Minggu, 07 September 2008

Mewaspadai dan menangkal “INVESTOR” yang seolah-olah berwajah “kerakyatan” di NTT

Menarik sekali ketika kita mencoba mengamati opini para cerdik pandai dan juga berita yang gencar akhir–akhir ini mengenai rencana masuknya para investor dari luar ke NTT dengan dana mencapai trilyunan rupiah sebagai solusi dalam mengatasi kemiskinan di NTT.

Digambarkan dengan masuknya para investor maka ‘mesin ekonomi’ NTT akan berputar lebih kencang yang berakibat akan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi disertai dengan pengurangan angka kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang akan menerima dampak positip dari adanya penanaman modal oleh investor baik berupa tersedianya lapangan kerja, pertambahan penerimaan pajak untuk peningkatan PAD dll.

Para investor dengan cerdik dan lihainya akan terus meyakinkan para pejabat dan masyarakat NTT bahwa merekalah yang merupakan dewa penolong yang telah lama dinanti-nantikan oleh masyarakat dan saat ini telah tiba dihadapan masyarakat seperti layaknya Sinterklas yang selalu ditunggu anak-anak untuk mendapat bingkisan NATAL.

Semua kalkulasi dan keuntungan yang bakal diperoleh masyarakat NTT akan dipaparkan lewat presentasi bisnis sehingga semakin memabukkan dan membawa para pejabat melayang layang bagaikan sudah serasa berada di nirwana. Terbayang masyarakat NTT akan ‘gemah ripah loh jinawi alias makmur tiada tara’ karena bumi dan kekayaan alam NTT akan diolah dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat NTT yang sudah bosan dengan kesulitan hidup yang berkepanjangan dan selalu dikonotasikan dengan serba ketinggalan.

Dalam NTT online (http://www.ntt-online.org/2007/08/27/investor-jepang-gandeng-jtg-kembangkan-jarak-di-ntt/) diberitakan sejumlah investor Jepang yang tergabung dalam kelompok kerja (working group) New Develoment Organization (NEOD) dan Japanese External Trade Organizatioan (JTERO), menggandeng Jatropha Timor Group (JTG) untuk mengembangkan tanaman jarak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai hahan bakar nabati.
“Kami bersama utusan pengusaha Jepang sudah turun ke hampir semua lokasi di Pulau Timor untuk melihat langsung tanaman jarak. Mereka sangat tertarik dan kami langsung membuat kontrak kerjasama,” kata pimpinan Jatropha Timor Group (JTG), Stanis Tefa, di Kupang, Sabtu (25/8).
Menurut dia, hasil produksi tanaman jarak dari Pulau Timor telah dikirim ke Jepang dan Malaysia untuk diuji kadar kandungan minyaknya dan hasilnya sangat mengembirakan. “Itulah yang membuat perusahan Jepang tidak ragu-ragu menandatangani kontrak kerjasama dengan JTG,” katanya.
NTT online http://www.ntt-online.org/2007/08/31/israel-siapkan-rp-6-triliun-untuk-pengembangan-jatropa-di-kupang/ memberitakan investor yang tergabung dalam Merhavv Group Israel telah menyiapkan 700 juta dolar AS atau sekitar enam triliun rupiah untuk pengembangan tanaman jarak pagar (jatropa curcas) di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Nilai uang sebanyak itu akan kami investasikan dalam pengembangan jatropa dan kegiatan lainnya hingga menghasilkan bahan bakar biodiesel,” kata Presiden Direktur Merhavv Group Israel, Gideon Weinstein, saat rapat koordinasi dengan Bupati Kupang, Drs Ibrahim Agustinus Medah beserta jajarannya, di Kupang, Jumat.
Weinstein didampingi dua orang investor Merhavv Group Israel masing-masing Jacgues Eshel dan Yosef Ziv serta empat orang pejabat PT Manhattan Capital yakni Sudiro Andiwiguna, Setiawan Sudei, Ir Muhammad Ansor dan Herman Ndoen.
PT Manhattan Capital yang berbasis di Jakarta merupakan investor nasional yang bermitra dengan Merhavv Group Israel dalam pengembangan sumber daya energi biodiesel seperti jatropa beserta infrastruktur pendukungnya di sejumlah daerah di Indonesia.
Investor asal Israel itu mengatakan dunia internasional sedang gencar mengupayakan sumber daya energi alternatif sehingga Merhavv Group Israel pun terlibat aktif mengembangkan jatropa.
“NTT merupakan daerah yang potensial untuk pengembangan jatropa sehingga kami akan investasi besar-besaran dan kami membutuhkan tanaman jatropa dalam jumlah banyak,” ujarnya.
Menurut dia, jatropa yang hendak dikembangkan di Kabupaten Kupang untuk tahap awal mencakup 50 ribu hektare dengan dukungan dana 350 juta dolar AS atau sekitar tiga triliun rupiah.
Direncanakan, pengembangan jatropa di Kabupaten Kupang mencakup 100 ribu hektare sehingga dana yang disiapkan sebanyak 700 juta dolar AS atau sekitar enam triliun rupiah.
Sementara di edisi lain NTT online http://www.ntt-online.org/2006/09/06/wagub-ntt-minta-petani-bentuk-koperasi-untuk-cegah-spkeluan/ Wagub Lebu Raya menyarankan para petani di Sumba Timur untuk mengembangkan tanaman jarak pagar (jatropha) sebagai sumber energi alternatif masa depan pengganti solar.
“Kita memiliki sebuah cita-cita untuk menjadikan semua desa di NTT sebagai penghasil energi alternatif (desa mandiri energi) karena daerah kepulauan ini sangat cocok bagi pengembangan tanaman jarak,” katanya.
“Kesulitan yang dihadapi saat ini adalah pembibitan sehingga pengembangannya masih terbatas,” katanya dan menambahkan bahwa PT Rajawali Nusantara Indonesia dalam waktu dekat akan mengembangkan tanaman jarak pada lahan seluas 100 hektare di Sumba Timur.
“Perusahaan ini tidak hanya mengembangkan tanaman jarak tetapi juga membangun pabrik untuk mengolahnya menjadi sumber energi alternatif,” kata Yuspan Pasande.
Mengapa investor mau datang ?

Siapapun investornya, manfaatnya harus dirasakan oleh masyarakat NTT ! demikian kira kira yang harus ditekankan pada arti penting masuknya investor dari luar, sama seperti bunyi iklan ‘Apapun makanannya, minumnya tetap …..”.

Yang menarik bagi kita dan harus dicari tahu informasinya adalah mengapa para invesor mau datang dan menanamkan modalnya di NTT ? Dalam pikiran seorang pembisnis maupun investor, maka perhitungan ‘harus mendapat untung’ menjadi fokus dan prioritas dalam memutuskan apakah akan menanam modal disuatu tempat.atau tidak. Sangat naif jika seorang investor datang ke suatu daerah hanya untuk membantu masyarakat tanpa memperoleh keuntungan.

Jadi yang harus menjadi perhatian dan dikritisi oleh masyarakat adalah;

v Apakah keuntungan yang akan diperoleh masyarakat sudah sebanding dengan apa yang akan diperoleh investor ?
v Apakah pengurasan sumber daya alam yang akan dilakukan investor tidak menimbulkan kerusakan lingkungan yang akan merugikan masyarakat dalam jangka panjang ?
v Apakah teknologi yang digunakan mampu dikuasai oleh kalangan muda terpelajar di NTT sehingga mampu menyerap tenaga terdidik lokal ?
v Apakah investor memberikan nilai tambah, misalnya usahanya tidak hanya mengambil bahan mentah namun mengolahnya menjadi bahan setengah jadi.
v Apakah saham kepemilikan juga diberikan kepada masyarakat berupa ‘saham kosong’ sehingga masyarakat disekitar kegiatan investasi merasa memiliki dan ada keterkaitan secara psikis maupun ekonomi dengan keberlanjutan usahanya.
v Apakah CSR (Coorporate Social Responsibility) yang dilakukan investor benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat atau hanya sekedar polesan/lipstik yang hanya untuk menenangkan dan menyenangkan warga secara instant ?


Rakyat sebagai investor harus memiliki saham

Rakyat atau masyarakat NTT sudah selayaknya memperoleh lebih banyak manfaat dan keuntungan dari keberadaan SDA yang akan dikelola investor. Sudah bukan jamnnya lagi terjadi penindasan dalam segala bentuknya untuk terus mengelabuhi masyarakat akan arti penting kehadiran investor di NTT. Cukup satu kali saja kehadiran VOC dan jangan ada lagi ‘VOC-VOC baru’ yang menjajah secara ekonomi dan menjadikan NTT ‘ladang pembantaian’ atas nama peningkatan PAD Propinsi maupun Kabupaten dan alasan logis lainnya seperti terbukanya lapangan kerja, meningkatnya perputaran uang dll.
Kita harus terus mengkritisi apakah para investor yang datang memang berniat mulia membangun NTT dengan tetap mengambil “keuntungang yang wajar” atau mereka yang datang merupakan sejenis mahluuk ‘serigala berbulu domba’ yang siap menerkam dan menguras habis kekayaan yang dimiliki NTT, baik berupa SDA atau tenaga kerja yang murah ?

Sudah saatnya masyarakat disekitar lokasi usaha , dipastikan menjadi bagian dari kepemilikan saham usaha investor yang ada didaerahnya, dengan cara investor memberi saham kosong dalam prosentase yang memadai (misal 20 %) yang nantinya SHU dari saham tersebut dapat menjadi sumber pendanaan pembangunan desa dalam jangka panjang maupun untuk menambah permodalan koperasi yang dimiliki masyarakat. Koperasi ini dapat bekerja sama secara sinergis dalam mencukupi kebutuhan usaha investor sehingga tejadi solusi yang menang- menang (win-win solution). Diharapkan dengan adanya penyertaan saham dari masyarakat maka dukungan dan jaminan kelestarian usaha akan lebih mudah terwujud tanpa harus terjadi tindakan anarkis dari masyarakat yang merugikan semua pihak karena manfaat dan kontribusi positip dari keberadaan usaha tersebut.

Pengembangan koperasi rakyat

Keberadaan usaha investor dalam suatu daearh sudah selayaknya harus memacu penumbuhan jiwa wirausah masyarakat setempat melalui berbagai peluang yang diciptakan, pelatihan yang diberikan mengenai bisnis dai investor sebagai bagian dari penerapan CSR, dan sebaiknya investor juga diharapkan mampu mendukung pengembangan koperasi rakyat yang dapat dijadikan mitra kerjanya dalam jangka panjang.
Jika investor mampu menfasilitasi pengembangan koperasi, maka manfaat yang dirasakan masyarakat akan semakin berlipat karena nilai tambah yang diberikan baik dari aspek peningkatan kecerdasan finansial/keuangan, peningkatan jiwa wirausaha dan membantu meningkatkan kemampuan manajerial masayarakat khususnya bagi pengelola koperasi. Sudah saatnya masyarakat bangkit kemandirian ekonominya melalui koperasi sehingga kemitraan yang terbangun antara investor dan koperasi mampu meningkatkan dan mempercepat perkembangan perekonomian didaerah tersebut, selain memberi lapangan kerja. Yang terpenting dari keberadaan investor adalah penularan virus wirausaha, memperkenalkan manajemen modern yang mendasarkan pada prinsip efisiensi dan efektivitas, kedisiplinan, dan etos kerja yang tinggi dalam rangka mencapai produktiviats yang tinggi. Selain itu, koperasi dapat menjadi badan usaha bisnis masyarakat untuk meningkatkan posisi tawar dalam menjual hasil komoditi pertaniannya.




Belajar dari kegagalan proyek –proyek yang ada di NTT dalam menanggulangi kemiskinan

Dalam NTT online (http://www.ntt-online.org/2007/10/03/tidak-ada-koordinasi-antar-instansi-tangani-kemiskinan/#more-4829) Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Drs. Frans Lebu Raya menegaskan, selama ini tidak ada koordinasi yang jelas antara instansi-instansi yang menangani masalah kemiskinan.
Akibatnya, setiap kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan di daerah tidak membawa perubahan signifikan dalam membantu rakyat keluar dari kemiskinan, kata Lebu Raya yang Wakil Gubernur NTT itu, di Kupang, Rabu terkait penanganan masalah kemiskinan di NTT.
Kebersamaan adalah hal penting dalam mencapai suatu tujuan bersama yakni terciptanya manusia NTT yang memiliki daya saing tinggi, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan terciptanya rasa keadilan bagi rakyat.
Lebu Raya menambahkan, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Miskin (PNPMM) yang dicanangkan Menko Kesra Aburizal Bakrie pada Agustus lalu merujuk pada satu ide dasar bahwa dalam membangun, keterlibatan dan partisipasi masyarakat sejak dini menjadi hal yang penting.
Masyarakat harus diberi ruang untuk mengambil bagian sejak awal perencanaan suatu kegiatan sampai pada pelaksanaan dan pengawasan. “Ini yang disebut kebersamaan untuk mencapai satu tujuan bersama yakni mengurangi angka kemiskinan,” katanya.
Jumlah rumah tangga miskin (RTM) di NTT sesuai dengan hasil survei dan telah melalui proses verifikasi pada tahun 2005 sebanyak 623.137 atau sekitar 65,42 persen (garis tebal dan miring oleh penulis) . Presentasi RTM tertinggi terdapat di Kabupaten Kupang yang mencapai 86,67 persen, Rote Ndao 86,66 persen dan Sumba Barat 83,55 persen.
Sementara prosentase RTM terendah terdapat di Flores Timur 26,90 persen, Sikka 36,34 persen dan Ngada 37,72 persen.
Kompas (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/19/daerah/1034979.htm) memberitakan program pengentasan kemiskinan di Nusa Tenggara Timur meski melibatkan lembaga-lembaga donor internasional, lembaga swadaya masyarakat, dan pemerintah lokal belum efektif. Ini dibuktikan masih tingginya jumlah penduduk miskin. Penyebabnya, tidak ada koordinasi antarlembaga dan penanganan masih bersifat parsial.
Masalah itu terungkap dalam rapat koordinasi pemerintah kabupaten/kota dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan utusan badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi pemerintah dan nonpemerintah luar negeri, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM), Selasa (18/5) di Kupang.
Jumlah penduduk miskin di NTT sekitar 1,21 juta jiwa atau 30,74 persen dari total jumlah penduduk.
Dr Fred Benu dari Universitas Nusa Cendana menjelaskan, permasalahan dasar pembangunan di NTT adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia. Penyebabnya, antara lain, tingginya jumlah penduduk miskin, rendahnya tingkat pendidikan dasar dan derajat kesehatan, rendahnya kinerja perekonomian rakyat dengan infrastruktur yang terbatas.
Meski program pengentasan kemiskinan sudah berjalan sejak periode pembangunan jangka panjang pertama (era Orde Baru), menurut Fred Benu, masalahnya tidak pernah tuntas. Hal ini diduga kuat karena programnya bersifat parsial, tidak mencakup aspek dan dimensi kemiskinan.
Dilain edisi (http://www.ntt-online.org/2005/11/21/wapres-tanam-50-juta-mete/) diberitakan Wakil Presiden (Wapres) RI, Jusuf Kalla menantang rakyat Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) melalui Gubernur NTT, Piet A Tallo, S.H, agar selama tiga tahun ke depan menanam 50 juta anakan jambu mete. Jika tantangan ini berhasil dipenuhi, maka di tahun ketiga pemerintah pusat membantu membangun industri pengolahan mete di NTT.
Wapres Kalla menegaskan bahwa orang NTT adalah pekerja keras. Karena itu, kata dia, sebaiknya jangan menjadi kuli di Malaysia tetapi harus menjadi tuan tanah di daerah sendiri dengan menanam jambu mete, sukun dan jarak.
“Saya justeru menantang Pak Gubernur NTT, apakah bisa dalam tiga tahun itu dapat ditanam 50 juta anakan jambu mete. Pemerintah pusat siap untuk membantu. Saya juga minta Gubernur NTT agar mulai tahun depan sudah harus ada pengembangan tanaman jarak,” tandas Wapres Kalla pada acara Pencanangan Peningkatan Produktivitas Pertanian di Desa Tesabela, Kupang Barat, Jumat (18/11).
Namun dalam NTT online (http://www.ntt-online.org/2006/08/31/ribuan-anakan-mente-bantuan-wapres-gagal-tumbuh/) sekitar 135 ribu batang anakan mente bantuan Wakil Presiden (Wapres), Muhammad Yusuf Kalla, untuk petani di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang diserahkan 18 November 2005 lalu, gagal tumbuh, antara lain akibat curah hujan tidak merata. “Penyebabnya beragam termasuk curah hujan yang tidak merata di lokasi tertentu,” kata Kepala Badan Bimas Ketahanan Pangan Provinsi NTT, Petrus Langoday, di Kupang, Kamis.
Meski pun demikian, katanya, proses penanaman mente bantuan pemerintah pusat guna mengatasi kondisi rawan pangan di NTT dapat dianggap sukses karena satu juta lebih anakan mente tumbu subur di sejumlah lokasi.
Saat itu, Wapres menyerahkan anakan jambu mente sebanyak 1.450.000 pohon senilai Rp948.981.000 yang dihimpun Departemen Kehutanan.
Wapres juga menyerahkan bantuan yang bersumber dari Departemen Kelautan dan Perikanan berupa gilnet sebanyak 45 unit, bibit rumput laut dan purse seine senilai Rp5 miliar.
Bantuan dari Departemen Pekerjaan Umum berupa pengembangan irigasi, pengembangan sumur bor dan sumur pompa dalam dua tahun anggaran dengan total anggaran Rp312,3 miliar.
Tahun anggaran 2005 dialokasikan dana sebesar Rp145,9 miliar yang terdiri atas Rp95,2 miliar APBN murni dan Rp50,7 miliar “loan” dan tahun 2006 sebesar Rp166,4 muliar.
Departemen Kesehatan mengalokasikan dana tinjauan lapangan posyandu dan pengadaan kartu menuju sehat (KMS) sebesar Rp3,3 miliar.
Kementrian Negara Koperasi dan UKM membantu bibit sukun sebanyak 500 ribu batang, dua juta batang bibit jambu mente, 500 ekor sapi dan lima unit kapal untuk nelayan yang total bantuan mencapai Rp9,5 miliar.
Sementara Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian memberikan sejumlah bantuan dengan total dana sebesar Rp34 miliar.
Bantuan tersebut berupa benih padi sebanyak 421 ton, jagung komposit 1.467 ton, kacang tanah 106 ton, kacang hijau 32 ton, pupuk area 1.783 ton, pupuk SP-36 sebanyak 36.903 ton, pompa dua inci 42 unit, pompa empat inci 140 unit dan pompa enam inci 56 unit.
Wapres juga memberi bantuan beras sebanyak 10 ribu ton guna mengatasi dampak rawan pangan di NTT, namun penyalurannya secara bertahap.
Dari berita yang tersaji diatas yang menjadi pertanyaan sudah sejauh mana NTT berubah dengan mengenalkan dan mengajak inveastor yang tertarik dalam pengembangan jarak/Jatropha ?

Dilain berita di koran lokal seperti Pos Kupang diberitakan banyaknya kegagalan dalam pengembangan jarak dan yang terakhir Aldira atau ubi kayu di Manggarai Barat yang telah menelan biaya milyaran rupiah dan berakhir sia-sia.


Saatnya kerja sama sinergis para-pihak (stake holder)?

Apa yang salah dengan semua bantuan baik dari pemerintah pusat, lembaga donor, akademisi, LSM (lokal dan internasional) dll dan modal yang ditanam dari kedatangan para investor ke NTT ?

Semuanya berkehendak baik agar NTT terlepas dari jebakan kemiskinan dan keluar sebagai pemenang menuju sejahtera.

Mari kita analisis secara sederhana, jika dilihat dari sudut dana/ uang dan bantuan berupa PMS (Project Material Support) ternyata NTT sebenarnya tidak lagi kurang kalau tidak boleh dikatakan berlebihan. Lalu semuanya menguap kemana ? Apakah karena kebijakan yang kurang pro rakyat, pengalokasian dalam APBD yang kurang untuk pembangunan infrastruktur dan lebih mengedepankan biaya untuk mobil dinas dan perjalanan dinas atau KKN yang begitu merajalela dan menggurita sehingga tidak sampai ketangan rakyat miskin? Atau karena kemiskinan ini memang ditakdirkan oleh Yang maha Murah dan Maha Baik ?

Perlu ada kajian khusus yang melibatkan para-pihak (stake holder) dan masyarakat miskin dipimpin langsung oleh Wagub Drs Frans Lebu Raya sebagai Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk secara kritis dan bersama-sama mengkaji mengapa NTT belum keluar dari permasalahan klasik tentang kemiskinan, busung lapar, kekeringan, banjir dll serta mencari solusi terbaik bagi kemajuan NTT.

Sudah saatnya masayarakat NTT dipimpin oleh para leader berupa pejabat yang cerdas, baik hati, merakyat, mempunyai kemampuan manajemen pembangunan dan wawasan bisinis, mampu mengubah wajah masyarakatnya dengan tindakan nyata yang dapat terukur kemajuannya seperti turunnya angka pengangguran, menurunnya keluarga miskin, meningkatnya derajat kesehatan masyarakat, terpenuhinya kebutuhan dasar seperti bebas dari kelaparan, gizi buruk , bertambahnya jumlah desa mandiri (pangan, energi, kesehatan dll).

Sudah tidak lagi dibutuhkan pemimpin yang hanya berlagak sok dekat rakyat, mengobral janji-janji kosong, membagi kalender foto keluarganya sebagai bentuk kampanye terselubung, apalagi yang menggunakan uang untuk mendapat dukungan politik (Money politic), menggunakan SARA untuk memperoleh dukungan dll.

Masyarakat NTT harus hijrah menjadi masyarakat yang rasional, cerdas dan pandai dalam memilih pemimpin yang benar-benar melayani seperti prinsip hidup mayoritas masyarakat NTT yakni KASIH yang tidak sombong/arogan, tidak memegahkan diri, tidak menyimpan dendam/kesalahan orang , panjang sabar dan sifat-sifat baik lainnya.Semoga



YBT Suryo Kusumo

tony.suryokusumo@gmail.com

http://www.adikarsagreennet.blogspot.com/

Tidak ada komentar: