggara sekolah formal sebaiknya berpikir ulang dalam strategi mendidik anak bangsa sehingga alam kekayaan Indonesia bisa terkelola dengan baik demi meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat.

Contoh nyata adanya ATMI Solo yang mampu mendidik dan menghasilkan tenaga profesional di bidang permesinan, PIKA Semarang yang mampu menghasilkan para pengrajin meubel dengan kualitas tinggi, KPTT Salatiga yang mendidik para pemuda menjadi petani organik yang tangguh , akan sangat baik apabila bisa dilebarkan sayapnya ke daerah di Indonesia Timur sehingga mampu mencetak tenaga kerja profesional dibidang permesinan, perkayuan dan pertanian yang akan mampu memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah disekitarnya.

Peningkatan ekonomi umat yang miskin

Kiprah gereja Katolik dalam mendorong dan menfasilitasi pendirian CU/Koperasi Kredit atau lebih dikenal dengan Kopdit setidak-tidaknya telah membantu umatnya untuk lebih melek finansial dan mengetahui bagaimana bersikap tolong menolong melalui usaha simpan pinjam, hidup hemat bersahaja dan terencana sebagai wujud rasa solider diantara umat. Kopdit saat ini semakin meluas layanannya dan tidak hanya terbatas dikalangan warga gereja namun sudah lintas SARA sehingga dapat menjadi ajang untuk menumbuhkan solidaritas universal sebagai sesama umat TUHAN.
Melalui Kopdit diharapkan sikap eksklusip dapat digantikan dengan inklusip dan plural yang menghargai keberagaman sebagai anugerah dari Sang Pencipta.
Namun hal ini tidak cukup, karena untuk meningkatkan ekonomi umat terutama yang miskin perlu dibarengi dengan pendampingan lainnya seperti meningkatkan jiwa bisnis, menambah kemampuan manajemen usahanya dan memperluas jaringan kerja/networking. Disinilah peran dari umat lainnya yang telah sukses dalam berbisnis mau berbagi menjadi mentor bagi umat lainnya yang miskin yang kebetulan sedang merintis bisnisnya, sehingga diharapkan kemampuan bisnisnya meningkat dan mampu keluar dari kemiskinannya.

Para pemuka umat sebaiknya mulai secara strategis dan taktis mencari jalan bagaimana layanan yang dilakukan gereja dapat secara langsung meningkatkan perekonomian umat sesuai dengan potensi lokal yang ada.

Misal jika dilingkungan keuskupan terdiri dari umat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani maka layanan pastoralnya diharapkan dapat bersentuhan langsung dengan pertanian seperti misal pengembangan ternak sapi yang dipadu dengan wana tani dimana petani tidak perlu lagi membeli pupuk, cukup memanfaatkan kotoran ternak sapinya. Atau dapat pula mengembangkan tanaman kayu untuk jangka panjang karena selain bermanfaat secara ekonomis yakni berinvestasi, juga bermanfaat secara ekologis karena dapat mengurangi pemanasan global dan penghancuran hutan. Disamping itu gereja diharapkan dapat menfasilitasi penguatan organisasi petani menjadi kuat dan mampu mengakses pasar dengan melakukan pemasaran bersama sehingga possisi tawar umat yang kebetulan petani menjadi lebih kuat dan memperoleh harga jual dari hasil komoditinya secara layak.

Demikian pula jika kebanyakan umat menjadi nelayan, maka arah layanannya misalnya bagaimana organisasi nelayan menjadi kuat dan bersatu dalam emamsarkan hasil ikannya, bagaimana biaya sosial dapat dikurangi namun adat istiadat tetap lestari, bagaimana memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan pendapatan seperti teknologi budidaya rumput laut, melestarikan hutan bakau dst.

Dalam ikut menyadarkan arti pentingnya menjaga lingkungan dan menjadi petani yang maju, maka kurikulum pendidikan dipersekolahan katolik sebaiknya juga mengandung muatan bagaimana mengelola alam secara ramah namun mensejahterakan manusia yang tinggal didalamnya.

Dengan demikian meminjam istilah Romo Mangun, sebaiknya kita umat kristiani tidak menjadi bonsai yang enak dipandang namun kurang menghasilkan.
Kita coba secara kreatif memaknai NATAL secara beda dan tidak terjebak dalam romantisme sehingga diharapkan dalam merayakan NATAL tahun ini semua kegiatan yang kita lakukan mampu membuat perbedaan kearah yang lebih baik, tidak hanya disaat merayakan NATAL terlebih bagaimana sikap hidup dan habitus kita menjadi baru, bebas dari sifat yang melawan KASIH seperti iri hati, dengki, mudah marah, sombong/arogan, masih suka menyimpan kesalahan orang lain dan yang lebih penting bagaimana kesaksian hidup umat kristiani untuk bebas KKN dan ikut memberantas KKN secara aktip melalui karya nyata dalam keseharian. Semoga


YBT. Suryo Kusumo
tony.suryokusumo@gmail.com
www.adikarsagreennet.blogspot.com
www.adikarsaglobalindo.blogspot.com

Tidak ada komentar: