Rabu, 03 Desember 2008

Memilih pemimpin bijak di era otonomi, sebuah keharusan ?

Memilih pemimpin dinegeri ini bagaikan memilih kucing dalam karung atau mencari sebatang jarum dalam tumpukan jerami.
Kita dapat melihat dengan sesungguhnya kondisi nyata negeri saat ini dimana Presiden dan Wakil Presiden yang menjabat saat ini dipilih langsung oleh rakyat ( berarti memperoleh mandat penuh dari rakyat) namun ternyata hasilnya masih saja belum mampu mengubah wajah negeri ini seperti harapan rakyat kebanyakan.

Begitu sulitnya memperoleh pemimpin yang betul-betul berani menyuarakan dan mewujudkan kepentingan rakyat diatas segalanya.
Banyak para pemimpin yang sebenarnya tidak layak disebut pemimpin tapi hanya sebatas pimpinan. Atau yang lebih tragis kalau kata pemimpin telah kehilangan huruf terakhirnya sehingga tinggal menjadi ‘pemimpi’.

Kurangnya pendidikan leadership/kepemimpinan

Miskinnya stok pemimpin ditingkat nasional menjadi persoalan yang serius ketika seolah-olah diantara warga bangsa ini tidak ada lagi yang mampu memimpin negeri ini dan kelihatannya untuk memperoleh pemimpin kedepan hanya terbatas pada stok “pemimpin gagal” yang harus didaur ulang karena tiadanya pilihan
Seolah-olah dengan memilih “pemimpin daur ulang yang telah gagal “ kita yakin akan terjadi perubahan karena para pemimpin ini telah punya pengalaman sebelumnya, padahal tanpa mengubah strategi maka tidak akan terjadi perubahan yang berarti, apalagi jika jelas-jelas tiadanya keberanian dalam diri pemimpin untuk mengambil keputusan besar yang punya konsekuensi terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat .

Pendidikan leadershi/ kepemimpinan yang sangat terbatas untuk generasi muda, tiadanya mentor yang mau melakukan kaderisasi secara terencana dan terukur, praktek kuasa uang yang bermain disegala lini dan mengorbankan orang yang jujur namun penuh potensi sebagai pemimpin, terbatasnya media yang mampu menguji kepemimpinan anak muda dll telah menyebabkan minimnya stok untuk kepemimpinan nasional karena untuk menjadi pemimpin dibutuhkan persyaratan memiliki uang yang banyak untuk dapat menggapainya. Padahal kita tahu seorang yang dijadikan pemimpin melalui politik suap/uang dan nepotisme tidak akan teruji dan cenderung menyalahgunakan jabatan yang diembannya, baik itu terjadi di partai politik, organisasi profesi maupun di bidang lainnya.

Miskin keteladanan dalam keseharian

Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, begitu bunyi peribahasa.
Pemimpin yang korup akan meneladankan pada pemimpin generasi berikutnya bagaimana berperilaku dan bertindak sebagai pemimpin yang bangga dalam memamerkan kekayaannya meski dari hasil korupsi.
Tidak heran jika seorang bapak menegur anaknya untuk tidak merokok namun pada saat bersamaan dirinya juga sedang merokok, maka hilanglah power sebagai ayah/pemimpin rumah tangga.
Demikian pula gambaran yang ada di masyarakat, banyak diantara pemimpin bangsa ini termasuk dalam golongan “lain kata, lain perbuatan”. Mereka hanya manis di bibir, pandai beretorika, berwacana, menciptakan pencitraan positip namun hanya sebatas layaknya pemain sinetron yang akan habis masa tayangnya, berperilaku STMJ (Sembayang Terus Mencuri/Maksiat Jalan), Berdoa Sambil Berdosa dan masih banyak lagi berbagai bentuk kemunafikan luar biasa yang dipertontonkan oleh para pemimpin negeri ini.

Masih ada pejabat yang bangga dengan lencana garuda dan lambang merah putih yang terpampang didadanya , namun masih saja berperilaku arogan, primordial, feodal (tasnya masih dibantu dibawakan bawahannya ), menindas bawahan, menyalahgunakan fasilitas dinas untuk kepentingan pribadi (mobil dinas untuk antar anak ke sekolah dan istri belanja), menganggap rakyat adalah abdi atau pelayannya, berjalan dengan mendongakkan kepala, dst.
Padahal ketika disumpah jabatan, mereka berjanji akan melayani, menjadikan jabatannya sebagai amanah dan seribu satu janji yang sangat manis didengar.
Masih banyak pejabat yang bangga jika terlambat namun masih ditunggu masyarakat tanpa harus malu dan meminta maaf atas keterlambatannya, justru semakin lama terlambat seolah-olah semakin menunjukkan bahwa dirinya adalah orang yang penting, dihormati, disegani, punya jabatan sehingga layak dan pantas jika masyarakat rela menungggu dalam ketidak pastian akan kehadirannya.
Ironis memang jika pemimpin yang seharusnya melayani dan rendah hati serta menunjukkan integritasnya dengan salah satunya datang tepat waktu justru berperilaku sebaliknya.

Rekruitmen yang belum tersistem

“The right people in the right place” sudah sering didengar, namun dalam menetapkan pejabat publik masih banyak yang hanya mendasarkan pada unsur syubektivitas, kedekatan dll.
Meski sudah ada sistem “fit and proper test” namun masih banyak pihak yang mencoba mengakali sistem tersebut sehingga tetap terjebak bermain dalam kepentingan masing-masing dan meninggalkan unsur obyektivitas. Perekrutan yang tersistem demi menghindari suap, nepotisme dan subyektivitas seharusnya menjadi standar minimal dalam merekerut para pemimpin negeri ini tanpa terjebak dalam aroma SARA. Dengan sistem rekruitmen yang baik diharapkan akan tersaring pemimpin yang benar-benar punya jiwa kepemimpinan, berintegritas tinggi, punya kompetensi dalam bidang yang ditanganinya, sehingga berkontribusi nyata terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat.

Falsafah Ki Hajar yang dilupakan

“Ing ngarso sung tulodo, ing madya mbangun karso, tut wuri handayani, yang dalam terjemahan bebas menjadi “Di depan memberi keteladanan, di tengah membangun motivasi untuk berkehendak baik, dibelakang menyertai selalu ”

Inilah sebenarnya yang diharapkan dimiliki dan diterapkan oleh pemimpin negeri ini yang dapat menjadi teladan lewat satu kata satu perbuatan, penuh jiwa yang welah asih, merakyat, berani melakukan pengorbanan tanpa pamrih, menjadikan jabatan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan secara moral.
Namun dalam kenyataan masih banyak yang melihat jabatan sebagai ajang dan titik masuk untuk memperkaya diri sendiri secara hina namun nikmat melalui KKN dan sebangsanya, dan sayangnya banyak pemimpin yang kehilangan dan mati hati nuraninya, mati rasa dan menjadi tahu tetapi tak mau tahu alias melacurkan diri demi kekayaan yang bersifat sesaat namun sesat.

Semangat “Ora et Labora”

Kalau semua pemimpin negeri ini menyadari bahwa didalam doa ada karya dan didalam karya ada doa, maka pastilah tidak akan terjadi pemimpin yang arogan dan penuh KKN melainkan pemimpin yang berintegritas tinggi, menjunjung kejujuran dan nilai hidup lainnya.

Kalau semua pemimpin sadar akan hari pengadilan terakhir, maka pasti akan menjadikan jabatan sebagai jalan untuk berkarya demi kebaikan sesama dan meninggalkan kenangan yang indah untuk yang dilayaninya melalui karya nyata dalam meningkatkan kesejahteraan umum.

Kalau semua pemimpin sadar bahwa hidup didunia ini hanya sementara dan sebentar saja dimana keselamatan akhirat yang menjadi impian kita didasari perilaku baik kita semasa didunia, maka pastilah para pemimpin berlomba-lomba memberikan yang terbaik yang mampu diberikan selama kepemimpinannya, layaknya peribahasa “Harimau mati meninggalkan belang, Gajah mati meninggalkan gading”

Jadi sekali lagi hidup adalah pilihan, akankah kita menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan TUHAN kepada kita yang menamakan diri pemimpin bangsa ?
Semua berpulang kepada hati nurani dan tujuan hidup kita.


YBT Suryo Kusumo
tony.suryokusumo@gmail.com
www.adikarsa.blogspot.com
www.adikarsagrennet.blogspot.com

Tidak ada komentar: