Selasa, 09 September 2008

Menunggu tenggelamnya “Merah Putih di tiang Perahu retak bangsa” melalui disintegrasi dan konflik elit politik ?

Menyimak dan mengamati perkembangan politik ditanah air, terkadang menumbuhkan rasa sesak di dada karena timbulnya rasa iba, malu, pilu dan berbagai gejolak hati yang tak mampu terungkap dan terucap lewat kata. Alangkah menyedihkan kondisi perpolitikan kita saat ini, yang sebenarnya dikemudikan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas intelektual yang tinggi (sebagian dari mereka adalah Doktor) maupun sebagai pimpinan umat (minimal mantan pemimpin), namun dalam kenyataan mereka begitu hobi berkonflik satu dengan yang lain. Mereka, para pimpinan politik seolah-olah berlaku sebagai petinju seperti halnya Mike Tyson, yang siap bertarung dengan siapa saja asal memperoleh bayaran yang tinggi. Memukul lawan mainnya bagi Tyson adalah rejeki, dan keterjungkalan lawan mainnya berarti kemenangan bagi dirinya serta mengukir prestasi dunia yang akan dielu-elukan para penggemarnya. Jika perlu untuk memenangkan pertandingan perlu “bermain cantik” dengan menggigit telinga lawan mainnya. Padahal menurut masyarakat, menggigit telinga seseorang adalah tindakan tidak terpuji dan kejahatan kriminal kekerasan. Para elit politisi kita saat ini telah berlaku seperti halnya petinju yang hanya melihat pihak yang berbeda adalah lawan yang harus dirobohkan, menjadikan negara sebagai tempat/ ajang ring tinju dan masyarakat menjadi suporternya.

Etika politik diabaikan

Inilah wajah perpolitikan Indonesia yang dimainkan oleh orang-orang pintar, cerdas, namun kurang berwawasan kebangsaan, kurang bersikap kenegarawanan dan senang menggunakan berbagai rekayasa politik, memainkan rasa etnis, suku, keagamaan secara berlebihan. Agama ditarik kebawah menjadi lebih rendah nilainya dan cenderung dipolitisir, sehingga agama yang menjadi tuntunan hidup yang sakral telah dibelokkan hanya untuk merebut maupun mempertahankan kekuasaan. Sentimen agama mulai dibangkitkan diantara pengikutnya dan benturan elit politik tingkat vertikal berubah menjadi bencana bagaikan air bah ketika ditarik ketataran horizontal. Sebagian masyarakat kita yang dalam kondisi terengah-engah mempertahankan hidup bagaikan orang yang menunggu ajal dengan napas yang tinggal satu-satu akibat krisis multi dimensi, ternyata kondisi tersebut sama sekali tidak mampu menggugah sense of crisis para pemimpin politik kita untuk lebih mengedepankan kepentingan rakyat banyak daripada hanya melakukan perebutan kekuasaan. Hati nurani dan kepekaan sosial kemanusiaan mereka telah sirna dan digantikan kepongahan akan kekuasaan, baik di eksekutip, legislatip maupun yudikatip. Para politisi menjadi buta dan tuli hatinya, meskipun bangsa ini telah diberi sinyal tanda jaman dari “Sang Pencipta” melalui berbagai bencana baik bencana alam (gempa bumi, banjir, angin topan, longsor dll) maupun bencana politik (Aceh, Sambas, Sampit, Ambon, Poso, Papua dan kota mana lagi yang akan menyusul ?) Masih kurang banyakkah korban-korban anak negeri yang tidak berdosa namun harus meregang nyawanya hanya karena mereka hidup bukan di tanah kelahirannya, meskipun tanah yang didiami masih termasuk tanah airnya yakni Indonesia ? Salahkah mereka yang berstatus sebagai pendatang ingin menggapai kehidupan yang lebih baik di tanah orang, namun masih dinegeri sendiri melalui transmigrasi baik oleh pemerintah maupun atas kehendak sendiri? Salahkah penduduk lokal yang marah karena tidak diberi peran dan dipersiapkan sejak awal dengan perlakuan khusus oleh pemerintah ORBA maupun Orde Reformasi untuk mampu bersaing di alam pembangunan sehingga mereka saat ini hanya menjadi penonton pembangunan didaerah kelahirannya sendiri ? Salahkah warga lokal yang merasa keadilan hanya sebuah retorika, karena mereka harus terus menerus hidup susah dengan ekonominya yang ‘lemah lembut’, tergusur dari tanahnya, diperlakukan dengan kekerasan, sementara para pendatang menguasai berbagai bidang strategis baik di pemerintahan, ekonomi, maupun politik ? Siapakah sebenarnya pemilik bumi yang kita diami ini ? Bukankah Tuhan menciptakan bumi untuk didiami manusia dari berbagai suku bangsa untuk saling mengenal dan menyempurnakan satu dengan lainnya ? Lalu jika terjadi konflik seperti saat ini, menjadi tanggung jawab siapa, salah siapa, dan dosa siapa ? Jangan kita bertanya pada rumput yang bergoyang seperti lirik yang dilantunkan Ebiet karena goyangan konflik ini mampu mengkoyak perahu bangsa Indonesia yang telah retak dan tinggal menunggu tenggelam dihantam krisis multi dimensi dan konflik elit politik dan meruntuhkan “Merah Putih “ yang dikibarkan diatas perahu kita. Apa yang harus kita lakukan bersama-sama untuk menyelamatkan perahu retak Indonesia akibat tidak digunakannya etika oleh para elit politik kita baik semasa ORBA maupun sekarang ini ? Mampukah kita yang berada jauh dari pusat kekuasaan (Jakarta) menyuarakan keprihatinan dan litani kesengsaraan para pengungsi, kaum pinggiran, sopir angkutan umum yang diperas preman, buruh-buruh kecil, para penganggur yang kebingungan mencari kerja dan menanggung beban ekonomis dan psikis, dan mereka semua rakyat kecil yang seharusnya diberi perlindungan dan diringankan penderitaannya, namun dalam kenyataan hanya diabaikan dan dipandang sebagai pelengkap penderitaan dari sebuah pembangunan bangsa yang mengaku berbudaya dan beradab ? Mungkin para politisi jika ditanya tidak akan lupa dengan kelima sila PancaSila sebagai sebuah hapalan, namun sebagai perwujudannya banyak elit politik yang sudah melupakan makna hakiki dari setiap sila yang menjadi falsafah bangsa, yang mengikat kita semua sebagai sebuah bangsa yang mengaku besar namun kerdil dalam menyikapi krisis multi dimensi yang kita alami bersama.

Kompromi politk melalui rekonsiliasi

Kata rekonsiliasi telah menjadi kosa kata yang kita kunyah dan telan setiap hari seperti halnya makanan yang harus kita makan kalau kita ingin tetap sehat, bugar, dan melakukan aktivitas “memuliakan Sang Pencipta” melalui hasil kerja kita dalam keseharian. Ketika kita menyadari bahwasanya kerja bukan hanya untuk memenuhi “kebutuhan jasmani”, namun juga memenuhi kebutuhan akan ‘makanan rohani’ , maka kita perlu menanyakan kepada diri kita sendiri, apa sumbangan kita sebagai anak bangsa / negeri yang sedang melihat kondisi bangsa yang mengalami kesakitan luar biasa untuk mengurangi rasa sakit yang dihadapi bersama ? Maukah kita memulai dari lingkungan yang terkecil yakni keluarga batih untuk melakukan rekonsiliasi diantara anggota yang berseteru menuju kompromi untuk membangun kesatuan keluarga ? Jika hal ini terus dapat dilakukan berjenjang sampai tingkat bangsa sebagai sebuah keluarga, maka akan mendorong para elit politik untuk kembali menumbuhkan rasa malu dalam dirinya, sehingga mereka meyadari akan ‘ketelanjangan ambisi kekuasaannya’ yang mengorbankan rakyatnya. Mari kita suarakan secara lantang dan bersama-sama akan kebosanan dan kemuakan kita terhadap perilaku elit politik yang sudah tidak lagi berbusana etika politik dan nilai-nilai luhur warisan budaya leluhur kita. Pemimpin yang demikian seharusnya tidak lagi pantas memimpin negeri (yang indah dengan sejuta pulau, bhineka tunggal ika, kaya akan nilai budaya dan SDAdll), dan sebaiknya dinatara mereka melakukan kompromi politik melalui rekonsiliasi total, dan menyerahkan kepemimpinannya pada politisi muda yang etis , berwawasan kebangsaan, kenegarawanan, dan bermoral tinggi demi kepertingan rakyat.

Suksesi politisi muda

Setelah melakukan kompromi melalui rekonsialisi total, minimal keempat tokoh yang dianggap tokoh nasional ini sebaiknya berkompromi untuk memilih sekumpulan politisi muda dari 200 juta rakyat Indonesia yang terbebas dari kontaminasi KKN ORBA maupun rejim reformasi yang gagal mengemban amanat reformasi. Biarlah suksesi kepemimpinan nasional tidak ditandai dengan kekerasan, korban jiwa yang tak perlu, bencana politik yang akan semakin menyusahkan rakyat. Beri kesempatan kepada sekumpulan politisi muda ini untuk menyiapkan pemilu yang dipercepat dengan sistem pemilihan langsung yang jujur, demokratis dan terbebas dari money politic. Diharapkan yang tampil sebagai pemenang adalah seorang Presiden muda usia sehat jasmani dan rohani namun penuh dengan kearifan dan kebijaksanaan, Ketua MPR yang masih muda usia namun sangat memperhatikan kepentingan rakyatnya seperti halnya tokoh pergerakan kemerdekaan kita dan Ketua DPR yang meski muda usia namun punya prinsip bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat dan aspirasi rakyatlah yang disuarakan, bukan aspirasi golongan, apalagi membangun konspirasi politik yang tidak sehat dan malakukan money politic yang tidak etis. Kata orang bijak, jumlah usia tidak menentukan bijaksana atau tidaknya seseorang, melainkan hati nurani yang jernih, kejujuran, kecerdasan, solidaritas sosial yang tinggi, religiositas tinggi yang memandang jabatan pemimpin sebagai amanah, mau melayani dan mempertanggungjawabkan hasil kepemimpinannya kepada Sang Khalik. Kita tunggu munculnya pemimpin muda yang cerdas, berbudi luhur, bijaksana, mempunyai wawasan luas yang mampu membawa Indonesia kearah masyarakat madani yang demokratis, beradab, berbudaya, berkeadilan dan sejahtera lahir batin. Mari kita kepakkan sayap-sayap kita yang meskipun patah namun masih tetap mencoba untuk terbang menggapai tempat tujuan, dan tidak berdiam diri menunggu tenggelamnya perahu retak bangsa bersama merah putih ditiangnya yang berbendera dan berkebangsaan Indonesia. Jangan lagi kita mengulangi kesalahan tenggelamnya kapal mewah ‘Titanic’, dimana ruang mesin telah kemasukan air, namun para penumpang elit, kaum borjuis yang diatas dek masih bermain musik sambil berdansa, dan tidak sempat lagi membangunkan anak kecil yang sedang terlelap tidur dan sedang bermimpi bahwa kapalnya telah merapat ke pelabuhan tujuan. Salam merdeka dari seorang anak negeri yang tidak berarti !!!


YBT. Suryo Kusumo

Salah seorang yang prihatin akan kondisi negeri.

Tidak ada komentar: