Minggu, 07 September 2008

Siapakah investor yang sebenarnya di Republik kita ?

Dalam pemberitaan akhir-akhir ini, sering ditayangkan kunjungan Bapak Presiden SBY maupun Wakil Presiden JK ke negara lain dalam rangka meningkatkan investasi di dalam negeri yang diharapkan dapat membantu Indonesia keluar dari krisis multidimensi berkepanjangan. Demikian pula kunjungan balasan Presiden Amerika Bush baru-baru ini di Bogor yang dipenihi hiruk pikuk dn demo diharapkan dapat memperbaiki dan memberi pencitraan yang positip bagi para investor luar terhadap Indonesia Melalui berbagai forum baik didalam maupun diluar negeri , pemerintah mencoba meyakinkan pada pihak luar bahwasanya Indonesia telah siap untuk menerima kedatangan para investor yang ditunjukkan dengan berbagai upaya seperti menggalakkan pemberantasan korupsi, memangkas birokrasi perijinan menjadi lebih ramping dan singkat dengan durasi waktu yang pendek hanya dalam kurun waktu 30 hari karena telah mampu melayani dalam satu atap. Berbagai peraturan termasuk Inpres terkait investasi telah dikeluarkan untuk mendorong percepatan penanaman investasi ke Indonesia.

Rakyat sebagai investor
Mendidik rakyat dan menjadikan dirinya sebagai investor bagi negeri ini merupakan cita-cita pendiri republik ini. Kehidupan saat ini yang penuh dengan konsumerisme untuk dapat tampil hidup berlebihan serta gaya hedonisme yang memuja kenikmatan telah semakin menjauhkan masyarakat dari ajaran para pendidik di republik ini untuk hidup bersahaja, hemat dan jujur. Memburu kenikmatan dan kemewahan telah mampu menghancurkan nilai-nilai moral bangsa ini menuju kehidupan yang mendua/ambivalen , disatu sisi penuh dengan puja puji doa/sembahyang, disisi lain realitas kehidupan bertaburkan kekerasan fisik maupun psikologis, penyalahgunaan kekuasaaan (KKN), kriminalitas yang semakin meningkat baik kualitas maupun kuantitas, pudarnya kepedulian sosial sebagai wujud solidaritas sebagai sesama bangsa. Kita masih saja hidup dalam kubangan dosa (termasuk KKN tentunya) meski berbagai bencana telah menimpa negeri ini dan memporakporandakan sebagian masyarakat kita. Yang lebih aneh justru dikembangkannya solidaritas yang hanya mendasarkan pada kesamaan SARA yang semakin menonjol melalui demo, bahkan untuk kaum yang mempunyai kesamaan SARA dinegara nun jauh disana. Yang dipersoalkan bukan karena tidak boleh menunjukkan rasa solidaritas bagi bangsa lain yang kebetulan berlatar belakang SARA yang sama, namun sebaiknya solidaritas tidak memilih-milih dan seharusnya mendasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan yang universal termasuk pada sesama bangsa yang berada dekat disekitar kehidupan kita.
Kita harus berani belajar dari negeri Sakura (Jepang) dimana meskipun negara ini sudah masuk dalam kategori negara maju dan makmur, namun rakyat negeri ini tidak hidup bergelimang kemewahan, tetap hidup bershaja dan sudah terbiasa rakyatnya dengan pola menabung berkelanjutan dimana hasil tabungan diinvestasikan ke negara lain, termasuk Indonesia yang memiliki porsi hutang (negara + swasta) hampir 40 % didanai Jepang.

Infrastruktur yang mendukung kesejahteraan rakyat
Kalau kita boleh memilih, alangkah enaknya menjadi investor (warga negara asing) namun punya banyak modal untuk melakukan investasi di Indonesia. Betapa tidak, pemerintah Indonesia selama ini telah memperlakukan investor asing bak raja, terutama dalam menyediakan infrastruktur yang menunjang seperti jalan raya hotmix, sambungan langsung saluran telekomunikasi internasional, pasokan daya listrik yang tak terbatas, lokasi lahan yang strategis dekat pelabuhan (laut maupun udara), upah buruh yang murah dan mudah dikurangi hak-haknya melalui peraturan/undang-undang.
Namun coba kita bandingkan antara infrastruktur yang menunjang kehidupan penduduk perdesaan dengan perkotaan, alangkah bedanya bagaikan bumi dan langit. Kalau kita mau jujur, seberapa banyak perubahan wajah desa terutama diluar Jawa antara sebelum merdeka dengan sesudah berdirinya republik ini ? Meski sudah ada Menteri Negara yang khusus menangani percepatan pembangunan untuk wilayah tertinggal di kawasan timur Indonesia, namun secara seloroh teman saya pernah mengatakan yang dipercepat sebenarnya pembangunannya atau ketertinggalannya ?

Masih dijumpai di Nusa Tenggara banyak jalan-jalan desa yang masih bertanah dan berdebu meski sudah hampir 62 tahun kita merdeka, meski sudah hampir 6 tahun pelaksanaan otonomi daerah dilaksanakan yang katanya untuk lebih mendekatkan pelayanan publik ke masyarakat. Siapa yang salah kalau kondisinya masih seperti ini ?

Kita cenderung sebagai bangsa yang sangat sopan sehingga tidak mau menyalahkan dan mempermasalahkan siapa yang salah. Akibatnya ketika masalah terjadi, maka rakyat yang sudah hidup susah cenderung dipersalahkan. Dan akibat tidak ada yang mau bertanggung jawab atau yang dapat dimintai tanggung jawab maka permasalahan itu akan terus terulang setiap tahun seperti halnya kasus kabut asap yang sampai negara tetangga, perbaikan jalan yang belum rampung dikerjakan meski hajatan mudik lebaran sudah diambang pintu, busung lapar dan kurang pangan yang menjadi bencana yang sifatnya reguler dll.

Ada kasus yang menarik disebuah desa terpencl, ketika ditanyakan mengapa tidak menanam Tanaman Umur Panjang (TUP) seperti tanaman perkebunan dan kayu yang dapat dijual untuk menambah pendapatan, maka jawabnya karena jalan raya yang jelek dan sulitnya transpor menuju kota sehingga petani enggan menanamnya. Namun ketika hal sama ditanyakan pada Bappeda Kabupaten, jawaban kenapa tidak dilakukan pengaspalan jalan yang menuju desa terpencil tersebut, alasannya karena dari aspek kelayakan ekonomis tidak terpenuhi akibat petani malas menanam TUP. Dan kalau tidak ada dialog antara pengambil kebijakan dan rakyatnya maka tidak akan terjadi titik temu dalam memandang pembangunan, sedangkan kita tahu bahwa kemerdekaan adalah jembatan emas yang menghubungkan rakyat disatu ujung dan negara diujung lain untuk menuju masyarakat adil, damai , sejahtera dan berkelanjutan yang hanya dapat dicapai kalau pembangunan benar-benar memihak dan untuk rakyat..

Seharusnya cara pandang yang lama dikalangan para-pihak (stakeholder) yang menganggap rakyat bukan sebagai investor harus mulai diganti dengan cara pandang baru dimana rakyat harus ditempatkan sebagai investor sekaligus pemilik negeri ini.

Untuk apa ada kemerdekaan kalau tidak mampu mengubah wajah desa dari ketertinggalan akibat penjajahan menuju desa yang modern yang tersedia sarana lengkap baik listrik, telepon, tarnspor yang nyaman seperti dikota namun kebetulan hanya lokasinya saja yang berbeda yakni di perdesaan.

Untuk apa ada penyelenggaraan layanan publik oleh pemerintah, kalau masih banyak rakyat yang menjerit dalam melanjutkan kehidupannya walaupun tingkatannya kualitaspemenuhan kehidupannya masih sangat sederhana terutama hanya untuk mencukupi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan ?

Bagaimana kita mau bicara meningkatkan daya/ kemampuan berkompetisi dengan negara lain, kalau infrastruktur yang masih jelek di perdesaan justru menimbulkan biaya ekonomi tinggi (selain karena budaya KKN?) ? Bagaimana kita mau bicara peningkatan produksi pertanian, kalau sarana dasar untuk memanen air seperti melalui pembangunan waduk, checkdam, pembuatan teras guludan, pembuatan sumur dangkal maupun dalam dll tidak direncanakan dan dilaksanakan dengan baik sehingga air menjadi kurang optimal tersedia ? Bagaimana kita biscara perlunya melestarikan ketersediaan air, sementara kita membiarkan pembalakan liar hutan-hutan didaerah hulu, membiarkan pola perladangan berpindah dan tebas bakar masih boleh terus dilakukan , membiarkan ternak besar seperti sapi, kerbau lepas tanpa pengaturan tata guna lahan yang jelas peruntukannya dan menghabiskan tanaman pertanian maupun merusak lingkungan ?

Silpa untuk perbaikan ekonomi rakyat

Begitu banyak dana Silpa yang akhirnya harus dikelola dan dimanfaatkan secara cerdas, karena kita harus terus menerus sadar bahwa dana DAU banyak juga yang sumber pendanaannya merupakan pinjaman luar negeri berbunga lunak namun karena jumlah dana pinjaman yang aduhai maka konsekuensinya bunga yang harus dibayarkan juga dalam jumlah yang lumayan menguras kemampuan keuangan negara. Banyak dana yang berasal dari investor luar yang digunakan secara tidak bertanggung jawab yang pada akhirnya akan membebani keuangan negara. Sebagai contoh dana program PPK 90 % merupakan dana pinjaman Bank Dunia, demikian pula dengan program lainnya. Mengapa kita harus bergantung pada permodalan dari luar ? Apakah kita tidak punya modal untuk membiayai pembangunan kita sendiri ?

Kata kuncinya karena kita tidak/belum memberdayakan rakyat kita secara bersungguh sungguh dan berkelanjutan melalui program pemberdayaan sehingga mempunyai kecerdasan finansial yang akhirnya mampu mengelola keuangannya dengan baik sehingga mampu menyisihkan sebagian pendapatannya untuk menambah asset yang mana akhirnya diinvestasikan pada usaha. Kemampuan jiwa wirausaha dikalangan rakyat masih sangat rendah, sehingga diperlukan penanaman jiwa wirausaha melalui berbagai strategi seperti magang, kunjungan banding, akses permodalan yang mudah untuk usaha UKM dll.
Rakyat harus disadarkan untuk tidak hidup boros seperti pengeluaran biaya sosial yang tinggi karena berbagai pesta atas nama adat dll, Pejabat publik juga harus disadarkan untuk tidak melakukan pemborosan seperti biaya pengadaan dan operasioanl kendaraan dinas yang begitu banyak , biaya perjalanan dinas (apalagi kunjungan ke luar daerah/luar negeri) biaya rutin seperti listrik yang sering masih menyala disiang hari maupun air yang terbuang percuma, ATK dll.

Demikian pula dikalangan banyak pejabat publik masih banyak yang berparadigma ‘Kalau bisa boros, untuk apa berhemat? Toh ini uang negara, tidak ada sangkut paut langsung dengan diri saya sebagai pejabat! Cara pandang yang menganggaop ‘negara tidak mungkin bangkrut’ perlu dirubah karena dalam era globalisasi maka siapapun ( negara ) yang kuat modal akan menindas yang lemah dengan berbagai cara dari yang paling halus lewat intrumen keuangan (penyertaan saham dll) samapai penguasaan SDA dengan melakukan penambangan yang menguras sekaligus merusak alam. Bahkan banyak politis yang ‘dapat dibeli’ untuk kepentingan pemilik modal. Para pejabat publik juga “harus melek dan memiliki kecerdasan finansial “untuk mengelola layanan publik menjadi lebih baik, efisien dan efektip dan yang terpenting menyentuh seluruh lapisan masyarakat termasuk didaerah terpencil dan tertinggal.

SDA dan SDM yang mampu menambah asset negara

Kita sering mendengar dan membaca diberbagai media bahwa kapling untuk loaksi penambangan terus diberikan kepada pihak asing, sementara penambangan tradisionil yang dilakukan rakyat dibiarkan berlanjut tanpa campur tangan manajemen modern dan teknologi yang memadai.
Padahal kita tahu dengan mengembangkan usaha skala rumahan /rakyat yang terintegrasi dengan induknya akan sangat berarti dalam mempercepat pencapaian peningkatan kesejahteraan sekaligus memberikan kesempatan atau distribusi yang adil merata bagi warga negara dalam pengembangan usaha nasional. Kita bisa melihat peoduksi beras nasional dihasilkan oleh jaringan petani yang meskipun memiliki usaha dalam skala kecil namun besar dalam jumlah petani yang mengusahakannya. Jadi sebenarnya sstem ekonomi rakyat yang lebih memberi kesempatan berusaha serta peminjaman modal pada kalangan rakyat akan sangat kuat dibanding sistem konglomerasi yang hanya menguntungkan sebagian kecil elit negeri ini. Berkontribusi pada penguatan ekonomi nasional tidak berarti harus menjadi konglomerat, apalagi jika para konglomerat menerapkan upah buruh nurah yang cenderung menindas. Dengan kuatnya ekonomi rakyat secara merata, maka pemerintah tidak perlu kawatir menaikkan harga/nilai jual produk pertanian karena daya beli rakyat sudah kuat karena adanya pendapatan yang diperoleh dari usaha rumahannya. Bahkan dengan dukungan Teknologi Informasi maka UKM dikalangan rakyat sebenarnya sangat terdukung karena hasil usaha tidak harus dipasarkan melalui dunia nyata, tetapi dapat melalui dunia maya/internet. Hanya masalahnya apakah kita rela melalui proses dan tahapan yang panjang dan sering membosankan dan menyakitkan dalam program penguatan ekonomi rakyat ? Jangan kita menjadi lebih suka mengambil jalan pintas/instan dengan membagi uang dalam bentuk SLT (Sumbangan Langsung Tunai). Belajar kasus sukses dari teman-teman warga Wonogiri dan Wonosari yang meskipun dari ‘kampung/desa” namun akhirnya toh bisa sukses di Jakarta dengan jualan mie, bakso dsb. Juga petani Wonosari yang meskipun didaerahnya berbatuan dan gersang namun tetap mampu menumbuhkan (bukan hanya menanam) tanaman kayu sebagai “emas hijau” yang mampu mendongkrak pendapatannya. Jadi masalahnya bukan pada ‘seberapa tingkat kesuburan lahannya, tetapi yang penting adalah siapa petaninya ?”. Mari kita jangan hanya saling menyalahkan dan mencari alasan pembenaran untuk kondisi yang terus memburuk di negeri ini (pengangguran semakin banyak, penggusuran PKL terus menerus, busung lapar dll) , namun yang lebih penting dari masing-masing diri kita mampu berperan secara positip dan berkontribusi secara nyata dalam mengatasi permasalahan negeri ini. Dan yang terpenting “Tidak ada negara menjadi besar karena tingkat solidaritas sosial nya yang rendah ; Tidak ada negara menjadi maju dengan budaya korupsi/KKN yang merajalela; Tidak ada negara yang maju tanpa disiplin yang tinggi; Tidak ada negara yang akan terus berlanjut, apabila melupakan kelestarian lingkungannya”.

Mari kita wujudkan “ Millenium Developmenty Goals (MDGs) yang merupakan komitmen global dari 189 negara anggota PBB untuk mewujudkan delapan tujuan yaitu 1) Mengurangi kemiskinan dan kelaparan 2) Memastikan agar setiap anak dapat memperoleh pendidikan dasar 3) Mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan 4) Mengurangi tingkat kematian anak 5) Meningkatkan kesehatan ibu 6) Memerangi penyakit menular seperti HIV/AIDS, Malaria dan penyakit lain 7) Memastikan kelestarian lingkungan 8) Membangun kerjasam internasional dalam pembangunan.

Mari kita jaga asset warisan leluhur kita dan kita kembangkan asset tersebut demi kemakmuran dan kejayaan Indonesia. Merdeeeeeekkkkkkkkaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!!!!!!

YBT Suryo Kusumo

Pengembang masyarakat perdesaan

tony.suryokusumo@gmail.com

www.adikarsagreennet.blogspot.com

Tidak ada komentar: