Selasa, 09 September 2008

Siapa menabur damai akan menuai kasih dan rasa aman.

Sejak peristiwa kelabu Atambua (6 September 2000), Timor Barat pada umumnya, khususnya kota tercinta Kupang, menjadi daerah yang tidak aman dimata PBB dengan dikategorikan dalam status siaga V. Hampir sebagian besar warga asing yang berkerja di NTT setelah peristiwa tersebut memilih dan terpaksa meninggalkan kota Kupang menuju kota-kota lain di Indonesia yang dirasa lebih aman, meskipun dihati mereka terasa berat meninggalkan masyarakat NTT, khususnya para pengungsi yang sudah banyak terkurangi beban penderitaannya dengan kehadiran badan sosial internasional. Kupang mendadak menjadi kota yang semakin sepi dan sunyi, setelah sebelumnya sudah sepi akibat peristiwa kerusuhan tahun 1998, sehingga kegiatan aktivitas masyarakat dimalam hari menjadi berkurang dan lebih banyak yang memilih untuk tinggal dirumah.
Konflik yang terjadi secara beruntun telah membuat ketidakdamaian dihati masyarakat sehingga menumbuhkan rasa was-was berkepanjangan. Meskipun ada banyak harapan diakhir tahun 2000 dimana ada waktu yang bersamaan dalam memperingati peristiwa keagamaan Natal dan Idul Fitri yang dapat menjadi ajang menyambung rasa persatuan dan silaturahmi melalui rekonsiliasi religius, namun ternyata rasa damai masih jauh dari harapan. Bom yang meledak dan mengguncang serentak di beberapa kota di Indonesia di saat malam Natal yang kudus bagi umat kristiani telah menggugah kesadaran bersama masyarakat Indonesia yang masih beradab dan mempunyai nilai kemanusiaan yang meskipun majemuk dalam hal suku, etnis, agama, budaya namun tetap bersatu dalam kebhinekaan, bahwa ada tangan-tangan kejam yang bernaluri iblis/setan yang tidak kelihatan dan secara sistematis melalui upaya provokasi oleh provokator profesional dengan dana yang tersedia dalam jumlah yang tak terbatas, telah mencoba mengkoyak rajutan benang-benang persatuan bangsa yang telah diawali dirajut oleh para pendiri bangsa, untuk mewujudkan ketidakstabilan disemua bidang dalam rangka terciptanya disintegrasi bangsa. Tangan tangan sertan yang tak kelihatan ini yang mengalami kelainan jiwa/psikopat telah tega dan secara keji mengorbankan rakyat kecil yang tidak berdosa dan tidak tahu menahu duduk persoalannya, dan mereka mencoba dengan cara yang sangat halus menggeser konflik yang terjadi ditingkat elit politik kearah konflik horizontal/masyarakat , yang jika hal ini terjadi tidak dapat dibayangkan akibatnya. Kita telah melihat korban-korban bom yang berjatuhan seperti anggota Banser yang dengan solidaritas yang tinggi menjaga perayaan natal, anggota polisi dan satpam yang dengan penuh tanggungjawab menjaga keamanan masyarakat, para pedagang asongan/kecil yang hanya mencari sesuap nasi, yang kesemuanya ini hanya dikorbankan demi kepentingan kekuasaan status quo semata.

Akar ketidak damaian/ konflik

Menyikapi begitu banyaknya konflik yang terjadi, termasuk baru-baru ini di POTO yang telah membakar 55 rumah dilokasi translok dan 49 rumah dikampung lama, merusak 245 rumah dilokasi translok serta penjarahan harta benda dan penganiayaan terhadap masyarakat lokal oleh oknum-oknum pengungsi Timtim, kita harus mencari apa sebenarnya akar masalah terjadinya konflik .
Konflik saat ini sebenarnya merupakan buah dari ORBAGATE (skandal ORBA) yang cenderung menjalankan pemerintahan secara otoriter, penyeragaman disegala bidang yang melawan semboyan Bhineka Tunggal Ika, praktek KKN dan konglomerasi semu yang semakin memperlebar jurang kaya dan miskin, penindasan kaum tani melalui politik beras murah dan nilai tukar hasil pertanian (NPK) yang rendah , aparat pemerintah jaman ORBA yang cenderung menyalahgunakan kekuasaan (KKN) untuk menumpuk kekayaan dan bukannya melayani kepentingan masyarakat, dominasi pejabat tertentu yang cenderung hanya memikirkan kepentingan kelompok/ golongannya, pembangunan yang berwajah sentralistik yang mengabaikan kepentingan rakyat dipelosok-pelosok desa , toleransi semu antar agama yang direkayasa dan dipaksakan , dll telah membuktikan gagalnya pembentukan watak bangsa (nation character building) diantara masyarakat Indonesia yang majemuk/ plural. Akibatnya ketika terjadi euphoria dalam masa reformasi, masyarakat menjadi bingung, gamang dan kehilangan identitas jati diri sebagai sebuah bangsa yang beradab yang berdasar nilai luhur Pancasila sehingga sebagian warga cenderung anarkis, melakukan penghakiman sendiri seperti pembakaran orang yang disangka melakukan tindakan kriminal tanpa melalui proses hukum dll dan seolah-olah kondisi masyarakat sudah “out of control”. Dijaman ORBA uang lebih berkuasa, dan banyak diantara kita yang menjadikan uang sebagai tujuan hidup dan bukannya sebagai sarana untuk hidup lebih baik. Paham materialisme telah merasuk kedalam tulang sumsum sebagian besar masyarakat yang menyusun kerangka republik ini. Maka hampir tidak pernah dipertanyakan bagaimana memperoleh uang dan hartanya, apakah dari ketamakan, keculasaan, KKN dsb atau dari hasil kerja keras ? Masyarakat sebagian terbius oleh glamour kehidupan kebendaan dan melupakan tujuan hidup yang hakiki yakni selamat didunia dan di akhirat (masuk surga). Dalam masa ORBA, masyarakat cenderung saling memakan dan menindas satu dengan lainnya sehingga nilai-nilai solidaritas menjadi semakin longgar dan tambah diperparah dengan pembungkukan (bukan penegakan) hukum oleh uang dan kekuasaan. Keadilan dipermainkan , ketidakbenaran yang dibenarkan dan orang-orang jujur disingkirkan.

Program pengentasan kemiskinan

Tidak dapat dipungkiri, dalam masa Orba banyak hal positip yang telah dibangun, terutama dalam hal pembangunan prasarana dan sarana fisik, namun pembangunannya lebih memihak pada rakyat perkotaan (sentralistik) . Dan dilihat dari indikator efisien dan efektip, maka dapat dipastikan secara logika antara input pembangunan (perusakan SDA, hutang luar negeri, pengurasan kekayaan tambang dll) dan output pembangunan, menjadi tidak efisien dan efektip. Apalagi jika keberlanjutan (sustainable) juga menjadi indikator yang penting, maka dapat dipertanyakan keberlanjutan hasil-hasil pembangunan yang ada. Saat itu banyak nilai-nilai luhur telah dijungkirbalikkan atas nama pembangunan dan stabilitas, sehingga pendekatan keamanan dan kekuasaan lebih dikedepankan, termasuk pelanggaran HAM. Ketika disadari pembangunan ekonomi yang berbasis konglomerasi semu dan penuh KKN ternyata menimbulkan jurang yang menganga lebar dalam masyarakat, maka dibuatlah program pengentasan kemiskinan yang dikenal dengan IDT. Program ini memang bertujuan baik dan mulia untuk masyarakat miskin, namun dalam pelaksanaan sangat sulit mengentaskan masyarakat desa. Hal ini disebabkan ekonomi kita tidak dibangun bermula dari masyarakat desa, terbukti dengan rendahnya NPK, rendahnya tingkat produksi petani, kurang tersedianya kredit tani yang cukup( baik dari jumlah maupun kemudahan petani di desa mengaksesnya), kurangnya jumlah jalan beraspal, transpor yang murah, sarana telekomunikasi, listrik dll. Pengembangan SDM ditingkat desa melalui pendampingan oleh pendamping IDT serta penyediaan modal melalui dana IDT dll, ternyata tidak cukup membantu keberlanjutan masyarakat dalam mengentaskan dirinya dari kemiskinan. Hal ini diperparah dengan urbanisasi tenaga kerja muda dan berpendidikan yang lebih memilih meninggalkan desanya yang sepi dan tidak menjanjikan pekerjaan, menuju kota karena ada tersedia semua sarana seperti listrik, telepon seluler, jalan beraspal, traspor yang cepat dan mudah, hiburan dan juga lapangan kerja. Pembangunan yang terpusat di kota telah menyedot potensi SDM di desa seperti halnya lampu petromax yang menyedot kunang-kunang dan serangga lainnya untuk mendatangi lampu tersebut meski beresiko mati terkena panasnya api lampu. Demikian pula perkembangan kota cenderung selalu menciptakan daerah kumuh dan menyisakan banyak persoalan seperti pengangguran, penyakit sosial (kriminalitas, prostitusi, perjudian, narkoba, sex bebas dst) dll. Maka program pengentasan kemiskinan hanya menjadi sebuah polesan pembangunan, seperti halnya lipstik yang mempercantik wanita dari luar, namun hanya sementara sifatnya, dan ketika terhapus maka akan terlihat keasliannya.

Membangun damai dari desa secara partisipatip

Melihat pengalaman pembangunan di jaman ORBA, sudah saatnya kita memakai paradigma baru yakni pengembangan desa yang berwajah kerakyatan melalui pelaksanaan OTDA. Penerapan OTDA secara benar dan proposional sebenarnya merupakan peluang emas untuk menabur damai dari desa melalui pemberdayaan masyarakat dan mengembangkan pembangunan masyarakat secara partisipatip melalui pendekatan budaya yang mengajarkan kearifan lokal. Era Otda dapat digunakan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat desa merencanakan pembangunannya sendiri yang benar-benar aspiratip dan memihak kepentingan rakyat banyak. Pemerintah daerah (Pemda) transisi reformatip saat ini sebaiknya dalam melaksanakan OTDA tidak hanya berkutat pada mempertahankan biro, dinas, pembagian jabatan dan kenaikan eselon, tetapi lebih memikirkan bagaimana membangun desa yang berwajah keadilan yang menciptakan rasa damai. Maka jika rasa damai dapat ditabur dan disemai melalui pembangunan masyarakat desa, baik pembangunan religi/ agama, sarana fisik , ekonomi (misal industrialisasi pedesaan/agroindustri), budaya, dll, akan dengan sendirinya tercipta kedamaian di NTT, karena akar-akar konflik mulai tercabut satu demi satu, rakyat semakin merasakan arti pembangunan yang sebenarnya, dan provokator tidak mampu lagi mencoba mengkoyak persatuan warga sebagai sebuah bangsa, baik melalui isu SARA maupun kesenjangan sosial-ekonomi. Kita tidak lagi terjebak dalam pengkotakan yang sempit oleh kedaerahan, suku, agama, ras, ekonomi, budaya dll yang eksklusif, tetapi mengarah ke pembentukan masyarakat madani (civil society) yang inklusif, terbuka menerima perbedaan yang ada sebagai rahmat dan berkat untuk saling meperkaya dan tidak mengembangkan perbedaan sebagai sumber konflik, sehingga siapapun orangya baik petani, pegawai negeri, bisnisman dll yang pendatang maupun minoritas tidak perlu risau dan ingin cepat-cepat pulang kedaerah asalnya. Maka apabila hal ini terwujud, harapan pendiri bangsa yang tercantum dalam pembukaan UUD 45 yakni menciptakan perdamaian dan ikut menjaga ketertiban dunia akan tercapai.Mari kita mulai membangun dan menabur rasa damai dalam diri kita sendiri, keluarga , lingkungan kita, desa kita dan seterusnya sehingga kasih tercermin dalam perbuatan nyata kehidupan keseharian kita sebagai orang yang beriman, dan tercipta rasa aman yang berkelanjutan. Maka barang siapa menabur damai akan menuai rasa aman dan kasih dari sesamany

Tidak ada komentar: