Selasa, 09 September 2008

NTT, miskin atau dimiskinkan ?

Nusa Tenggara Timur (NTT) telah sejak dari jaman penjajahan Belanda sampai jaman reformasi saat ini ( dialam kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia) masih tetap saja mengalami kemiskinan. Hal ini ditunjukkan oleh data statistik nasional yang memasukkan NTT sebagai propinsi termiskin kedua setelah Papua. Bahkan Kabupaten TTS berdasarkan data tahun 1998 ditetapkan menjadi kabupaten paling miskin di Indonesia . Demikian pula dari 14 kabupaten termiskin, 10 kabupaten diantaranya berada dalam wilayah administrasi Provinsi NTT. Ditinjau dari aspek keuangan, selama lima tahun berturut-turut provinsi ini menjadi provinsi termiskin di Indonesia berdasarkan total kegiatan ekonomi per kapita (PDRB per kapita). Menurut Dr. Deno Kamelus keadaan penduduk miskin NTT pada Juli 1999 tercatat 567.591 KK, dan jika setiap KK terdiri dari lima orang, maka jumlah penduduk miskin di NTT sekitar 2,83 juta jiwa atau 78,2 persen dari 3,62 juta jiwa penduduk NTT. Di bidang pendidikan ternyata masih menurut Kamelus, NTT terbilang miskin pendidikan, yang dapat dilihat dari 81,04 % penduduk NTT hanya berpendidikkan SD, bahkan tak tamat, 8,67 % berpendidikan SLTP, 8,64 % pendidikan SLTA dan hanya 1,65 % menamatkan pendidikan di perguruan tinggi (Kompas, 12/3/2001). Inilah sebagian potret buram wajah kita yang seharusnya membuat kita sebagai warga NTT tergugah untuk menggugat kemiskinan yang ada dan mencarikan solusi secara bersama-sama. Keprihatinan rakyat adalah keprihatinan anggota dewan terhormat (DPRD), para eksekutip, para penegak hukum, kaum agamawan nurani , intelektual kritis, LSM sejati , pers idealis, seniman rakyat, dan semua pihak yang peduli akan arti penderitaan hidup dalam gelimang kemiskinan.


Lingkaran setan kemiskinan

Ketika kita membicarakan kemiskinan, kita sering disibukkan dengan mencari arti dan definisi dari kata miskin itu sendiri. Di era pelaksanaan program IDT kita telah mengetahui bersama betapa repotnya pemerintah pusat maupun daerah memasukkan kriteria sebuah desa miskin. Demikian pula dengan BKKBN telah mencoba merumuskan kriteria miskin dan tidak miskin yang terbagi menjadi kelompok pra sejahtera, sejahtera 1, sejahtera 2, sejahtera 3 dan sejahtera 3 plus.

Menurut dokumen MASRI (Majelis Antar Serikat Religius Indonesia) tahun 1984 dilukiskan secara cukup luas apa yang dimaksud orang miskin dan kecil yakni antara lain orang yang tak berdaya karena mengalami aneka macam pemiskinan ….. yang membuat semakin banyak orang hidup semakin tidak manusiawi dan tidak menggambarkan bahwa dia adalah citra Allah yang bermartabat sebagai manusia (no 6) dan pada umumnya mereka hidup dibawah taraf kewajaran manusia (no 7) (Kemiskinan dan Pembebasan, hal 98).

Kemiskinan menjadi sebuah fenomena keseharian yang akrab dengan kehidupan rakyat kecil yang mencoba untuk terus bertahan dan mempertahankan sebuah kehidupan yang harus dilakoninya. Miskin itu sendiri dapat dalam bentuk jasmani maupun rohani. Hidup dalam kemiskinan sebenarnya tidak diharapkan dan tidak disukai setiap manusia karena identik dengan kehinaan, hidup dalam suasana tanpa ada pilihan dan penuh permasalahan. Mereka, kaum niskin selalu mencoba keluar dari lingkaran kemiskinan dan mencari dimana sebenarnya setannya berada ? Mereka, rakyat kecil meskipun hidup serba kekurangan dan terhisap secara sistematis oleh sebuah sistem yang mendunia yang kita kenal dengan kapitalisme, namun tetap berusaha dengan segala daya dan kemampuan yang dimiliki untuk tidak terus berkubang didalam lumpur kemiskinan. Meskipun prasarana dan sarana dasar untuk sebuah kehidupan yang layak belum terpenuhi, namun mereka tidak merengek seperti para pegawai negeri, para karyawan swasta maupun buruh yang meminta gajinya dinaikkan. Siapa yang peduli dengan besarnya pendapatan rakyat kecil ? Kalaupun rakyat kecil merasa pendapatannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan fisik agar “ dapat bertahan dari kematian”, kepada siapa rakyat kecil yang miskin ini akan mengadu ? Memang kalau kita kembali pada UUD 45 disitu tertuang dalam pasal 34 yang berbunyi ‘Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara’, namun dalam realisasinya masih jauh dari kenyataan. Kemiskinan seolah –olah menjadi begitu akrab dalam kehidupan sebagian warga NTT sehingga sudah tidak lagi dirasakan sebagai sebuah masalah, karena pertunjukan sebuah lakon kehidupan harus terus berjalan ke depan (show must go on). Kehidupan tidak berjalan mundur, dan meratapi kemiskinan adalah aib bagi rakyat kecil. Dalam penderitaannya, mereka masih memegang nilai-nilai luhur warisan nenek moyang seperti kejujuran, tidak rakus, tidak merusak alam, solider dengan sesama dll. Jika demikian keadaannya, siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab terhadap adanya kemiskinan di NTT ? Atau kalau mau ditelusuri lebih jauh, siapa sebenarnya yang menjadi setan yang sesungguhnya dalam sebuah lingkaran kemiskinan?

Proses pemiskinan

Kemiskinan adalah akibat dari sebuah proses panjang yang terkait antara pengelolaan ketersediaan SDA yang mampu menjamin daya dukung terhadap manusia yang mendiami, kemampuan SDM dalam menyiasati hidup baik dalam hal budaya, pola pikir, ketrampilan teknis yang dimiliki (teknologi) maupun keterkaitannya dengan daerah lain yang saling bergantung (interdependensi). Kemiskinan dapat terjadi akibat rakyat tak berdaya dalam menghadapi berbagai macam proses pemiskinan yang disebabkan adanya ketidakadilan dalam berbagai aspek, baik sosial, ekonomi, budaya maupun politis.

Namun sampai saat ini masih banyak dari kita yang menganggap kemiskinan adalah akibat kesalahan orang miskin itu sendiri yang malas, suka judi, mabuk , tidak mau maju, tidak jujur/suka menipu dll. Memang didalam masyarakat masih dijumpai sebagain kecil kelompok rakyat miskin yang mempunyai sifat demikian, namun kita juga tidak memungkiri dan menutup mata adanya sebagian besar kaum miskin yang ada disekitar kita adalah para pekerja keras, ulet namun mereka tetap saja terpinggirkan menjadi kaum marginal/pinggiran yang tetap miskin.. Kita juga dapat melihat kehidupan petani kecil yang telah bersusah payah mengolah lahan untuk kemudian setelah panen dijual ke pasar. Mereka berangkat pagi hari menuju pasar sering hanya berjalan kaki dikegelapan pagi . Kemiskinan pedagang kaki lima dan petani kecil ini jelas tidak dapat ditimpakan kesalahannya pada para pedagang maupun petani itu sendiri, melainkan karena struktur ekonomi makro dan kebijakannya yang tidak memihak rakyat kecil yang miskin.seperti tidak disediakannya sarana yang memadai untuk tempat berdagang yang strategis bagi pedagang kecil, rendahnya Nilai Tukar Hasil Pertanian yang tidak sebanding dengan harga kebutuhan sehari-hari (dari hasil industri seperti sabun , minyak kelapa dll). Jika pegawai negeri maupun karyawan/ buruh swasta masih ada penyesuaian gaji terhadap inflasi, maka para petani ini tidak ada yang menyuarakan ketika pendapatannya tak mencukupi akibat harga jual hasil panennya sangat rendah, sementara harga sembako semakin melangit.

Proses pemiskinan yang lebih jelas terlihat dalam sebuah perkebunan maupun lingkungan kawasan industri. Upah buruh yang sangat rendah dengan jaminan/tunjangan kesehatan, asuransi maupun hari tua yang tidak memadai memaksa buruh terus hidup dalam kemiskinan, meskipun mereka bekerja keras dengan lembur dsb.

Kepemilikan asset/modal yang tidak terdistribusi dengan baik, seperti lahan yang dikuasai oleh tuan-tuan tanah di desa maupun petani berdasi diperkotaan , penguasaan HPH yang berlebihan oleh para konglomerat penipu, potensi tambang yang tidak dikelola oleh rakyat, teknologi tinggi yang hanya dikuasai oleh sekelopok elit pengusaha, ketidak adilan dalam pengalokasian dan penyaluran kredit untuk para pengusaha dibanding untuk rakyat /petani kecil dll merupakan faktor yang menyebabkan rakyat semakin miskin dalam kemiskinannya.

Kurang tersedianya pelayanan yang baik kepada publik (rakyat) oleh pemerintah daerah sejak jaman ORLA sampai saat ini telah ikut pula menyebabkan semakin derasnya proses pemiskinan yang dialami rakyat NTT. Akuntabilitas yang rendah kepada publik (rakyat) serta kurangnya profesionalisme dari aparat pemda, karyawan swasta, LSM dll dalam hal kinerja dan hasilnya , serta ketidakberdayaan rakyat dalam mengakses dan mengontrol kebijakan yang diambil DPRD bersama Pemda (yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya), telah menyebabkan pelayanan yang diberikan aparat dinas-dinas yang terkait dengan usaha pemakmuran rakyat maupun pelayanan dari pihak swasta/LSM menjadi tidak signifikan dalam merubah nasib rakyat miskin. Kurangnya sarana dasar yang memadai untuk hidup layak, serta menunjang kegiatan ekonomi pedesaan seperti jalan beraspal/bersemen, ketiadaan sarana komunikasi, listrik, trasportasi yang murah (baik laut maupun darat) telah ikut membuat kemiskinan di desa terus melingkar-lingkar tak bertepi. Kebijakan yang merugikan rakyat namun tetap dilanjutkan seperti kasus pohon cendana di jaman ORBA, HTI, sentralisasi pembangunan sarana penunjang ekonomi yang hanya di pusat kota propinsi, kabupaten, maupun kecamatan, mentalitas KKN, pendekatan top down dan proyek, urbanisasi kaum muda ke kota , rendahnya nilai tukar hasil komoditi perkebunan seperti kemiri, jambu mete,dll telah ikut menyebabkan semakin terpuruknya kehidupan kaum petani miskin di pedesaan NTT.




Akar kemiskinan

Menjadi pertanyaan menarik adalah apakah NTT memang diciptakan untuk miskin atau ada sesuatu yang salah dalam mengelola pembangunan sehingga kita mengalami kemiskinan yang melingkar-lingkar ? Apakah kemiskinan yang dialami oleh saudara-saudara kita, benar karena SDA yang kurang mendukung terciptanya kemakmuran ? Atau kemiskinan itu sendiri terkait dengan budaya, adat –istiadat , pola pikir, etos kerja, ketrampilan yang dimiliki atau dengan kata lain karena keterbatasan kemampuan SDM nya ? Atau kemiskinan itu sendiri adalah hasil dari sebuah kebijakan pemerintah dimasa lalu yang sentralistik, penuh KKN dan kebijakan ekonominya secara makro tidak memihak pada rakyat kebanyakan ? Atau para intelektual, pegawai negeri, kaum agamawan, seniman dll menganggap bahwa kemiskinan memang sudah selayaknya terjadi dan tidak mungkin diubah menjadi sebuah kemakmuran ? Melihat dari terjadinya proses pemiskinan yang telah diuraikan sebelumnya, terlihat apa saja sebenarnya yang menjadi akar dari penyebab kemiskinan. Kita perlu menggugat keadaan ini untuk diubah menjadi kehidupan yang penuh dengan kemakmuran yang adil dan mensejahterakan rakyat NTT.

Solusi keluar dari kemiskinan

Memang tidak mudah mencari solusi untuk keluar dari permasalahan kemiskinan. Sudah begitu banyak para pakar / kaum intelektual dari berbagai disiplin ilmu di NTT maupun dari berbagai pihak seperti GEREJA, PEMDA, LSM, PERS dll berusaha menyelesaikan masalah kemiskinan di NTT melalui berbagai metode dan pendekatan.

Ada yang menghendaki kemiskinan di NTT diatasi lewat ; a) kebijakan pengembangan ekonomi rakyat melalui pembangunan pedesaan dalam bidang agro industri, peternakan, kelautan dan pariwisata, b)pencerdasan rakyat melalui pendidikan formal (SD, SLTP.SLTA, PT) dan non formal (pelatihan teknis pertanian, peternakan, berbisnis dll), c) pendidikan politik rakyat, otonomisasi, penegakan hukum (menghukum pelaku KKN, mengadakan land reform sesuai UU Agraria, penciptaan UU, Perda yang memihak rakyat dll), d) peningkatan profesionalisme para aparat pemda dalam melayani kepentingan publik (penempatan pejabat berdasar berprestasi, bukan berdasar primordialisme), e) melalui himbauan moral (seruan untuk pola hidup sederhana dll), pengumpulan dana masyarakat (melalui pola pendidikan GNOTA, pengumpulan dana lewat media massa dll), f) penyaluran bantuan untuk mengatasi kemiskinan (program BIMAS/ INMAS/ INSUS/ SUPRA INSUS, IDT, P4K, Kukesra/ Tukesra, P3DT, PPK, NTAADP, FIDRA, dll), g) khotbah keagamaan yang meminta umatnya untuk solider terhadap sesamanya yang miskin sebagai wujud kasih (derma, aksi puasa pembangunan/APP, persepuluhan , zakat dll) maupun usulan lainnya.

Menjadi pertanyaan yang menarik namun sangat retoris bagi kita adalah mengapa kemiskinan masih belum tergantikan dengan kemakmuran di NTT ? Bagaimana penanganan kemiskinan dapat menjadi komitmen kita semua warga NTT tanpa kecuali, untuk secara simultan sesuai dengan kewenangan dan kemampuannya masing-masing menyatukan diri secara sinergis dalam sebuah tekad untuk bersama-sama dan bekerja sama mengurangi kemiskinan NTT dalam jangka waktu yang kita tentukan dan sepakati bersama. Apakah kita sebagai bagian dari kaum beriman akan tega membiarkan kemiskinan melilit sebagian besar saudara kita di NTT? Mungkin sebagian kecil dari kita dapat bersyukur karena sudah terlepas dari kemiskinan dan hidup dalam gelimang harta dan kemewahan, namun apakah ungkapan syukur dalam sebuah doa/ sembahyang hanya cukup sebatas mensyukuri apa yang sudah kita peroleh tanpa berbuat sesuatu meskipun sangat kecil bagi sesama kita yang kebetulan masih belum beruntung keluar dari kemiskinannya ? Mungkin kita dapat secara bersama-sama membuat sebuah forum yang peduli akan masalah kemiskinan yang dikoordinir oleh kaum agamawan sebagai sebuah wadah untuk dialog iman, dialog karya dan dialog kemanusiaan, karena kaum agamawan pasti lebih sangat peduli terhadap kemiskinan yang dihadapi umatnya. Bukankah keberadaan kita semua yang bekerja di NTT adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya rakyat NTT ? Atau kita saat ini bekerja karena hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup dan memikirkan kepentingan kita saja ? Mari kita suarakan dan kita perjuangkan bersama program peduli untuk kepentingan kaum miskin di NTT supaya pemerdekaan Indonesia lepas dari penjajahan Belanda memberi arti tersendiri bagi warga yang kebetulan masih hidup dalam kemiskinan. Selamat melakukan refeleksi dan pertobatan sejati yang dapat ditunjukkan dengan semakin berkurangnya jumlah rakyat miskin di NTT. Semoga.

Tidak ada komentar: