Rabu, 10 September 2008

Memotret masyarakat Indonesia yang diterlantarkan oleh negara ?

Dalam mengamati setiap perubahan politik yang terjadi di tanah air belakangan ini , ada sesuatu yang selalu pasti yakni ketidakpastian itu sendiri serta ketidakstabilan kondisi ekonomi dan keamanan yang selalu terkait dengan tingkat eskalasi konflik yang dilakonkan oleh para elit politik yang cenderung beku nuraninya dan haus kekuasaan seperti halnya vampire/ drakula yang selalu mencari darah segar untuk dihisap. Pertikaian antara pihak eksekutip yang dalam hal ini diwakili Presiden sendiri dan legislatip (DPR) yang dimotori poros tengah dalam kurun waktu yang relatip panjang sangat melelahkan serta memuakkan. Hal ini terkait dengan substansi yang dipertikaikan tidak ada relevansinya dengan usaha bangsa ini untuk keluar dari krisis dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Mereka, para elit politik yang bertikai mencoba memainkan peran sandiwara atas nama negara, bangsa dan rakyat, namun sebenarnya mereka cenderung sangat picik dan kerdil dalam wawasan kerakyatan karena yang mereka perjuangkan adalah kepentingan pribadi dan paling luas adalah golongannya, tanpa peduli akan resiko dan biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat miskin yang semakin dimiskinkan dan menderita akibat krisis yang ‘dibuat berkelanjutan’ oleh para penanggung jawab dan penyelenggara negara Saat ini sangat dirasakan adanya keterasingan antara yang mewakili negara dengan masyarakat warga yang dilayaninya. Seolah yang terjadi adalah adanya negara yang berjalan tanpa mengindahkan masyarakat dan masyarakat yang ditelantarkan oleh negara. Kondisi masyarakat kita saat ini seperti halnya anak yatim piatu, meskipun masih berbapak eksekutip dan beribu legislatip. Ketika antara ibu dan bapak bertengkar, yang paling merasakan penderitaan dan menjadi korban adalah anak itu sendiri. Anak yang dalam hal ini merupakan persofinikasi masyarakat, dibiarkan untuk bertahan dengan segala permasalahannya dan dibiarkan bergelut sendiri. Menjadi pertanyaan untuk kita adalah untuk apa ada negara kalau rakyat dibiarkan menderita dan yang sangat menyakitkan adalah penderitaan ini bukan disebabkan oleh ketiadaan / miskinnya sumber daya alam, melainkan akibat amburadulnya penyelenggaraan negara oleh para elit politik yang tak beretika dengan moralitas yang diragukan. Apa guna kita membayar pajak, kalau pajak yang masuk untuk pendapatan negara hanya dihambur-hamburkan untuk membayar politikus yang kerjanya hanya suka bertengkar serta lebih memikirkan untuk kepentingan sendiri dan bukan untuk kepentingan masyarakat ?

Sisdur versus gusdur

Saat ini kita dikaburkan dengan kata ‘konstitusional, institusional’ yang dianggap memenuhi sisdur (sistem prosedur) yang diperhadapkan dengan kata ‘demokratisasi’ yang cenderung melawan aturan yang mapan (gusdur = gusur prosedur). Kita sebagai masyarakat harus selalu mengkritisi ucapan politikus kita yang seringkali mengumbar ucapan ‘sesuai konstitusi’, karena kata-kata ini digunakan Orde baru untuk melanggengkan penindasannya. Orde Baru secara sistematis telah menyiapkan ‘perangkap konstitusi” untuk menekan laju proses demokratisasi dan menghabisi lawan-lawan politiknya. Undang-undang dan Peraturan pemerintah yang dibuat bertujuan untuk memberangus demokratisasi dan terwujudnya civil society (masyarakat madani). Dan kalau kita mau sedikit menoleh kebelakang perjuangan reformasi, maka sebenarnya turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan juga tidak memenuhi konsitusi alias tidak konstitusional. Soeharto turun karena adanya tuntutan dan desakan masyarakat pro reformasi yang dimotori oleh mahasisiwa yang dengan gagah berani memposisikan dirinya sebagai pembela rakyat dan langsung berhadapan dengan kekuasaan yang korup, sentralistik, otoriter serta militeristik. Kekuatan yang dimotori mahasiswa mampu menjungkirbalikkan semua tatanan konstitusi yang cenderung disalahgunakan untuk kepentingan penguasa. Disamping itu gerakan moral yang dimotori mahasisiwa mampu mematahkan asumsi para pengamat politik bahwa tanpa bekerja sama dengan militer (ABRI waktu itu) seperti halnya gerakan Angkatan 66, tidak akan mampu menumbangkan Soeharto dan kroni-kroninya. Terlihat dari episod reformasi, ternyata perjuangan yang dilandasi kebenaran, memihak rakyat, serta berdasar kesadaran kritis yang dilandasi akan rasa nasionalisme yang benar dan luas yang dimotori mahasiswa mampu menjadi lokomotip yang menarik rangkaian gerbong demokrasi untuk mewujudkan masyarakat madani yang dikenal dengan Indonesia Baru (asal tidak mengikuti Orde baru). Namun sayang dalam perjalanan reformasi, proses demokratisasi telah direcoki dengan pertentangan antara eksekutip dan legislatip yang tidak mendasarkan pada kebutuhan rakyat, namun justru memasalahkan hal-hal yang tidak substansial dan tidak strategis seperti misalnya pemulihan ekonomi rakyat, maupun keutuhan bangsa. Kita dijebak dalam permainan pansus “Bruneigate dan Buloggate” yang nota bene tidak seberapa nilainya dibanding dengan kasus BLBI yang memakan ratusan trilyun rupiah uang negara, maupun “ORBAGATE” dengan KKN nya yang telah membangkrutkan negara menuju krisis yang berkepanjangan. Harus dicermati dalam setiap pilihan maupun dukungan, agar kita tidak terjebak dalam permainan kata para politikus sehingga kita tidak menyesal telah mendukung kelompok ‘serigala berbulu domba’.

Sakralisasi vs desakralisasi

Orde baru yang merupakan lambang status quo telah menerapkan secara sistematis dan berhasil proses sakralisasi lembaga kepresidenan dengan Peresiden sendiri sebagai pusatnya sehingga seolah-olah tidak gampang didekati dan dijangkau oleh masyarakat. Meskipun Indonesia merupakan negara bebentuk republik dan negara hukum, namun dalam pelaksanaan menerapkan perilaku sebuah kerajaan yakni neo feodalisme, otoriter sehingga mengasingkan pejabat dari rakyat yang dilayaninya. Mentalitas pejabat saat itu (mungkin juga masih sampai saat ini) adalah mentalitas bangsawan yang harus dilayani oleh abdinya yakni raktyat jelata/ kawula alit dan kata-kata pejabat adalah sabda pandita ratu yang artinya rakyat harus tunduk dan patuh pada perintah dan kemauannya. Republik tidak diartikan sebagai Res publica yang artinya kedaulatan ditangan rakyat dan untuk kepentingan umum, melainkan diplesetkan menjadi ‘daulat tuanku’. Dalam era kepresidenan Habibie dan Gus Dur, maka terjadi gusdur (gusur prosedur) yang mencoba mendesakralisasikan lembaga kepresidenan. Bagaimana saat kita melihat Habibie dengan gayanya yang santai diwawancarai oleh Yosua si penyanyi cilik, juga bagaimana Gus Dur dengan ‘coffe morningnya’ di istana serta disetiap sehabis solat Jumat mencoba berinteraktip dengan masyarakatnya. Kalau dijaman Orba pejabat harus berbusa-busa dalam berpidato dengan waktu yang lama dan membosankan, maka tampilan pidato pejabat di era reformasi menjadi lebih singkat, padat, dan berisi.

Elitis vs kerakyatan

Di jaman Orba, rakyat dimarginalkan perannya melalui perangkat hukum yang dibuat dan kedaulatan rakyat dipindahkan wewenangnya ketangan elit politik. Elit politik mengatasnamakan rakyat dengan sekehendak hati tanpa dapat dikontrol, telah melakukan kontrol yang luar biasa intervensinya kedalam setiap pribadi warga negara dengan peraturan ijin yang ketat termasuk dalam kegiatan berkesenian (pementasan theatre, pameran lukisan, seminar dll), memobilisasi massa tanpa partisipasi. Kata-kata partisipasi telah disalah artikan dengan pengertian dilibatkan, padahal partisipasi mengandung arti adanya proses pemberdayaan, kontrol dan pengambilan keputusan oleh rakyat. Begitu banyak kaum politisi sebagai kaum elit mengatasnamakan rakyat telah membuat kebijakan yang tidak populis dan cenderung menyengsarakan rakyat, namun kita sebagai rakyat hanya dapat melongo, terkaget-kaget, geram, marah dsb. Contoh yang aktual ketika PAD NTT sebanyak 48 % diambil untuk anggota DPRD Tk I NTT, Undang-undang tentang lalu lintas , maka banyak protes dari masyarakat yang merasa dirugikan, demikian pula kebijakan kenaikan harga BBM, telepon, listrik, sembako dll hanya cenderung sepihak dan kita sebagai masyarakat harus mau tidak mau menerima kebijakan tersebut. Kita sebagai rakyat tidak ada peluang dan kesempatan untuk menggunakan hak kita, termasuk mengontrol pihak penyelenggara negara karena memang belum dibuat mekanisme yang memungkinkan rakyat terlibat aktip dalam diskusi di tataran wacana maupun dalam pengambilan keputusan. Paling banyak kita hanya dapat menggunakan instrumen seperti PTUN untuk menggugat kebijakan yang sudah terlanjur dikeluarkan.
Sudah saatnya kita sebgai rakyat untuk tidak lagi sepenuhnya menggantungkan usaha pemakmuran bangsa kepada kaum elit politik yang semakin sulit diatur, dikendalikan dan merasa bahwa negara adalah miliknya dan mati hidupnya rakyat tergantung pada dirinya. Para elit politk melupakan hal yang hakiki yakni negara Indonesia ada dan merdeka karena perjuangan rakyat, dan bukan hanya perjuangan segelintir elit. Bapak pendiri bangsa kita yakni Soekarno dan Mohamad Hata karena kondisi yang ada dengan bersusah payah mengambil resiko yang besar untuk atas nama rakyat menyatakan merdeka dan alangkah ironisnya ketika elit politik sekarang lebih mementingkan kepentingan mereka daripada kepentingan keselamatan bangsa Indonesia. Pada kesempatan era reformasi yang krusial ini kita sebagai rakyat jangan mau lagi dijebak dalam kalimat ‘atas nama rakyat’ maupun dalam permainan kotor para elit politik yang haus kekuasaan. Percuma mengandalkan mereka yang masih menggunakan paradigma lama yakni politik untuk kekuasaan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaannya, termasuk mengorbankan rakyat yang dilayaninya dan belum mau menggunakan paradigma baru yakni politik untuk kesejahteraan rakyat yang mendasarkan pada etika, moralitas yang bersih dan mempertanggungjawabkan kepada rakyat serta Tuhan.
Mari kita bangun bersama mekanisme dalam sistem ketatanegaraan kita yang memberi kesempatan dan ruang kepada rakyat untuk berdaulat dan menggunakan hak-haknya, termasuk hak mengontrol para elit politik kita saaat ini yang cenderung menyerupai drakula yang tidak mendasarkan perilaku politiknya pada etika moral Panca Sila, melainkan hanya melakukan permainan pencak silat politik yang melelahkan, boros, membosankan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan baik kepada rakyat yang dilayani maupun kepada “Sang Pencipta & Pengatur Kehidupan”.

Tidak ada komentar: