Rabu, 10 September 2008

PEMBERDAYAAN ATAU PEMERDAYAAN POLITIK RAKYAT ?

Masih segar dalam ingatan kita, ketika Mei 1998 para pahlawan reformasi yang sebagian besar dari kalangan mahasiswa harus mati muda dalam mengamanatkan suara hati nurani penderitaan rakyat dengan tertembus peluru oknum aparat ABRI/POLRI (waktu itu) yang ironisnya dibeli dengan uang rakyat atau melalui dana yang diperoleh dari hutang luar negeri atas nama keamanan dan perlindungan untuk rakyat. Mahasiswa saat itu bergabung dengan kelompok lainnya seperti LSM, akademisi, dan rakyat bertekad berjuang sendiriran melawan kekuasaan yakni pemerintahan rejim Soeharto yang memanipulasi ABRI yang seharusnya sebagai alat negara, namun disalahgunakan menjadi alat kekuasaan untuk melakukan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri, sementara semboyannya adalah ABRI Manunggal Rakyat. Tidak seperti saat era 66, ketika mahasiswa bergandengan secara mesra dengan ABRI untuk mengganyang issu komunisme, maka pada 1998 adalah tahun yang sulit bagi warga sipil dalam menyuarakan tuntutannya.

Butuh berapa Presiden untuk demokrasi ?

Ketika Ir. Soekarno muda melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda, terlihat betapa gagah perkasa dan menggelegar gelora semangat yang ditimbulkan oleh pidato maupun tulisan yang sempat disebarluaskan. Masyarakat yang sebelumnya cenderung bersikap apatis dan masa bodoh dalam era kolonial dibuat sadar akan keterbelengguannya dari kemiskinan, kebodohan dan penderitaan yang tiada berujung akibat adanya penindasan secara sistematis dengan adanya penjajahan Belanda. Puncak dari keberhasilan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia tercapai ketika dwitunggal Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaaan Indonesia.
Namun dalam perjalanan, sejarah mencatat Soekarno jatuh atau tepatnya dijatuhkan dengan tuduhan terlibat G 30 S/PKI meskipun belum dibuktikan secara hukum di pengadilan . Namun yang dapat terlihat sangat beda dalam perjalanan sejarah adalah antara Sokerno muda yang energik, idealis dengan Soekarno tua yang cenderung otoriter dengan terbukti mundurnya Hatta dari tampuk kekuasaan sebagai Wakil Presiden.
Maka setelah peristiwa G 30 S/PKI, naiklah Soeharto menggantikan posisi Soekarno sebagai orang kedua sebagai warga negara Indonesia yang berhasil menjabat Kepala Negara sekaligus Presiden. Setelah malang melintang dalam kesewenangan selama 32 tahun tanpa dapat dikontrol oleh DPR/MPR yang mewakilki rakyat, maupun oleh rakyat sendiri melalui kritik, karena setiap orang yang kritis akan ditahan dan juga pers yang kritis akan diberangus. Rakyat meskipun berteriak lantang menentang ketidakadilan yang dibuat oleh pemerintahan ORBA, namun dengan tiadanya sistem dan mekanisme kontrol langsung dari rakyat dalam berpartisipasi menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa dan melayani rakyat, maka semua yang ada hanya sampai pada sebatas retorika, dan hukum dipermainkan oleh uang dan kuasa dan tidak menyuarakan keadilan maupun tidak berpihak pada kebenaran (meskipun secara relatip). Suara rakyat terbungkam oleh penguasaaan kontrol terhadap media massa baik cetak maupun elektronik yang dilakukan pemerintah, sistem intelejen sampai tingkat desa sehingga terciptalah pemerintahan yang terlalu kuat, cenderung menjadi sewenang-wenang dan berpusat pada Soeharto sehingga menimbulkan mimpi buruk yang berkepanjangan selama 32 tahun dan masih berimbas sampai saat ini. Hutang luar negeri yang menumpuk dalam jumlah ratusan trilyun rupiah, pengurasaan SDA yang melampaui ambang batas kerusakan lingkungan, rusaknya tatatan moralitas, budaya dan nilai-nilai ketimuran merupakan akibat dari tiadanya pemberdayaan politik rakyat karena sistem massa mengambang (floating mass) serta tiadanya saluran kontrol yang dapat dilakukan oleh rakyat. Orde Baru yang pada awal pemerintahannya menyatakan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen, ternyata dalam perjalanan sejarah juga mencatat lembaran hitam seperti pendahulunya yang digantikannya. Pemerintahan Soeharto mampu bertahan 32 tahun karena ditunjang oleh tiadanya sistem dan mekanisme yang memungkinkan rakyat mendapat akses informasi yang benar, tidak menyesatkan serta mampu melakukan kontrol baik terhadap eksekutip, legislatip, maupun yudikatif. Dibawah ORBA, legislatif menjadi juru stempel serta loyo, sedangkan yudikatif menjadi macan ompong tak bertaring yang tidak lagi mengabdi pada keadillan tetapi pada kekuasaan dan uang. Dan puncak kemarahan rakyat tercapai ketika mahasiswa didukung oleh sebagian rakyat yang pro reformasi dan sudah muak melihat kebobrokan sistem pemerintahan yang ada mampu mendesak MPR untuk menurunkan Soeharto sebagai Persiden.
Maka naiklah Habibie yang saat itu menjabat Wakil Presiden sebagai orang ketiga yang berhasil menduduki kursi kepresidenan. Habibie yang dikenal sebgai seorang teknolog yang jenius, ternyata tidak mampu menahan lajunya kebohongan dan KKN, dan bahkan ikut sebagai pelaku dari kebohongan terhadap publik, meski dalam pemnerintahannya sempat menghasilkan produk UU dan PP yang dijiwai semangat reformasi. Pemerintah dibawah Habibie ternyata telah menggelembungkan hutang luar negeri Indonesia atas nama rakyat hanya dalam hitungan ratusan hari tanpa DPR/MPR dan rakyat dapat mengontrolnya. Maka tumbanglah pemerintahan transisi Habibie, meski telah didukung tim sukses diantaranya DR. Marwah Daud yang sampai menangisi kekalahan Habibie serta munculnya suara Sulawesi Merdeka akibat kekalahannya.
Maka melalui pemilihan oleh anggota MPR & DPR hasil Pemilu 1999 yang dikatakan paling jujur, bersih dan demokratis, terpilihlah Presiden Abdurahman Wahid sebagai orang keempat yang berhasil menduduki kursi kepresidenan setelah hampir 54 tahun Indonesia merdeka. Terpilihnya Gus Dur merupakan hasil rekayasa poros tengah yang menolak calon presiden seorang wanita. Abdulrahman Wahid dikenal sebagai tokoh forum demokrasi yang ingin menegakkan demokrasi di Indonesia, telah membiarkan pers bebas menjalankan fungsinya tanpa kontrol dari pemerintah, juga membiarkan suasana untuk bebas menyuarakan pendapat, menuntut hak sebagai warga negara, menfungsikan pemerintah hanya sebagai fasilitator, namun terpaksa harus meninggalkan istana karena dijatuhkan melalui “proses konstitusi” yang memperlihatkan adanya konspirasi tingkat tinggi dalam MPR dan DPR melalui pembentukan Pansus Buloggate, Memo I, Memo II dan puncaknya di Sidang Istimewa. Dan sekali lagi terlihat komponen pro reformasi maupun rakyat kebanyakan tidak dapat berbuat apa-apa serta tidak mampu mengontrol ketika melihat perilaku eksekutip dan legislatip saling berseteru selama hampir 6 bulan lebih dan menghabiskan energi yang tidak terkira, serta kerugian material yang tak terhitung jumlahnya akibat anjlognya nila tukar rupiah terhadap dolar US. Terlihat dalam perseteruan tersebut menggambarkan betapa lihainya para elit politisi kita bermain akrobatik politik seperti yang dilakukan pros tengah, Matori abdul Djalil dkk. Mereka selalu berkata lantang memperjuangkan kepentingan rakyat, namun rakyat sebenarnya juga tahu bahwa substansi perjuangan mereka tidak menyentuh sama sekali kepentingan rakyat, dan hanya kepentingan partai maupun kelompoknya atau lebih tepatnya demi memperebutkan kekuasaan semata. Politik kita masih diwarnai kekerasan, baik dalam kata-kata/pernyataan, maupun dalam tindakan yang terbukti dengan aksi para elit poltisi yang menggerakkan masa pendukung sehingga dapat memicu konflik horisontal. Sekali lagi ini semua membuktikan bahwa kedaulatan sudah tidak berada lagi ditangan rakyat namun berada di DPR dan MPR karena kita sebagai rakyat lupa untuk menciptakan sistem dan mekanisme kontrol langsung terhadap perlilaku DPR/MPR yang cenderung partisan, arogan, dan tidak menyuarakan kepentingan reakyat, namun lebih mengedepankan perebutan kekuasaan. Bukti lain lagi yang menunjukkan tiadanya kedaulatan di tangan rakyat adalah tidak dijalankannya UUPA yang sudah diundangkan sejak ORLA, terutama land reform yang sampai saat inipun masih jauh dari harapan. Bahkan di jaman ORBA, hak atas tanah adat/ulayat diambil dan dijadikan tanah negara serta dibagikan kepada para konglomerat baik dalam bentuk HPH maupun HGU yang luasannya cukup aduhai . Terjadilah proses marginalisasi masyarakat yang hidup dan berada diseputar lokasi Sumber daya Alam (SDA) yang diambil alih oleh negara dan dibagikan pada konglomerat pencuri. Masyarakat sekitarnya semakin terdesak dan bahkan diusir keluar dari tanah leluhurnya yang telah didiami secara turun temurun. Maka kerusakan SDA atas nama pembangunan menjadi sah hukumnya dan peristiwa yang sangat memalukan kita sebagai bangsa yang besar dan beradab adalah ketika terjadi pembakaran hutan yang sangat luas di Sumatera dan Kalimantan yang mampu mengekspor polutan berupa asap ke negara tetangga sehingga Indonesia dikenal sebagai negara yang tidak peduli pada pelestarian lingkungan. Usaha untuk menyuarakan ketidak adilan, penindasan serta melakukan perubahan dari pemerintahan yang cenderung otoriter menuju pemerintahan demokratis selama masa ORBA selalu dilakukan oleh para pemuka agama yang kritis , politisi berhati nurani, kalangan akademisi, tokoh-tokoh kritis seperti Petisi 50 , LSM , seniman seperti Iwan Fals, Rendra dkk, namun penguasa ORBA selalu berlindung dibalik kata “konstitusional” dengan menciptakan seperangkat UU yang dapat melanggengkan penguasaannya dan ditambah dengan tiadanya sistem dan mekanisme kontrol dari rakyat terhadap eksekutip, legislatip maupun yudikatip, maka kehidupan kenegaraan kita menjadi compang camping penuh dengan KKN, dusta, fitnah, kekerasan dalam segala bentuknya, hutang luar negeri yang sangat besar dll selama 32 tahun. Kita sebagai sebuah bangsa seperti tersihir secara masal dan tidak mampu berbuat apa-apa meskipun didepan kita secara kasat mata melihat segala bentuk KKN, penyelewengan kekuasaan, dusta dsb. Bahkan lebih celaka lagi, orang-orang yang mempertahankan kejujuran sebagai nilai luhur kemanusiaan harus disingkirkan dari percaturan kehidupan. Maka yang sering kita jumpai adalah manusia yang berkarakter harimau namun berbulu domba. Anggota DPR yang kritis dan menyuarakan kebenaran direcall dan anggota DPR yang duduk manis namun tidak mampu berbuat apa-apa untuk memperjuangkan kepentingan rakyat masih dapat bertahan sampai akhir masa jabatannya dan kita sebagai rakyat yang diwakilinya tidak dapat berbuat apa-apa terhadap anggota DPR seperti itu. Paling banter kita hanya mampu menyanyikan lagunya Iwan Fals tentang wakil rakyat yang seharusnya merakyat, tidak tidur waktu sidang soal rakyat dst untuk sedikit mengobati kedongkolan hati kita. Dijaman reformasipun masih terjadi hal-hal yang lebih parah di DPR dan DPRD ketika mereka ditenggarai disuap dan melakukan permainan ‘politik uang’, namun keberadaan mereka tidak mampu direcall meskipun kita tahu bahwa oknum anggota DPR/DPRD telah melakukan ‘premanisme’ dengan kekuasaan yang ada ditangannya (yang diberikan oleh rakyat untuk mengontrol eksekutip) dengan modus operandi meminta angpao kepada pinpro maupun para kontraktor jika mereka tidak ingin dibeberkan penyelewengan yang dilakukannya dipersidangan dewan maupun dilaporkan ke polisi dan kejaksaan Ketika pers dan kelompok pro reformasi mengkritik tingkah mereka yang sudah tidak sesuai dengan jiwa reformasi, maka dengan pongahnya mereka para anggota DPR/DPRD akan mengatakan bahwa dirinya adalah wakil rakyat yang sah dan hanya partai yang dapat memecatnya. Tidak ada rasa pertangungjawaban secara moral kepara para konstituen pemilihnya dalam pemilu yang lalu, dan seolah–olah tidak ada kesinambungan hasil pemilu dengan DPR/DPRD sekarang. Jadi sebenarnya yang terjadi meski dalam era reformasi sekarang ini bukannya pemberdayan politik rakyat, namun pemerdayaan kedaulatan rakyat oleh oknum anggota DPR/DPRD.

Amandemen UUD 45, solusi yang strategis

Belajar dari kesalahan para mantan Presiden dan ulah oknum DPR/DPRD maupun MPR, maka sudah selayaknya kita sebagai rakyat harus terlibat akti dan berpartisipasi dalam proses amandemen UUD 45.Kita sebagai rakyat harus mengkritisi draft UUD yang baru, dan jika perlu kita secara bersama membentuk Komisi Konstituante untuk pembuatan UUD baru sehingga kita sebagai rakyat tidak kehilangan kedaulatannya karena mampu menciptakan ruang untuk partisipasi rakyat serta sistem kontrol dari rakyat baik terhadap eksekutip, legislatip maupun yudikatip sehingga tidak terulang kembali keputusan publik yang merugikan rakyat seperti misalnya putusan bebas untuk Tomy, Pansus Buloggate I, berbagai pungutan pajak yang besar kepada rakyat dll. Kita harus belajar dari Philipina dengan ‘people powernya’ yang mana Presiden baru yakni Cory Aquino mampu menghasilkan UUD baru yang lebih demokratis dan mampu membatasi kewenangan penguasa, serta mampu menyediakan ruang untuk partisipasi rakyat, sistem dan mekanisme kontrol dari rakyat terhadap penguasa dan hal ini terbukti sangat efektip ketika Presiden Estrada yang baru beberapa bulan berkuasa langsung dapat diproses di pengadilan ketika ditenggarai terlibat KKN dan kriminalitas, sehingga digantikan wakilnya. Mari kita secara aktip merumuskan bersama Draft UUD baru kita yang lebih berwajah kerakyatan, demokratis dan mampu menyatukan kita yang meskipun sebagai bangsa yang majemuk nanun dapat hidup rukun , damai dan berkeadilan. Semoga !!!!

Tidak ada komentar: