Senin, 13 Oktober 2008

Gereja Katolik yang transparan di era keterbukaan, sebuah harapan.

Dalam menyikapi perubahan masyarakat di Indonesia, gereja selalu berada didepan untuk menyuarakan keprihatinan rakyat berupa surat gembala dan press release yang disebarkan melalui berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Gereja mencoba untuk tetap jernih melihat permasalahan bangsa dan tidak mau terjebak serta selalu menjaga jarak dengan kegiatan politik praktis yang hanya berorientasi kekuasaan semata, cenderung semakin tidak etis, menghalalkan segala cara yang sering bertentangan dengan moralitas. Gereja Katolik secara hirarki melalui KWI selalu berusaha untuk jujur menyampaikan pandangannya demi kebaikan bangsa dan negara. Mgr. Soegiyopranoto SJ selalu berpesan hendaklah umat Katolik di Indonesia menjadi 100 % Indonesia dan 100 % Katolik. Kita diajak meninggalkan sikap eksklusif yang cenderung kerdil seperti bonsai yang enak dipandang, namun tidak produktip dan berani untuk keluar menuju sikap yang inklusip/terbuka.

Keterbukaan internal gereja

Dalam perjalanan perkembangan gereja Katolik di Indonesia, kita mengalami pasang surut seturut kehidupan politik dan gereja berusaha untuk tegak dalam menyikapi ketidakadilan, kemiskinan, pelanggaran HAM dan juga KKN. Namun sayang seringkali didalam masalah internal gereja, kita cenderung menutup diri terhadap tuntutan reformasi baik dalam hal penggembalaan umat maupun pendekatan yang dilakukan dalam menyikapi persoalan yang ada di seputar paroki. Memang kalau dilihat secara sepintas gereja Katolik unggul dalam bidang pendidikan, kesehatan dan karya amal karitatif, seperti yang juga telah diakui oleh Gus Dur selaku Presiden Republik Indonesia, terutama dibidang pendidikan.
Gereja juga menampakkan wajah ‘yang lain daripada yang lain’, terutama dalam keberpihakan dan pelayanan kepada kaum miskin dan tertindas seperti yang telah ditunjukkan oleh sepak terjang Romo Mangunwijaya Pr. Juga keberanian Institut Sosial Jakarta dibawah koordinasi Romo Sandiyawan SJ dalam membela hak buruh dan melindungi aktivis PRD dari kesewenangan penguasa ORBA telah sedikit banyak memberi warna pada penerapan/praksis ajaran sosial gereja. Namun kalau kita mau mengkaji lebih mendalam secara cermat, jernih,dan jujur, sering terlihat apa yang nampak baik dari luar, masih ada sedikit tercecer permasalahan internal gereja, seperti terlihat dalam paroki, dimana ada potensi maupun konflik terselubung, yang apabila tidak hati-hati mengelolanya secara arif dalam terang Roh Kudus, akan menimbulkan benturan yang dapat membelokkan arah biduk gereja cenderung semakin menjauh dari tujuan yang hakiki. Sudah saatnya di era reformasi, otonomi daerah, dan keterbukaan, gereja juga mulai berani mengakui kelemahan manajerial yang dimiliki dalam penggembalan umat, pengelolaan paroki maupun yayasan yang ada. Seberapa jauh gereja mulai berani membuka dialog iman, dialog karya, maupun dialog kehidupan, memberikan ruang gerak yang lebih luas untuk partisipasi umat melalui pendekatan yang partisipatip, mempertanggungjawabkan kepada umat tidak hanya jumlah penerimaan dana, namun juga penggunaannya baik yang dikelola biarawan/wati maupun oleh awam.

Audit publik, sebuah tawaran

Mungkin tawaran audit publik bagi keuangan di lembaga gereja menjadi tidak popular dan dicurigai sebagai bentuk ketidakpercayaan diantara kita. Namun jika kita mau melihat lebih jauh demi kebaikan gereja, dari lubuk hati yang terdalam niatan tawaran ini semata-mata untuk menjadikan gereja yang kita cintai terus menerus eksis disetiap perubahan jaman dalam pelayanannya baik rohani maupun sosial. Kita harus berani membuka kelemahan-kelemahan yang kita miliki, kita rasakan sehari-hari dan secara realitas ada didepan mata kita, daripada hanya berani bicara sembunyi-sembunyi dan dibelakang saja.Keterbukaan menjadikan dan membawa kita semua menjadi lebih lapang dada dalam pelayanan, serta mengurangi potensi konflik yang dapat ditimbulkan oleh sikap kecurigaan yang berlebihan dan tak beralasan baik terhadap pastor, suster, bruder, awam yang menjabat dalam dewan paroki maupun yayasan yang bernaung dibawah gereja. Kesulitan yang dihadapi gereja harus diketahui oleh umat dan dicarikan solusi secara bersama-sama secara dialogis. Permasalahan sosial ekonomi seputar paroki seperti bagaimana menangani masalah kemiskinan, ketiadaaan modal usaha, ketidakmampuan menyekolahkan anak, kecanduan narkoba, sek bebas, kekerasan terhadap perempuan, pengangguran, buruh migran, PRT (Pekerja Rumah Tangga) yang dianiaya dll terutama didaerah mayoritas katolik, sebenarnya bukan hanya masalah paroki lokal, namun juga menjadi tanggung jawab kita semua sebagai wujud solidaritas kristiani. Dan apabila diperluas, maka permasalahan tersebut yang ada ditengah-tengah bangsa Indonesia adalah masalah dan keprihatinan yang dihadapi kita bersama untuk secara bersama-sama pula mencarikan jalan keluarnya.
Kita harus berani melihat realita masih begitu banyak karyawan yang bekerja untuk lembaga gereja mengalami kesulitan untuk mencapai kehidupan yang layak. Seringkali mereka yang mengabdi pada lembaga gereja menjadi pasrah terhadap apa yang dialami meskipun dirasakan hal itu sebagai sebuah ketidakadilan. Ketidak beranian mereka menyuarakan aspirasi, seharusnya ditanggapi secara arif oleh kita sebagai bagian dari gereja untuk menolong mereka melalui kebersamaan kita, baik melalui loby/pendekatan kepada pimpinan untuk memperbaiki sistem kesejahteraan mereka dll. Disamping itu untuk mewadahi kebersamaan kita baik secara internal gereja maupun eksternal bersama masyarakat umum, perlu dikaji secara mendalam mengenai perlu tidaknya membentuk lembaga (LSM) di tiap paroki sebagai ajang untuk dialog iman, dialog karya, maupun dialog kebangsaan dalam mewujudkan kesatuan kita sebagai bagian tak terpisahkan dari replublik ini dalam membangun karakter kebangsaan (nation character building) untuk bersama-sama membangun masyarakat madani yang berwajah keadilan, kedamaian, berbudaya, beradab, bermartabat dan manusiawi dll. LSM ini dapat menjadi wadah untuk dialog kehidupan, dialog iman, dialog karya, dialog cultural dll bagi sesama umat maupun dengan umat bergama lain, menjadi saluiran untuk mengumpulkan dana dari penderma (terutama umat katolik yang kaya di paroki) yang ingin membantu sesamanya maupun dari lembaga penyadang dana. LSM ini dapat berperan sebagai fasilitator, motivator, konsultan, mediator dan asal bukan koruptor, dalam membantu menyelesaikan permasalahan sosial melalui pendekatan partisipatip, dialogis, membangun keswadayaan melalui pemberdayaan. Pendekatan karitatif untuk pengembangan masyarakat sebaiknya mulai dikurangi, kecuali untuk hal-hal yang mendesak dan darurat.
Dengan demikian terbangun kebersamaan diantara umat yang berbeda keyakinan dan terkurangi masalah sosial diseputar paroki sehingga potensi yang dapat menyulut konflik horizontal diantara masyarakat dapat diminimalisasi. Dalam kondisi demikian maka peran provokator untuk memprovokasi masyarakat melalui isu SARA dapat ditangkal karena terjembataninya dialog antar agama, dialog karya, dialog kehidupan sehingga jurang antara kaya dan miskin dapat terkurangi, silaturahmi antar umat beragama melalui kegiatan sosial sebagai wujud dialog dapat semakin terjalin sehingga terbangun pemahaman bersama diantara kita sebagai sebuah bangsa yang majemuk dalam suku, etnis, agama, budaya namun mau dan mampu bersatu seperti tertuang dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Semoga!

Tidak ada komentar: