Senin, 27 Oktober 2008

Spiritual versus Spirit-uang

Dalam kehidupan modern yang begitu cepat perubahannya, ternyata membawa konsekuensi yang luar biasa terhadap pemahaman akan arti penting menjalani sebuah proses yang dinamai kehidupan.
Dalam dunia kejiwaan , sesuatu yang mampu menggerakkan dari hati yang terdalam sering dikenal sebagai spiritual.
Bahkan kata spriritual sering dikaitkan dengan keyakinan beragama yang dikenal dengan spiritualitas.
Begitu pentingnya spiritualitas dalam kehidupan ini yang mampu menjadikan seseorang dengan gigih dan pantang menyerah menggapai sebuah impian untuk mewujudkannya dalam dunia nyata.
Spirit atau semangat , mampu menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang positip yang secara rasio/logis sulit bisa terjadi. Begitu kuatnya spirit para pejuang kemerdekaan untuk mewujudkan tekad “merdeka” sehingga mampu mengorbankan jiwanya dalam perjuangan heroik untuk memerdekakan bangsa dari penjajahan, kemiskinan, keterbelakangan, penindasan dan kesengsaraan yang seolah tiada berujung.
Semangat merdeka membuat para pejuang secara konsisten dan persisten tidak kenal lelah dan takut untuk menderita melalui jalan gerilya yang penuh onak dan duri untuk terus berjuang dengan segala keterbatasan dalam meraih cita-cita merdeka.

Namun setelah 63 tahun merdeka apakah spirit kebangsaan dan kemerdekaan tersebut masih ada dan melekat dihati sebagian besar rakyat Indonesia ? Apakah kita yang mengalami era kemerdekaan terutama generasi muda yang bergaya hidup modern, berkiblat ke hedonisme dengan segala pernik-pernik kehidupan “dugem” yang lebih memuja kenikmatan masih tetap dan terus mempunyai semangat kebangsaan ? Juga bagi para politisi Senayan apakah momen 100 tahun Kebangkitan Nasional mampu membangunkan dan mengembalikan spiritual berpolitik demi nasionalisme-inklusip untuk mensejahterakan rakyat Indonesia / konstituen yang diwakilinya sebagai wujud dari sila ke-lima Pancasila atau lebih memilih berpihak pada para pemodal yang membangkrutkan perekonomian nasional kita ?

Melihat bandul pergerakan politik yang terjadi akhir-akhir ini kelihatannya semakin menyakinkan kita bahwa para politisi dan penyelenggara negara secara tidak sadar maupun sadar telah tergadai atau menggadaikan negara ini pada kekuatan asing yang sudah menerobos ke relung terdalam dalam masyarakat kita dengan berbagai trik dimana tanpa sadar atau yang lebih parah lagi tanpa pernah mau tahu, mengakibatkan kesengsaraan bagi rakyat kecil yang memberi mandat kekuasaan pada mereka,.


Spirit-uang yang menggila

Masyarakat kita semakin materialistis dan memuja kebendaan secara berlebihan dan melupakan nilai-nilai luhur warisan pendahulu kita sehingga seringkali dalam setiap tindakan yang diambil mengabaikan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. Kita sering dengar dalam pembicaraan keseharian bagaimana kegiatan keseharian kita lebih dikendalikan dan didasari oleh UUD ( Ujung-Ujungnya Dana) . sehingga terjadi pemerasan berkelanjutan dimana hampir semua sektor kehidupan telah dijadikan komoditas yang diperjualbelikan.

Sangat disayangkan, sikap demikian telah menjerumuskan negara kedalam situasi yang rumit dengan banyaknya hutang, penawaran yang murah dari potensi dan hasil tambang kita, permasalahan sosial yang ditimbulkan dimana kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena mudahnya kita “dibeli” pihak asing dengan iming-iming memperoleh uang dalam jumlah banyak alias menjadi kaya mendadak tanpa perlu bersusah payah.

Spirit-uang telah mengalahkan spirit-solidaritas dimana atas nama ketertiban umum para petugas Satpol PP telah menunjukkan muka beringas tanpa rasa kemanusiaan mengobrak-abik asset/modal para pedagang UKM kaki lima yang dianggap telah memperburuk keindahan kota, mematikan mata pencaharian hidup keluarga mereka hanya karena mereka berdagang tidak pada tempatnya. Spirit-uang telah menyebabkan lahan-lahan komersial jatuh ke tangan pemodal kuat dan menyingkirkan para pedagang kaki lima yang punya spirit -wirausaha.


Nasionalisme vs kapitalisme

Dalam realita, tidak mudah mengedepankan kepentingan nasional dibanding kepentingan pemodal, karena seperti kita telah tahu, kekuatan pemodal (baik dalam negeri dan asing) telah masuk kerelung terdalam dari aktivitas bangsa kita dengan cara tersamar, terselubung dan tidak kasat mata dengan menggunakan tangan-tangan bangsa kita sendiri yang mau menjadi penindas terhadap bangsanya demi kehidupan yang penuh kemewahan. Apalagi kita sudah lama terninabobokkan dengan cara hidup yang memuja kenikmatan dan materialistis.
Lihat saja kasus Jaksa Urip, kasus Al Amin Nasution, kasus BLBI telah menunjukkan bagaimana berbagai sektor kehidupan bangsa menjadi sangat mudah untuk “dibeli” oleh kepentingan segelintir orang dan melupakan kepentingan rakyat.

Kasus privatisasi air, perebutan HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) oleh warga asing dimana banyak hasil kekayaan intelektual bangsa kita telah dipatenkan dan menjadi milik
asing semakin menunjukkan kelemahan bangsa kita menuju BERDIKARI.
Telah semakin nampak dalam kehidupan nyata di Indonesia dimana kedepan yang akan menguasai bukan lagi para politisi dan militer namun justru para pemodal alias pengusaha.

Dan kita bisa melihat bagaimana nasib para korban lumpur Lapindo yang terlunta-lunta di negeri sendiri dalam memperjuangkan hak-haknya ketika pemerintah harus berhadapan dengan pemodal yang sekaligus bertindak sebagai pejabat negara.

Pengusaha yang menjadi politisi tanpa kontrol yang kuat, akan menjadi penjahat kemanusiaan dan hal ini telah ditunjukkan oleh berbagai pemimpin didunia dimana pemimpin yang berasal dari kalangan pengusaha menjadi sangat serakah dan menyalah gunakan kekuasaannya untuk menumpuk kekayaan keluarganya.

Demikian pula kalangan pemimpin yang berasal dari non pengusaha kemudian berkolusi dengan pengusaha dan tanpa ada kontrol yang kuat akan sangat berbahaya seperti yang terjadi di Indonesia.


Kembali ke jati diri bangsa

Sudah saatnya spirit-uang yang terjadi saat ini digantikan oleh spiritual yang mendasarkan pada prinsip solider sebagai sebuah bangsa yang senasib dan sepenanggungan yang mendasarkan pada Panca Sila. Kita harus kembali pada jati diri bangsa yang lebih mengedepankan semangat gotong royong menuju berdikari dan meninggalkan kebiasaan buruk sikap “mengemis dan berhutang”.

Kita harus kembali secara lebih mendalam menyelami lirik lagu Indonesia Raya yang lebih dulu mengedepankan “membangun jiwa baru kemudian bangunlah badannya”.
Sebagai bangsa yang teruji dalam berbagai kesulitan dan pencobaan, sudah saatnya kita kembali merefleksi arah perjalanan pembangunan bangsa ini yang tidak hanya mengedepankan sisi ekonomi saja tetapi juga secara holistik memperhatikan semua aspek yang mempengaruhi keberlanjutan kita bersama sebagai sebuah bangsa.


YBT Suryo Kusumo
tony.suryokusumo@gmail.com

www.adikarsa.blogspot.com
www.adikarsagreennet.blogspot.com

Tidak ada komentar: