Selasa, 09 September 2008

Kekerasan yang melingkar-lingkar, salah siapa ?

Kehidupan masyarakat Indonesia saat ini penuh dengan kekerasan baik berupa kekerasan personal, institusional maupun struktural. Setiap hari kita dihadapkan pada informasi mengenai terjadinya kekerasan, baik berupa teror bom yang menjadi tren/kecenderungan saat ini, pembunuhan, perkosaaan, kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak baik fisik maupun psikis, kekerasan terhadap pembantu rumah tangga, dan jugaketimpangan social dan ketidakadilan yang merupakan pemicu dari kekerasan itu sendiri. Begitu banyak pengungsian terjadi di Aceh, Kalimantan Barat, Poso, Ambon, Timor Barat dll yang kesemuanya merupakan korban dari tindak kekerasan akibat konflik politik dan SARA yang begitu banyak menyeret rakyat kecil yang tidak tahu menahu dengan masalah politik dan SARA. Banyak diantara kita yang pasti tidak tega menyaksikan mereka yang menjadi korban kekerasan seperti misal korban bom di gereja maupun ditempat umum (seperti di Bursa Efek Jakarta maupun Plaza) dan selalu mengutuk para pelaku kekerasan. Namun mereka yang menyukai kekerasan dan mengambil jalan kekerasan sebagai alat untuk mencapai tujuan seolah-olah menjadi buta matanya dan tuli hatinya, telah kehilangan daya nalar dan hati nuraninya dan terus melanjutkan kegitannya menebar ketakutan dan kekerasan dimana-mana. Selalu saja muncul kekerasan yang seolah-olah melingkar lingkar tak bertepi dan menjadi tugas kita semua untuk mencari jalan keluar sehinggga terwujud impian masyarakat yang adil dan damai.


Akar penyebab kekerasan

Sangat sulit membuat daftar akar penyebab terjadinya kekerasan, karena kekerasan sebenarnya merupakan permasalahan yang tidak berdiri sendiri dan terkait dengan sistem yang ada dalam tatanan kehidupan masyarakat kita serta bagaikan spiral yang terus melingkar –lingkar, dalam artian kekerasan yang satu menumbuhkan kekerasan lainnya. Kita tidak dapat menganggap kekerasan sebagai masalah yang sederhana, dan harus menjadi fokus perjuangan kita semua untuk melawan kekerasan dalam segala bentuknya. Tokoh anti kekerasan yang terkenal seperti Mahatma Gandi, Martin Luther King Jr Uskup Agung Dom Helder Camara, Ibu Gedong dari Bali , Romo Mangun, Gus Dur dll perlu diteladani dan ditindaklanjuti oleh generasi penerus dalam memperjuangkan perlawanan terhadap kekerasan dalam segala bentuknya baik oleh perorangan, institusi maupun atas nama negara.
Kekerasan biasanya dapat berupa ketidak adilan baik menyangkut ;
Ø tidak diindahkannya hak-hak dasar yang dimiliki manusia itu sendiri seperti tercantum dalam piagam HAM,
Ø masalah ketidakadilan gender,
Ø upah yang rendah dan tidak manusiawi,
Ø hak konsumen yang diabaikan,
Ø hak cuti yang tidak diberikan sepenuhnya untuk para pekerja
Ø tidak tersedianya lapangan kerja bagi rakyat
Ø harga komoditi pertanian yang terlalu rendah dan tidak adil,
Ø penganiayaan fisik maupun psikis terhadap perempuan, istri, anak, orang lain
Ø kebijakan pembangunan yang terpusat di perkotaan
Ø kebijakan yang menggusur kaum marginal
Ø mahalnya biaya pendidikan yang tidak terjangkau rakyat kecil
Ø KKN yang meraja lela
Ø Pelayanan publik yang kurang baik dan cenderung diskriminatif hanya untuk kota dan kurang perhatian untuk daerah terpencil dari pemerintah
Ø Penguasaan dan pengusahaan SDA(tanah/ lahan , tambang, hutan dll) maupun akses informasi yang hanya terpusat pada golongan elit
Ø Tirani minoritas maupun mayoritas
Ø Pengebirian kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan yang dimiliki rakyat.
Ø Monopoli dalam perdagangan
Ø Dan masih banyak lagi yang belum disebutkan.

Lawanlah kekerasan!

Kekerasan dalam segala bentuknya tidak dapat diterima meskipun dengan alasan yang sangat logis dan pembenaran yang rasional. Melawan kekerasan adalah inti dari perjuangan menegakkan demokrasi, mewujudkan kasih kepada sesama, meningkatkan keberadaban kita sebagai manusia beradab ciptaan tertinggi dari Tuhan Yang Maha Esa. Menyelesaikan segala konflik dan pertikaian dengan kekerasan sebenarnya tidak menyelesaikan masalah, namun justru menambah masalah baru yang lebih runyam dan meyulitkan untuk dicari solusinya. Kita harus bijak menentukan sikap dalam menyelesaikan setiap masalah/konflik yang kita hadapi dengan pendekatan anti kekerasan dan anti anarkhi, seperti halnya motto Perum Pegadaian yakni menyelesaikan masalah tanpa masalah. Melawan kekerasan dengan kelembutan hati hanyalah salah satu cara untuk tidak terjebak masuk dalam lingkaran spiral kekerasan. Kita harus melihat akar masalah kekerasan yang terjadi antara lain ketidak adilan. Mengurangi kekerasan dan menggantikan dengan budaya beradab yang mengedepankan musyawarah untuk mencapai mufakat hanya dapat abadi kalau kita mampu mengurai benang ketidak adilan yang terjadi diseputar kita, serta melakukan penyadaran/konsientisasi baik pada kaum penindas maupun kaum tertindas sehingga dapat dicapai kompromi yang dapat diterima oleh semua kalangan yang terlibat dalam konflik. Maka melawan kekerasan, tidak hanya menyuarakan kasih dan meningkatkan derajat pemahaman kita terhadap religiositas, tetapi juga tindakan praksis penerapan ajaran agama untuk melawan setiap bentuk penindasan, termasuk yang dilakukan oleh lembaga agama sekalipun, sehingga agama bukan merupakan candu dan memberikan impian kosong, melainkan menjadi garam dan terang yang mampu mengubah kehidupan diseputar kita menjadi lebih manusiawi dan lebih beradab. Karena pengalaman selama ini mengajarkan kepada kita tentang tidak adanya jaminan yang mengatakan bahwa tidak akan ada lagi tindak kekerasan dari masyarakat yang mengaku agamis maupun jaminan yang pasti dari negara akan hak hidup dan hak milik warga negara. Kita dapat melihat dengan jelas bahwa perbedaan sikap beradab dan biadab sangat tipis, hanya dibatasi satuan waktu. Ketika orang Madura masih bisa saling tersenyum dan saling mengasihi dengan orang Dayak maka kita katakan sebagai masyarakat beradab, namun ketika mereka saling menyerang dan membunuh tanpa rasa kemanusiaan kita katakan sebagai biadab, demikian pula di Ambon ketika masyarakat asli Ambon/Maluku dengan pendatang terutama BBM (Buton, Bugis, Makassar) hidup berdampingan secara damai dengan tradisi budaya kerukunan yang kuat meski berbeda agama, suku dll maka kita katakan masyarakat yang beradab, namun ketika mereka saling membantai dan menjadi dua kubu yang bermusuhan yakni kubu merah melawan putih (bukan merah putih yang menyatu seperti bendera Indonesia) maka masyarakat sudah terjerumus ke situasi yang biadab dimana kita dapat melihat para lansia yang tidak kuat berjalan harus digendong utnuk menyelamatkan diri dari kebinasaan akibat tembak menembak dua kubu yang berlawanan dan anak-anak yang menangis histeris ketakutan dalam rangkulan dan gendongan ibunya yang mencoba memberi perlindungan kepada anak yang dikasihinya untuk terus dapat bertahan hidup. Perang antar suku yang memperebutkan sebidang tanah seharusnya tidak perlu terjadi apabila ada kesadaran akan pentingnya distribusi lahan yang adil bagi kedua belah pihak dan jika perlu mengajak kedua belah pihak untuk mengelola secara bersama untuk memenuhi kebutuhan bersama sebagai wujud hidup berdampingan secara damai dan solidaritas sejati. Kekerasan selalu mengorbankan orang-orang yang lemah seperti perempuan, anak-anak , lansia maupun para penyandang cacat. Pelaku kekerasan yang merasa sebagai pahlawan hendaknya menangisi dirinya sendiri yang merasa heroik, namun mengorbankan mereka yang lemah. Keperkasaan mereka dalam kekerasan sebenarnya tidak pernah menang secara hakiki, karena mereka hanya menang melawan orang-orang lemah dan yang lebih penting adalah mereka dikalahkan oleh rasa kemanusiaannya sendiri yang beradab ketika memuja kekerasan yang melawan kemanusiaannya sendiri. Demikian pula dikalangan birokrat pemerintahan yang mengambil kebijakan untuk kepentingan publik, hendaknya menyadari ketika kebijakan yang dituangkan dalam Perda maupun peraturan lainnya menumbuhkan dan menyinggung rasa ketidak adilan dari rakyat, maka anda sebagai birokrat secara tidak langsung sebenarnya melakukan kekerasan secara sistemik/sistematis yang berdampak luas karena akan menimbulkan perlawanan maupun pembangkangan rakyat baik aktip seperti demo-demo maupun pasif seperti tidak mau membayar pajak dll. Maka menjadi kewajiban kita semua dengan talenta yang dipunyai untuk mewujudkan keadilan sebagai bukti bahwa kita melawan kekerasan yang ada dimasyarakat. Kita ciptakan aturan –aturan yang lebih memihak rakyat banyak, memberi rasa keadilan, menumbuhkan rasa solidaritas sejati dikalangan rakyat sebagai satu bangsa yang besar dan beradab seperti halnya semboyan bhinekka tunggal ika..
Dan kita ciptakan pasar yang adil, pembangunan prasarana dasar yang merata terutama untuk daerah terpencil, kita bangun perekonomian rakyat melalui ekonomi kerakyatan, kita didik masyarakat melalui pemberdayaan dalam segala bidang terutama pemberdayaan politik rakyat sehingga menjadi kritis dan cerdas dengan memberikan pendidikan formal maupun non formal yang murah dan terjangkau, kita distribusikan asset negara berupa Sumber Daya Alam (SDA) bukan pada segelintir elit tetapi pada rakyat yang berada di lokasi sekitar keberadaan SDA sehingga mereka dapat menjaganya serta dapat menikmati kehidupan yang lebih sejahtera dari pengelolaan SDA tersebut. Mari kita jauhkan retorika, kita singsingkan lengan kita dan kita uji kesungguhan kita semua dalam keberpihakannya kepada rakyat banyak melalui program kerja kita dalam ikut serta menciptakan perdamaian dan keadilan di bumi NTT khususnya, dan Indonesia pada umumnya Jangan lagi kita mengulang kesalahan yang sama memuja kekerasan sebagai jalan penyelesaian, melainkan kita bangun demokrasi yang santun, jauh dari kekerasan, serta membawa masyarakat dalam proses dialogis yang sehat, transparan, rasional sebagai wujud dari dialog iman, dialog karya dan aksi. Kita ziarahi kehidupan kita dengan lebih mengedepankan nilai-nilai moralitas dalam mencapai pencarian kehidupan yang hakiki yang terbebas dari nafsu kesewenang-wenangan/kekuasaan, sehinggga wewenang yang ada pada kita bukan untuk menambah kekerasan, melainkan menjadi peminpin yang melayani dan tidak bermental BOS yang mampu memberi rasa sejuk, damai, dan yang lebih penting mewujudkan suasana adil dalam kedamaian dan damai dalam keadilan. Kita bangun komunitas masyarakat yang tercukupi secara materi, namun tidak mengabaikan spritualitas iman dalam setiap tindakan kita sehingga kita akan mencapai oase yang sejuk dalam kedamaian abadi di surga.Semoga !!!

Tidak ada komentar: