Senin, 08 September 2008

Otonomi Desa, tawaran alternatif memperkuat OTDA

Kosa kata ‘pembangunan’ telah terasa begitu akrab dalam kehidupan keseharian kita, apalagi selama pemerintahan ORBA telah mengkristal menjadi sebentuk isme baru yakni developmentalis (pembangunanisme). Jargon pembangunan seperti dari, oleh, dan untuk rakyat, perwakilan rakyat, suara rakyat dll seolah-olah berlomba-lomba ingin menunjukkan rakyat telah berdaulat. Namun dalam realitas selama hampir 56 tahun rakyat Indonesia merdeka, kita boleh bertanya dalam diri kita masing-masing, benarkah semua yang kita lakukan sungguh murni untuk kesejahteraan rakyat ? Tidakkah kita selama ini disadari maupun tidak telah menjual kondisi kemiskinan bangsa untuk memperoleh bantuan luar negeri (BLN) dalam bentuk hibah maupun pinjaman luar negeri (PLN) dalam bentuk pinjaman lunak (soft loan) berjangka panjang (seperti Dana IDT, PPK dll)? Benarkah kita mempunyai keprihatinan atas kesengsaraan dan kemiskinan sebagian besar masyarakat kita, atau kita semakin tidak peduli pada orang lain dan cenderung menjadi defensif dengan jalan mengamankan diri sendiri melalui penimbunan harta benda dan kekuasaan untuk menjamin kehidupan 7 (tujuh) generasi kita yang akan datang ? Beranikah kita mempertanggungjawabkan kepada publik dan terlebih kepada Tuhan YME bahwa semua kekayaan yang kita miliki diperoleh berdasar kerja keras, keuletan, ketrampilan yang kita miliki dan merupakan rejeki dari Sang Pencipta Kehidupan ? Atau semua yang kita miliki merupakan buah dari KKN, ketulian kita terhadap penderitaan orang lain, ketamakan/kerakusan, pemerasan terhadap rakyat, penggusuran hak milik rakyat dll ? Bagaimana kita sebenarnya memperlakukan rakyat kecil selama ini yang sering dengan mudahnya kita beri stigma dengan kata-kata malas, bodoh, tidak produktip, boros, SDM rendah dll ? Jika masih banyak rakyat yang demikian, lalu apa hasil kerja dan pendampingan selama ini dari para birokrat pemerintah, dinas-dinas, LSM, kaum intelektual, kaum agamawan, pemuka masyarakat, tokoh adat dll ? Bukankah hal ini menunjukkan kegagalan kita bersama secara kolektip dalam pembangunan yang telah kita laksanakan selama ini ? Sesungguhnya kalau kita mau jujur dengan diri kita sendiri, saat ini golongan masyarakat menengah ke ataslah yang paling banyak menikmati kue pembangunan melalui sistem pendekatan atas-bawah (top down approach). Inilah wajah Indonesiaku yang tengah mengalami kesakitan yang luar biasa, karena kita memasuki masa transisi yang krusial dari masa ORBA yang penuh dengan ketimpangan sosial, penyakit sosial dan krisis multi dimensi menuju terwujudnya masyarakat madani (Civil society) yang kita dambakan dapat berwajah keadilan, kedamaian, bebas dari rasa takut, cerdas, kritis, berdaya , berbudaya dst. Dijaman ORBA kita mengalami suatu distorsi sosial yang luar biasa yang ditandai dengan longgarnya nilai solidaritas/ kebersamaan dan yang lebih parah adalah munculnya sifat hipokrit /munafik dimana kita mengabdi kepada dua tuan yakni Tuhan dan mamon karena menduanya sikap kita dalam menjalani kehidupan keagamaan kita. Disatu sisi kita begitu bangga dengan semarak kehidupan religius/beribadah kita, disisi lain kita melakukan KKN yang tercela dihadapan Tuhan atau dalam bahasa anak muda gaul dikenal dengan STMJ (Sembahyang Terus Maksiat Jalan). Inilah perjalan kehidupan bangsa kita yang paradoksal dan ironis, disatu sisi kita mengaku sebagai bangsa yang religius, disisi lain merusak alam melalui pengurasan SDA seperti pengurasan bahan tambang yang tak terbarukan, penghancuran secara sistematis hutan atas nama pembangunan baik oleh konglomerat karena kerakusannya, maupun oleh rakyat sendiri karena terdesak kebutuhan hidup dan karena ketidaktahuannya. Mata air yang deras sebagai sumber kehidupan telah menjadi kering dan berbalik menjadi air mata yang mengucur seolah-olah menyesali ketidakmampuan kita dalam mengelola dan melestarikan alam lingkungan tempat kita berpijak yang merupakan pinjaman anak cucu kita. Alam yang tadinya ramah semisal daerah aliran sungai (DAS) yang dilewati sungai yang airnya jernih, bening dan tenang mengalir berubah menjadi gelombang air yang besar berupa banjir yang menghanyutkan apa saja yang dilaluinya seperti halnya ular yang mengamuk menggeliat kesana kemari tidak beraturan, sehingga kawasan DAS menjadi rawan banjir, mengalami pengurusan kesuburan tanah dan menimbulkan bencana dari hulu sampai hilir. Kita kadang masih belum menyadari arti pentingnya kelestarian alam dan membiarkan semuanya berlalu, seolah-olah alam dengan sendirinya akan baik kembali seperti sedia kala.

Pendekatan top-down dan proyek

Kegagalan akan keberlajutan (sustainable) sebuah pembangunan melalui pendekatan top down dan proyek, seharusnya menjadi cermin bagi diri kita,bahwa tanpa partisipasi dan kesadaran masyarakat untuk membangun diri dan memelihara hasil-hasil pembangunannya, maka keberlanjutan pembangunan sulit diharapkan. Meskipun kita meminta masyarakat untuk mengadakan perencanaan partisipatip lewat musbangdes (musyawarah pembangunan desa) dengan menggunakan metode P3MD (Perencanaan Pembangunan Partisipatip Masyarakat Desa) , namun ketika usulan masyarakat desa yang partisipatip ini kehilangan kesempatan bagi masyarakat sendiri untuk memutuskan apa yang hendak dibangun karena yang berhak memutuskan/mencoret adalah Bappeda maupun Bappenas, akan terlihat bahwa semua hal yang dilakukan pemerintah seolah-olah menjadi tidak berkelanjutan. Pembangunan didesa yang dilaksanakan dalam bentuk proyek, ternyata telah menjauhkan masyarakat dari rasa memiliki pembangunan untuk dirinya dan menjadi ajang pesta pora KKN bagi pinpro maupun pihak yang terkait dalam proyek tersebut. Maka akan menjadi sangat kentara dan wajar apabila para kontraktor dan pinpro menjadi ‘sapi perahan’ bagi yang punya kuasa baik di eksekutip, legislatip (DPR) maupun yudikatip. Dan ketika kualitas/mutu proyek semakin jelek, maka kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menjadi semakin berkurang dan masyarakat menjadi apatis, meskipun sebenarnya masyarakat juga menikmati melalui dana yang disediakan untuk mereka (dana IDT dll). Manajemen pembangunan yang berwajah sektoral, sentralistik, topdown, dengan pendekatan proyek ternyata telah menjauhkan masyarakat dari kemandirian dan keswadayaan dan membuat masyarakat semakin bergantung. Desa masih sering dianggap sebagai obyek lahan untuk melaksanakan proyek dan belum dianggap sebagai suatu wilayah otonom yang mempunyai otoritas untuk menentukan sendiri apa yang mau dibangun dari apa yang dimiliki, dan bantuan yang disediakan hanya sebagai stimulan yang mempercepat proses pengembangan masyarakat. Pihak luar seperti pemerintah, LSM, Akademisi dll seharusnya hanya menjadi fasilitator, motivator dan konsultan bagi masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan program. Desa hanya menjadi semacam ‘tempat sampah pembangunan’, dimana semua sektor dengan gaya egosektoral masing-masing telah bertindak menjadi semacam sinterklas yang membagi-bagi hadiah kepada masyarakat. Dan ketika proyek dipaksakan di desa karena dikejar target dan waktu, masyarakat dengan aparat desa menjadi pelengkap penderita dari sebuah pembangunan.

Mengembangkan otonomi desa

Dijaman ORBA, desa mengalami marjinalisasi yang dibuktikan dengan pengendalian desa melalui Kepala Desa yang secara ex officio menjadi Ketua Umum LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), Ketua I dijabat oleh tokoh masyarakat, dan Ketua II oleh Ketua Tim Penggerak PKK yang tidak lain adalah istri Kepala Desa dan keberadaan wewenangnya dibawah Camat. Hal ini tertuang dari pengertian desa menurut UUPD No 5/1979, dikatakan, bahwa : “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1.a.). Dari rumusan ini terlihat pemahaman desa merupakan representasi pemerintah pusat, artinya kewenangan memutuskan ada ditangan pemerintah pusat dan apa yang dianggap baik oleh pusat akan dirasa baik pula untuk desa. Asumsi ini sangat kental dengan nuansa sentralistik dan mengkebiri peran desa sebagai wilayah yang otonom dan cenderung mengabaikan kebutuhan dan kepentingan rakyat yang sesungguhnya.

Di era reformasi, keinginan melaksanakan desentralisasi menjadi sangat kuat sebagai keputusan politik serta mengubah pendekatan top down dengan bottom up. Dalam UU No. 22 th 1999, pasal 1(o) disebutkan bahwa pengertian desa atau apa yang disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hokum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asa usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam system pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Pada (p) disebutkan bahwa kawasan pedesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Pencabutan UUPD No. 5/1979 dan digantikan dengan UU No. 22 tahun 1999 merupakan wujud keseriusan pemerintah transisi untuk mengakhiri dari pembangunan desa yang berwajah sentralistik, penyeragaman, ketakberdayaan (depowering), alat mobilisasi dan mengedepankan kekuasaan menuju pembangunan desa yang terdesentralisasi, memberikan ruang untuk keanekaragaman budaya, pemberdayaan (empowering) , partisipatip dan mengedepankan kesejahteraan rakyat. Penempatan desa secara otonom akan memberi peluang bagi desa untuk tumbuh secara wajar, menampung aspirasi dan kepentingan rakyat banyak. Kedaulatan rakyat menjadi realitas, dan rakyat semakin ditumbuhkan dalam daya nalar, daya analitis sehingga menjadi cerdas dan kritis. Rakyat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengemukakan dan memutuskan apa yang akan dibangun, swadaya apa saja yang dapat disiapkan , teknologi apa yang akan dipilih dll. Desa bukan lagi menjadi daerah kekuasaan para pejabat/birokrat, tetapi sebaliknya para pejabat diharpkan menjadi fasilitator, konsultan, mediator, motivator, dan bukannya menjadi koruptor, sehingga mampu mempercepat kesejahteraan warga desa. Hal ini sesuai dengan semboyan pegawai negeri yang mengklaim dirinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat sehingga tidak berhenti sebagai retorika belaka, melainkan diwujudkan dalam pengabdian melaksanakan tugasnya. Maka sudah bukan jamannya lagi jika masih ditemui pejabat yang arogan dan hanya mau dilayani, karena saat ini lebih dibutuhkan pejabat yang mau melayani dan rendah hati yang mampu melihat warga desa bukan sebagai abdi/bawahan yang lebih rendah derajad sosialnya, melainkan memandang masyarakat sebagai mitra sejajar yang membutuhkan uluran tangan dan pemikirannya untuk dapat hidup lebih bermartabat dan manusiawi, sejahtera lahir dan batin. Para pejabat, Pemuka agama, Pemuka Masyarakat, Pemuka Adat, LSM, Pengusaha dll serta semua pihak yang berkehendak baik untuk masyarakat perlu membantu dengan segala daya upaya agar warga desa menjadi semakin berdaya, kritis, cerdas dan semakin mampu menolong diri dan sesama di desanya. Yang diperlukan saat ini adalah kebersamaan kita dengan warga desa untuk membatu menfasilitasi pembuatan master plan desa, mengatur tata ruang desa, tata guna/ peruntukan lahan, pembuatan renstra desa, peningkatan ketrampilan teknis dan kemampuan berbisnis bagi warga desa, penyiapan sarana yang dibutuhkan untuk pengembangan ekonomi kerakyatan (seperti jalan beraspal/bersemen, alat traspor, sarana telepon, listrik, dermaga dll) sehingga semua potensi desa baik SDM maupun SDA dapat dioptimalkan pengelolaannya sehingga pada akhirnya juga memberi sumbangan yang berarti bagi PAD (Pendapatan Asli Desa) tanpa merusak lingkungan dan tetap menjaga keberlanjutan daya dukungnya bagi anak cucu. Dengan meningkatnya pendapatan asli desa, maka dengan sendirinya akan memperkuat otonomi daerah karena akan meningkatkan PAD kabupaten melalui peningkatan produktivitas yang tinggi dan peningkatan perputaran ekonomi di tingkat desa. Maka OTDA tidak diartikan peningkatan penarikan pajak kepada warga, namun dipahami sebagai mengoptimalkan semua potensi yang dimiliki daerah dengan bekerja secara professional yang mendasarkan pada prinsip efisiensi dan efektivitas. Maka APBD tingkat kabupaten juga harus menampakkan tampilan kinerja yang efisien dan tidak menghabiskan anggaran hanya untuk menutup biaya rutin seperti gaji pegawai, pembelian fasilitas kantor, SPJ pejabat dsb, tetapi juga menuntut pegawai negeri untuk lebih profesional dalam melayani kepentingan publik yang telah menyediakan dana untuk pembayaran gajinya.

Mari kita bergandengan tangan dalam kebersamaan mengembangkan otonomi desa untuk memperkuat OTDA dan tidak perlu meremehkan keberadaan desa, tidak perlu malu mengaku sebagai orang desa, karena sebenarnya kehidupan kota sangat bergantung pada pasokan bahan baku dari desa, baik dalam penyediaan bahan pangan maupun kebutuhan lainnya. Selamat ber OTDA ria demi terwujudnya mimpi masyarakat madani yang cerdas, damai sejahtera, berkeadilan, berbudaya dan beradab.

Tidak ada komentar: