Rabu, 10 September 2008

Pembantu rumah tangga (PRT), budak atau mitra ?

Pembantu Rumah Tangga merupakan sekelompok orang yang dinilai rendah dalam status sosial di masyarakat serta dianggap sebagai profesi kaum pinggiran yang terabaikan, terisihkan dan merupakan kelompok pekerja yang tanpa perlindungan hukum namun sangat dibutuhkan kehadirannya dalam sebuah kehidupan keluarga modern. Mereka ini adalah cermin dari sebuah potret buram masyarakat bawah yang terseok-seok meniti kehidupan dialam globalisasi tanpa ketrampilan yang berarti selain kekuatan fisik berupa tenaga yang ada padanya. Posisi tawar mereka sangat rendah terhadap ‘majikannya’, kalau tidak dapat dikatakan tanpa posisi tawar sama sekali. Kebanyakan dari mereka adalah kaum perempuan yang berasal dari desa dan mencoba masuk dalam kehidupan kota yang baginya merupakan sebuah kota impian dan penuh harapan. Namun antara kenyataan dan impian memang seringkali sangat berbeda, sehingga ketika mereka masuk dalam kehidupan realitas yang penuh dengan sandiwara dan kemunafikan, mereka harus melakonkan sebuah peran seperti halnya seorang budak, yang seringkali diperas tenaganya tanpa jam istirahat yang jelas, upah kerja yang rendah, menerima umpatan, caci maki dan perlakuan-perlakuan tidak manusiawi lainnya. Inilah awal dari sebuah kesengsaraan panjang dan litani kesedihan dari PRT yang hidup dalam situasi keterpaksaan dan tanpa pilihan.


Antara dicaci dan dibutuhkan

Kehidupan PRT memang sebuah paradoks, disatu sisi kehadiran mereka sangat dibutuhkan oleh para perempuan karir yang bekerja diluar rumah maupun para istri yang kerepotan atau malas mengurusi pekerjaaan domestik rumah tangga, namun disisi lain mereka sering sangat dibenci, dicaci maki, diumpat apabila sedikit melakukan kesalahan ataupun ketika berusaha istirahat sejenak dari kelelahan panjang yang menderanya. Padahal PRT sebelum berkerja tidak diberi orientasi dan dibekali dengan ketrampilan , namun mereka dipaksa harus belajar sambil bekerja, sehingga wajar apabila mereka sering melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kemauan dan standar minimal yang dimiliki majikannya. Sebuah ironi ketika melihat upah kerja yang diterapkan kepada mereka yang jelas-jelas sangat jauh dari upah standar minimum regional, namun dalam jam kerja mereka tidak mengenal kata istirahat. Demikian pula dalam hak-hak sebagai pekerja, mereka sama sekali tidak mampu menuntut seperti halnya para buruh, namun hanya mengandalkan kebaikan dari majikannya. Mereka setiap saat siap dipecat, diberhentikan walaupun mereka tidak mempunyai kesalahan apapun. Kebaikan hati dan pengertian dari majikanlah yang akan menyelamatkan PRT dalam kehidupannya dimasa kini dan masa depan , dan mereka sangat tergantung dari majikannya baik dalam menu makan, ketersediaan pakaian, kesehatan maupun hak-hak dasar lainnya. Padahal kita tahu bahwa mereka adalah kaum sebangsa yang kebetulan tidak beruntung dalam mengenyam kehidupan dalam era kemerdekaan bangsanya, yang tidak mempunyai pilihan lain selain sebagai PRT dalam menyambung hidupnya dan membantu orang tuanya di desa yang juga terlilit masalah kemiskinan yang mungkin sudah turun temurun. Jangan tanyakan arti keadilan bagi mereka, karena kata adil menjadi sangat abstrak dan tidak masuk dalam kehidupan mereka yang sudah biasa hidup dalam ketidakadilan dan penindasan yang terstruktur. Mereka sudah terbiasa dengan hidup penuh derita dalam kubangan kemiskinan dan tidak pernah lagi mempertanyakan mengapa semua ini harus dialaminya ? Hanya kepercayaan akan iman kepada Tuhan Yang Maha Adil yang menyebabkan mereka terus berjuang meraih kebahagiaan dalam hidup di dunia, mewujudkan kerja sebagai pengabdian kepada sesama, dan sarana untuk pemuliaan Tuhan. Mereka tidak pernah belajar teologi, namun mereka sangat meyakini bahwa hidup harus berusaha keluar dari penderitaan sebab sesuai iman yang diyakininya, Injil adalah khabar gembira bagi semua orang, termasuk dirinya. Bahkan dalam kemiskinannya, para PRT ini masih mampu menunjukkan solidaritasnya diantara mereka dengan memberi dari kekurangnya, meniru episod bijak seorang perempuan bersatus janda yang sudah jatuh miskin namun masih mampu memberi dari kekurangnya. Sementara dalam kehidupan modern kota, hal-hal bijak semacam ini sudah dianggap usang, kuno dan tak berlaku lagi karena untuk bertahan hidup kalau perlu kita mengorbankan orang lain atau memakan sesamanya, meskipun kita mengaku sebagai seorang yang beriman!

PRT, budak atau mitra ?

Memperlakukan PRT seperti halnya seorang budak belian dimasa lampau sebenarnya sudah tidak pantas lagi dijaman reformasi yang mengagungkan HAM dan menjunjung tinggi hak setiap warga untuk memperoleh pekerjaan secara layak. PRT sebenarnya bukanlah pembantu/budak kita, namun sebagai pekerja yang kebetulan membantu kita. Maka hak-hak seorang pekerja harus diberikan kepada mereka, baik dalam jumlah maksimum jam kerja setiap minggu, jaminan hidup yang layak maupun perlakuan manusiawi lainnya. Bukankah mereka adalah kaum sebangsa kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang kebetulan kurang beruntung nasibnya? Atau kita sudah tidak peduli lagi, karena kita lebih berorientasi pada hal ekonomis menyangkut penghematan biaya, dibanding menghormati harkat dan martabat seorang manusia sebagai mahluk ciptaan yang secitra denganNYA ? Bukankah kalu kita merendahkan harkat dan martabat PRT berarti juga ikut merendahkan Sang Pencipta ? Atau kehidupan keagamaan kita hanya berlaku ketika kita beribadah pada hari tertentu saja dan tidak perlu tercemin dalam perilaku kehidupan keseharian kita ?


PRT = Pekerja Rumah Tangga

PRT untuk saat ini dan ke depan sebaiknya bukan lagi kepanjangan dari Pembantu Rumah Tangga melainkan Pekerja Rumah Tangga. Dengan mengakui mereka sebagai pekerja, maka sudah sewajarnya apabila kita yang menggunakan jasanya memberikan hak-hak dasar sebagai seorang pekerja, terutama dalam jam kerjanya, upah yang layak, perlakuan yang manusiawi, jaminan hidup yang lebih baik, serta hak-hak sosial sebagai warga masyarakat. Kita dapat membayangkan betapa repotnya apabila mereka tidak ada, dan kita semua harus mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga kita secara mandiri dan sendiri. Sudah saatnya kita juga ikut serta memberdayakan para pekerja rumah tangga yang ada di keluarga kita, sehingga mnereka tidak harus selamanya dalam hidupnya berprofesi sebagai PRT melainkan hanya sebagai batu loncatan untuk mempunyai ketrampilan yang lebih baik dan lebih beragam untuk kehidupan di hari depan. Mungkin mereka dapat diberi kesempatan untuk melanjutkan ke sekolah formal, belajar ketrampilan memasak, menjahit, manajemen wirausaha kecil, atau ketrampilan lainnya sehingga mereka dapat merajut hari esoknya menjadi lebih baik. Dan ketika kita melihat mereka dengan profesi yang lebih baik lagi, maka kita ikut bangga karena secara tidak langsung kita ikut terlibat mengantar seorang anak bangsa menuju kehidupan yang lebih berharkat, bermartabat dan manusiawi. Semoga semakin banyak keluarga yang mempunyai niatan suci untuk memberdayakan PRT menjadi lebih meningkat wawasan dan ketrampilannya, memperlakukan mereka secara manusiawi sebagai bagian dari keluarganya, memberikan kesempatan untuk menggunakan hak-haknya, termasuk hak istirahat dan menjaga kesehatannya.
Jangan lagi ada perlakuan yang kurang manusiawi diantara kita terhadap PRT, dan marilah mereka kita jadikan mitra , karena kita harus mempertanggungjawabkan perbuatan kita, yang mungkin saja didunia fana ini kita luput dari tangan-tangan hukum, namun kita tidak akan luput dari keadilanNYA ! Bukankah indikator keberhasilan hidup kita adalah selamat baik di dunia dan di akhirat ? Apalah artinya kita memiliki semua yang ada di dunia, namun kita kehilangan kesempatan untuk masuk dalam kerajaanNYA? . Amin.

Tidak ada komentar: