Senin, 08 September 2008

Pengembangan dan penguatan masyarakat berbasis desa, sebuah prioritas !

Pembangunnan di jaman Orde Baru identik dengan pembangunan sentralisitik yang hanya terjadi di kota-kota industri maupun daerah yang melingkupinya. Pembangunnan kebanyakan terpusat di ibukota negara, ibukota propinsi, kabupaten dan kecamatan dengan lebih mempertimbangkan aspek keuntungan ekonomis dibanding aspek pelayanan kepada masyarakat. Kebanyakan daerah yang semakin jauh dari pusat perdagangan dan industri akan semakin tertinggal dalam penyediaan prasarana dan sarana untuk menunjang kehidupan yang lebih layak. Pulau Jawa sebagai daerah yang lebih dulu mendapat kesempatan untuk dikembangkan dan sudah dimulai sejak jaman Belanda menjadi primadona dalam era Orde Baru sehingga menimbulkan rasa kecemburuan bagi daerah lain terutama kawasan timur Indonesia.

Pengembangan kawasan desa

Dalam pengembangan sebuah desa, perlu dipikirkan untuk sejak awal membuat renstra dan merencanakan tata ruang tingkat desa yang mengatur peruntukan lahan yang diarahkan untuk pemukiman, sarana umum dan sosial, kawasan pertanian, kawasan peternakan, kawasan hutan, kawasan industri kecil dll yang dilakukan secara partisipatip dengan melibatkan seluruh warga desa serta konsultan pengembangan desa. Dalam perencanaan ini jika ada monopoli kepemilikan tanah oleh tuan tanah maupun adat, maka perlu dipikirkan adanya usaha land reform yang menjamin rasa keadilan dan mendukung perdamaian.


Link and match pengembangan industrialisasi pedesaan

Dalam pengembangan lebih lanjut, perlu dipikirkan untuk membangun sebuah industri skala kecil yang mampu mengolah hasil pertanian, peternakan maupun perkebunan dan kehutanan sehingga tidak terjadi pembuangan hasil yang melimpah karena tidak mampu dipasarkan, dan terjadi proses daur ulang yang terus menerus sehingga limbah mampu terolah dan termanfaatkan. Disamping itu industri yang dibangun juga harus mempertimbangkan penggunaan teknologi tepat guna yang mampu dikuasai masyarakat setempat, tidak padat modal dan juga dapat memenuhi kebuthan sehari-hari seperti minyak kelapa, sabun, margarin/keju, tepung untuk makanan kecil dll. Industri kerajinan kayu/rotan untuk meubel, cindera mata dll, industri penyamakan kulit hewan, industri kerajinan makanan olahan dsb dapat menjadi pilihan dalam pengembangan industri di desa sehingga mampu meningkatkan nilai tambah yang dengan sendirinya juga akan meningkatkan pendapatan. Produk asinan, manisan, tepung, keripik , dodol dsb dapat menjadi andalan apabila diproses dan dikemas secara baik dan higienis.




Mencukupi kebutuhan sendiri

Ketahanan pangan menjadi isue yang startegis dalam membicarakan pengembangan otonomi desa. Disamping pangan, perlu digali kekayaan yang ada didesa yang dapat mencukupi kebutuhan masyarakat desa baik berupa papan, sandang, pengetahuan lokal dll. Kita dapat belajar dari tokoh besar India yakni Mahatma Gandhi yang mengajak masyarakat India untuk terus menenun sendiri dan menggunakan pakaian ‘ sari’ dalam rangka membangun keswadayaan , jati diri, serta mengurangi ketergantungan pada pihak luar. Penanaman tanaman kayu untuk mempersiapkan penyediaan kayu bagi perumaham, meubel, kayu bakar dll menjadi strategis ke depan. Demikian pula pengetahuan lokal akan obat-obatan dari sejenis tumbuhan yang dapat digunakan untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman, ternak dan terutama untuk manusis perlu ditulis dan didokumentasikan.

Penguatan dan pemberdayaan masyarakat sipil.

Dalam rangka menjamin terselenggaranya kehidupan publik yang lebih demokratis, maka perlu dibangun masyarakat yang mempunyai kesadaran kritis, terbuka (inklusip), berbudaya, jujur, maka untuk mewujudkannya perlu diupayakan proses penyadaran melalui pendidikan/penyadaran kritis rakyat dan latihan menganalisis tentang realitas kehidupan sosial politik baik pada tingkat makro (nasional) maupun mikro (tingkat kabupaten). Pendidikan kritis untuk rakyat menjadi kebutuhan yang mendesak apabila kita ingin menjadikan warga desa cerdas dan kritis, karena pengalaman selama ini masyarakat desa hanya dijadikan obyek dalam suatu penyelenggaraan pemilu maupun pembangunan dan kemudian dilupakan.

Untuk penguatan dan pemberdayaan masyarakat sipil di desa , perlu dilakukan :

Pendidikan/penyadaran kritis rakyat
Penguatan ORA (Organisasi Rakyat)
Pengaliran dan penyediaan informasi secara terus menerus yang mudah dicerna rakyat
Membangun sistem kontrol rakyat terhadap penyelenggara negara (khususnya aparat desa)


Pemerintahan desa yang bersih & transparan

Kegagalan akan keberlajutan (sustainable) sebuah pembangunan pedesaan melalui pendekatan top down dan proyek, seharusnya menjadi cermin bagi diri kita, bahwa tanpa partisipasi dan kesadaran masyarakat untuk membangun diri dan memelihara hasil-hasil pembangunannya, maka keberlanjutan pembangunan sulit diharapkan. Meskipun kita meminta masyarakat untuk mengadakan perencanaan partisipatip lewat musbangdes (musyawarah pembangunan desa) dengan menggunakan metode P3MD (Perencanaan Pembangunan Partisipatip Masyarakat Desa) , namun ketika usulan masyarakat desa yang partisipatip ini kehilangan kesempatan bagi masyarakat sendiri untuk memutuskan apa yang hendak dibangun karena yang berhak memutuskan/mencoret adalah Bappeda maupun Bappenas, akan terlihat bahwa semua hal yang dilakukan pemerintah seolah-olah menjadi tidak berkelanjutan. Pembangunan didesa yang dilaksanakan dalam bentuk proyek, ternyata telah menjauhkan masyarakat dari rasa memiliki pembangunan untuk dirinya dan menjadi ajang pesta pora KKN baik bagi pinpro maupun pihak yang terkait dalam proyek tersebut. Maka akan menjadi sangat kentara dan wajar apabila para kontraktor dan pinpro menjadi ‘sapi perahan’ bagi yang punya kuasa baik di eksekutip, legislatip (DPR) maupun yudikatip. Dan ketika kualitas/mutu proyek semakin jelek, maka kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menjadi semakin berkurang dan masyarakat menjadi apatis, meskipun sebenarnya masyarakat juga menikmati melalui dana yang disediakan untuk mereka (dana IDT dll). Manajemen pembangunan yang berwajah sektoral, sentralistik, topdown, dengan pendekatan proyek ternyata telah menjauhkan masyarakat dari kemandirian dan keswadayaan dan membuat masyarakat semakin bergantung. Desa masih sering dianggap sebagai obyek lahan untuk melaksanakan proyek dan belum dianggap sebagai suatu wilayah otonom yang mempunyai otoritas untuk menentukan sendiri apa yang mau dibangun dari apa yang dimiliki, dan bantuan yang disediakan hanya sebagai stimulan yang mempercepat proses pengembangan masyarakat. Pihak luar seperti pemerintah, LSM, Akademisi dll seharusnya hanya menjadi fasilitator, motivator dan konsultan bagi masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan program. Desa di jaman Orba hanya menjadi semacam ‘tempat sampah pembangunan’, dimana semua sektor dengan gaya egosektoral masing-masing telah bertindak menjadi semacam sinterklas yang membagi-bagi hadiah kepada masyarakat. Dan ketika proyek dipaksakan di desa karena dikejar target dan waktu, masyarakat dengan aparat desa menjadi pelengkap penderita dari sebuah pembangunan.



Kriteria keberhasilan pembangunan desa

Dalam pengembangan masyarakat secara partisipatip perlu dibangun kesepakatan bersama ditingkat desa mengenai rumusan kriteria dalam menilai keberhasilan pembangunan desa dikaitkan dengan renstra desa maupun RUTD (Rencana Umum Tata Ruang Desa) yang telah dihasilkan secara partisipatip. Dengan adanya kriteria yang jelas serta adanya indikator yang jelas dalam rencana pembangunan desa setiap tahunnya akan memudahkan masyarakat dalam melakukan monitoring dan evaluasi bagi pelaksana maupun pelaksanaan pembangunan didesanya secara obyektip, terukur, dan menjauhkan masyarakat dari penilaian suka atau tidak suka.



Kekhasan daerah setempat

Kekayaan dan kearifan lokal selalu tersedia di setiap desa sehingga dapat digali untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di tingkat desa serta tidak membuat ketergantungan masyarakat desa pada pihak luar. Kekayaan desa yang biasanya berupa kekhasan/keunikan yang dimiliki dapat menjadi potensi sekaligus peluang untuk dijadikan sumber pendapatan bagi masyarakat desa. Kekhasan ini dapat berupa budaya, keragaman hayati, kekhasan ekosistem, dll.

Dalam melaksanakan pengembangan dan penguatan otonomi desa sebagai prioritas, pertanyaan kritisnya adalah apakah selama ini oleh pemerintah peran dan sumbangan desa dipandang sebagai ‘sel yang penting’ dalam menunjang ketahan sebuah bangsa dan negara,?

Tidak ada komentar: