Senin, 13 Oktober 2008

Natal, momentum untuk mewujudkan “Indonesia Baru?”

Setiap penghujung tahun, kita selalu diajak untuk merenungkan sebuah kosa kata yang telah akrab dalam kehidupan keseharian namun sulit sekali terwujud secara berkelanjutan yakni kata ‘DAMAI’.

Natal selalu mengajak kita untuk kembali ke fitrah, mempertanyakan arti sebuah perjalanan kehidupan dari mulai kelahiran kita sampai periode saat ini dalam sebuah kosmos yang kita kenal sebagai bumi yang satu tempat kita berpijak dan berkiprah.

Damai dibumi, damai dihati, damai dalam kemajemukan (suku, bangsa, agama, adat-istiadat, bahasa, budaya, ideologi dan perpolitikan). Bahkan para pendiri negara ini sejak dini telah meletakkan sebuah pondasi filosofi yang kokoh yang menekankan pentingnya perdamaian sehingga tercapai kompromi dalam perumusan PANCASILA .

Dalam Pembukaan UUD 45 , bapak bangsa mempersiapkan berdirinya sebuah negara yang damai melalui ungkapan yang menyatakan ‘ikut menjaga ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi, keadilan sosial ….’

Namun akhir-akhir ini kita sebagai sebuah bangsa merasakan betapa semakin jauhnya kita dari harapan bapak bangsa. Perayaan keagamaan yang harusnya disyukuri dengan penuh suka cita dan kemenangan, berubah menjadi kekuatiran dan ketakutan oleh adanya teror berupa ancaman tindak kekerasan dan terjadinya pengeboman. Kemajemukan yang seharusnya makin memperkaya satu dengan yang lain dan menambah kearifan kita seperti halnya ketika melihat warna pelangi yang meskipun berbeda warna namun indah jika menyatu, ternyata tidak mampu membendung emosi dan sentimen keagamaan, kedaerahan yang sempit.

Perbedaan bukan lagi dianggap sebagai berkah, namun justru lebih dilihat sebagai ancaman, dan berujung pada konflik yang mengarah pada pembinasaan umat dan peradaban manusia. Kita semakin terjebak dalam kesempitan cara pandang dan berpikir, sehingga semakin meninggalkan akal sehat dan nurani. Ketika kita melakukan pembenaran untuk membinasakan satu dengan lainnya hanya karena berbeda agama, suku dll, maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita dapat mempertanggungjawabkan perbuatan kita pada Tuhan, Sang Pencipta ? Kalau kita membunuh untuk membela saudara kita yang seiman, apakah surga akan penuh dengan orang yang bergelimang darah ditangannya ? Dan apakah kekerasan berupa pembunuhan menjadi solusi terbaik dan tidak menimbulkan dendam berkelanjutan ?

Mengapa ampunan dan kata maaf tidak mampu mengalahkan rasa benci dan dendam ? Bukankah kita lebih baik mengasihi musuh yang menganiaya kita sehingga dengan kasih maka diharapkan musuh akan bertobat untuk tidak memakai jalan kekerasan sebagai penyelesaian masalah yang dihadapi. Lalu kepada siapa kita akan membagi KASIH jika tidak kepada sesama kita, meskipun berbeda SARA ?


Ketika hati nurani mesti bicara

Mari dalam mensyukuri nikmat dan anugerah yang kita terima dalam hidup ini, kita telah mampu lebih mengedepankan suara hati nurani yang bersih, bening dan jujur. Biarlah Sang Maha Kuasa menyentuh hati kita lewat nurani kita, sehingga kita tidak mengotori kehidupan yang sedang kita jalani dengan berbagai bentuk kekerasan, baik kekerasan fisik maupun non fisik. Kita mencoba kembali untuk merajut benang-benang persaudaraan yang terkoyak oleh berbagai sebab dengan tali silaturahmi dan persaudaraan sejati. Coba kita tengok kembali perjalanan hidup kita selama setahun terakhir ini sehingga kita mampu kembali ke fitrah dan diawal tahun baru 2008 kita mampu menjadi manusia baru yang sungguh-sungguh berubah mengarah ke kebaikan budi dan nurani.

KKN dan sejenisnya juga merupakan bentuk lain dari teror bom di Bali dan sebentuk kekerasan lain yang sangat halus karena menyerobot/ merampas hak orang lain yang bukan milik kita, serta memutus rantai rahmat yang diberikan Tuhan YME kepada sesama kita melalui kekuasaan yang kita miliki ?

Bukankah kekuasaan yang ada ditangan kita adalah amanah dari Sang Maha Murah ? Mengapa kita menjadi serakah dan buta hati untuk mengambil hak orang lain maupun memeras orang lain yang tak berdaya karena kebetulan kita diberi sedikit kekuasaan yang bukan milik kita karena sebenarnya merupakan mandat dari rakyat yang setiap saat dapat dicabut? Bukankah memperdagangkan/ membisniskan kekuasaan yang kita miliki, berarti mengkianati pengabdian kita yang tulus kepada sesama kita ?


Lain kata, lain perbuatan ?

Marilah kita bangun raga kita ini dengan jiwa yang bersih dan jauh dari kepura-puraan serta melepas topeng yang tidak perlu kita kenakan. Janganlah kita menjadi bangsa pendosa yang terkutuk karena tidak mampu memanfaatkan waktu yang diberikan Tuhan kepada kita untuk bertobat sejati ? Atau kita menjadi bangsa munafik yang seolah-olah sangat religius tetapi sebenarnya sangat jauh dari sumber kehidupan itu semdiri yakni Sang Pencipta ?

Bagaimana kita harus menerangkan kepada komunitas dari bangsa lain yang melihat kesemarakan kehidupan beragama di Indonesia yang tinggi yang ditandai dengan siaran acara televisi berupa mimbar agama dari semua agama, sinetron yang berbau religi , namun disisi lain KKN jalan terus bahkan masuk ke kalangan DPR yang nota bene wakil rakyat dan juga yudikatif ?Atau kita termasuk golongan bangsa TOMAT (Tobat namun kemudian kumat) untuk selalu menipu Tuhan dengan retorika dan segala puja puji yang penuh kepura-puraan ? Bagaimana kita mengaku sangat toleran satu dengan yang lain , sementara beberapa tempat ibadah mengalami pembakaran, dirusak, bahkan dilakukan pengeboman ?

Bagaimana sila kedua Pancasila menegaskan pentingnya rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, sementara orang-orang pinggiran terus digusur tanpa alternatip jalan keluar yang lebih baik? Merampas hak hidup berupa pekerjaan di sektor non formal melalui penggusuran paksa hanya karena melanggar aturan PERDA namun tanpa solusi, adalah sebentuk pembunuhan keji secara perlahan dan menghilangkan harapan hidup seseorang beserta keluarga yang ditanggungnya.

Bagaimana kita mengaku beradab, sementara di beberapa tempat, orang dapat saling membinasakan seperti layaknya anjing hanya karena adanya perbedaan SARA? Jangan kita terjebak dalam romantisme sempit sentimen keagamaan maupun kesukuan yang membuat kita kerdil dan buta hati, dimana kita seolah-olah Sembahyang Terus, namun Mencuri/ Maksiat tetap Jalan (STMJ)

Natal, melahirkan “kesadaran baru”

Natal, dalam artian “kelahiran” seharusnya mampu juga melahirkan sikap dan kesadaran baru yang berbeda dari sikap lama. Apabila sebelumnya kita gemar ber KKN ria maka semangat NATAL seharusnya mampu mengubah menjadikan diri kita lebih mencintai kejujuran dan solider dengan rakyat kecil yang menderita.

Kalau sebelumnya kita lebih mementingkan diri kita dan keluarga saja, NATAL kali ini seharusnya mampu memperluas perhatian kita untuk kepentingan yang lebih luas yakni kepentingan umu/publik.

Sebagai pegawai negeri yang tak lain merupakan pelayan publik misalnya, bagaimana layanan publik menjadi lebih baik dan manusiawi. Tantangan bagi dinas-dinas pemerintah untuk setelah NATAL yakni dalam awal tahun 2008 untuk tidak kalah dalam kualitas pelayanannya dengan BUMN seperti BANK BUMN, TELKOM dll maupun dengan sektor privat seperti kantor TELKOMSEL INDOSAT dll. Kita dapat merasakan bagaimana sektor privat melayani warga sebagai pelanggan dengan penuh kesungguhan, sikap yang sangat ramah, ruangan yang bersih dan ber AC antrian yang tertib dan tempat duduk yang nyaman, Alangkah indahnya jika hal yang sama juga dapat dinikmati ketika kita masuk kantor dinas-dinas pemerintah dimana rakyat diperlakukan seperti halnya pelanggan (customer).

NATAL seharusnya mampu menggugah kesadaran kita akan arti pentingnya sikap “kesederhanaan” seperti yang diteladankan Yesus sendiri. Kita kurangi kebisaaan hidup penuh foya-foya dan boros digantikan dengan “sikap hidup hemat dan berinvestasi”
Kita hentikan kebiasaan ketergantungan pada alkohol dan narkoba , mabuk-mabukan, pesta berlebihan, termasuk juga sebenarnya kebiasaan merokok yang seolah-olah tidak merugikan, namun sebenarnya juga berbahaya karena dapat mengakibatkan sakit jantung, impotensi, kelainan pada janin, dan juga membahayakan bagi orang lain yang meski tidak merokok namun sangat berbahaya apabila menghirup asap rokok yang dikenal dengan perokok pasip.

NATAL sebaiknya mampu meningkatkan kesadaran arti penting menjaga kelestarian lingkungan. Natal yang kebetulan selalu jatuh pada musim hujan dapat jadi momentum untuk melahirkan kebiasaan baru untuk “menumbuhkan tanaman alias menanam dan memelihara tanaman” yang mampu menghijaukan dan menyejukkan lingkungan kita terutama lahan tidur, lahan kritis dan lahan disekitar kita yang belum termanfaatkan. Kebiasaan menumbuhkan tanaman juga mampu membersihkan polusi udara, mengurangi rasa stres, menjadikan alam sebagai sahabat, memberi tempat bagi kehidupan yang layak bagi burung dan satwa lainnya.

NATAL dapat dijadikan sebagai awal untuk lebih meningkatkan sikap hidup bersih (termasuk jiwa kita), membiasakan membuang sampah pada tempatnya, menjadikan ruang publik seperti pasar tradisional , rumah sakit umum, sekolah dll menjadi lebih bersih, tertib, teratur dan enak dipandang.


Mari kita bulatkan tekad untuk kedepan, melalui Natal tahun ini kita mampu lahir kembali sebagai bangsa yang besar dalam mewujudkan nilai luhur religiositas, meninggalkan kebiasaan dosa berupa KKN, politik uang, perjudian, mabuk, kekerasan dalam segala bentuknya , mampu meningkatkan pelayanan publik dengan standar yang lebih baik, mewujudkan kasih dalam perbuatan nyata sehari-hari diseputar tempat kerja, lingkungan keluarga kita, tetangga dll.

Kita jangan terjebak dalam pesta pora yang mengenyangkan perut semata, memuja kemewahan dalam konsumsi pakaian, pohon natal dan gemerlapnya lampu dan hiasan Natal maupun terperangkap dalam “Sinterklas Kapitalis’, namun mampu menggali arti kesahajaan, pengorbanan untuk mampu mengantar ‘kelahiran anak manusia’ oleh seorang gadis desa yang lugu bernama Maria, perwujudan rasa tanggung jawab dan kebapakan dari Yosep, dan yang paling penting adalah bagaimana Allah Bapa menyambung kembali tawaran keselamatan melalui kelahiran PutraNYa Yesus ke dunia. Mari kita wujudkan Natal yang penuh kasih dan damai, tidak dengan ucapan maupun jabat tangan semata, melainkan dalam aksi nyata dan praksis kehidupan keseharian kita.

Membagi kasih tanpa merasa berbuat lebih, mendorong terciptanya kedamaian tanpa kekerasan, menyongsong tahun baru 2008 dengan semangat pelayanan dan pengabdian yang tulus demi peningkatan harkat dan martabat sesama.

Kita wujudkan Indonesia Baru dengan habitus baru yang berwajah humanis manusiawi dalam tatanan negara yang modern dan demokratis, menjunjung harkat dan martabat manusia melalui penghargaan terhadap HAM. Semoga


YBT Suryo Kusumo
Pengembang masyarakat perdesaan
tony.suryokusumo@gmail.com

Tidak ada komentar: