Minggu, 07 September 2008

Ekonomi kerakyatan, mimpi diatas mimpi ?

Berbicara tentang pembangunan, pasti tidak akan terlepas dari pembangunan ekonomi masyarakat. Dalam masa Orde Baru kita telahmenikmati hasil pembangunan ekonomi dengan dibangunnya infrastruktur dan sarana yang mendukung pengembangan ekonomi seperti jalan, sarana telekomunikasi, listrik, bendungan, pelabuhan , bandara, sarana transpor, penyediaan kredit dll. Namun tanpa kita sadari kita sebagai bangsa terjebak dalam krisis yang pada awalnya berupa krisis moneter, lalu berlanjut menjadi krisis ekonomi, sosial dan pilitik yang puncaknya terjadi ketika Presiden Soeharto diminta secara paksa lengser dari jabatannya.

Terjadilah euforia reformasi yang gaungnya sampai keseluruh pelosok, dan masyarakat beramai-ramai mempertanyakan dan menggugat kembali kembali konsep dan hasil pembangunan yang telah dilakukan oleh ORBA. Kelompok pendukung ORBA yang utama yakni Golkar diserang dan dihujat habis-habisan sebagai biang dari krisis dan memaksa tokoh-tokohnya untuk tidak keras kepala mempertahankan Golkar sebagai ormas dan menerima dirinya sebagai partai politik. Reformasi dibidang politik mulai bergulir dengan diberikannya kesempatan bagi partai baru untuk ikut dalam pemilu yang dipercepat dengan sistem multi partai. Keberadaan pegawai negeri sebagai kekuatan utama pendukung Golkar dipatahkan dan ABRI yang sekarang kembali menjadi TNI melakukan reposisi, reorientasi dan revitalisasi dan cenderung tidak mau lagi dijadikan alat penguasa serta memperkukuh jati dirinya sebagai alat negara dan tentara rakyat sehingga menjauh dari keterlibatan dalam politik praktis.

Sementara dibidang ekonomi, saat ini kita masih belum jelas arah reformasinya, karena masih begitu kuat terjadi tarik menarik kepentingan antara para konglomerat yang sejak jaman ORBA menjadi tiang penopang pembangunan ekonomi dan yang paling menikmati enaknya kue pemabangunan dengan pengusaha golongan ekonomi menengah dan kecil. Pemerintah terlihat masih bimbang untuk menentukan arah kebijakan pembangunan ekonomi, meskipun kita semua tahu bahwa ekonomi di jaman ORBA dibangun dalam sistem kapitalisme semu dengan konglomerasi yang penuh fasilitas dan KKN dengan para pejabat , dan didukung dengan pinjaman.kredit dari luar negeri yang menggadaikan harga diri bangsa, perusakan dan penghisapan secara sistematis kekayaan negara berupa Sumber Daya Alam ( SDA) yang tak terbarukan seperti minyak tanah, tambang maupun yang terbarukan seperti perusakan hutan dalam wilayah yang sangat luas yang menyebabkan negara tetangga mengklaim Indonesia karena mengirim polusi asap, merusak hutan dan mengurangi paru-paru dunia dll.

Belajar dari kegagalan pembangunan ekonomi di jaman ORBA yang mewariskan setumpuk persoalan , termasuk “mega hutang” yang harus dibayar oleh anak cucu kita, dan adanya bukti bahwa sektor yang bertahan dalam deraan krisis adalah sektor usaha ekonomi menengah dan kecil yang sebagian besar dikelola oleh rakyat kebanyakan, bukan oleh segelintir elit ekonomi yang berlagak sok nasionalis, maka sudah saatnya pemerintah berani mengevaluasi secara independen, transparan dan profesional sistem pembangunan ekonomi ORBA yang mendasarkan pada konglomerasi yang penuh KKN. Jika terbukti dari hasil evaluasi krisis ekonomi karena kesalahan kebijakan ekonomi pemerintahan ORBA, maka sudah seharusnya pemerintahan reformis sekarang tidak mengulangi kesalahan yang sama dan mau tidak mau harus perpaling pada ekonomi yang berbasis pada kesejahteraan rakyat dan pelakunya adalah rakyat itu sendiri.

Ekonomi kerakyatan, tabu ?

Kita masih ingat dengan Prof. DR. Mubiyarto, pakar ekonomi yang berpihak pada rakyat yang pernah mengemukakan ide “Ekonomi Pancasila” namun ditolak oleh pemerintahan ORBA karena pemerintah lebih memilih melindungi kroni-kroninya daripada memihak kepentingan rakyat , dan juga dengan Bapak Koperasi Indonesia yang sangat dihormarti dan disegani yakni Bp. Mohamad Hatta yang terus dengan gigih memperjuangkan kesejahteraan masayarakat Indonesia..
Kedua beliau ini tidak diragukan lagi moralitasnya dalam keberpihakan pada rakyat kebanyakan yang taraf hidunya masih susah (kalau tidak mau disebut miskin), dan beliau terus berusaha dengan segenap daya dan pikirannya untuk secara murni dan konsekuen (meminjam istilah yang sering digunakan pemerintahan ORBA) melaksanakan amanat UUD 45 pasal 33 yang dijiwai oleh Panca Sila, terutama pasal ke lima (Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia). Maka dalam masa pemerintahan sekarang sebenarnya kita tidak perlu merasa tabu dan alergi untuk menggugat kembali kebijakan pembangunan ekonomi di jaman ORBA yang disatu sisi memang terjadi percepatan pembangunan fisik dan ekonomi yang luar biasa, namun disisi lain ditopang oleh kapitalisme semu berupa konglomerasi yang penuh tipu daya, kredit luar negeri yang besar, perusakan SDA dan pengorbanan petani. Kita semua yang peduli pada kesejahteraan rakyat mulai sekarang harus beramai-ramai berani menyuarakan ekonomi kerakyatan yang membangun basisnya dengan bertumpu pada pemberdayaan rakyat di bidang wirausaha, distribusi yang adil dalam kepemilikan asset produksi, kemudahan mengakses kredit untuk pengusaha menengah dan kecil dalam jumlah yang mencukupi, pengelolaan SDA oleh rakyat, dan penyediaan infrastruktur yang merata sampai pedesaan sehingga kegiatan perekonomian desa menjadi hidup dan berkembang .

Prioritas pembangunan sarana berupa jalan, listrik, telekomunikasi yang menjangkau tingkat desa harus dijalankan dan pembangunan tidak lagi hanya di pusat-pusat kota propinsi atau kabupaten dan kecamatan, namun harus menyebar kepelosok-pelosok negeri ini. Anak negeri ini telah rindu untuk ikut merasakan nikmatnya hidup di alam kemerdekaan yang telah dijalani selama lima puluh lima tahun sehingga para perencana di Bappenas maupun Bappeda sebaiknya menyadari untuk tidak lagi hanya menggunakan indikator ekonomi dalam merencanakan dan memutuskan pembangunan jalan beraspal. Anggap saja pembangunan sarana jalan aspal adalah hadiah dari sebuah kemerdekaan bangsa yang berusia 55 tahun dan telah dibayar mahal oleh perjuangan rakyat dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsanya.

Otda dan ekonomi kerakyatan

Euforia pelaksanaan Otonomi Daerah (Otda) saat ini sehaiknya dipakai sebagai ajang untuk mempertanyakan kembali komitmen pelaku pembangunan dalam kepberpihakannya pada rakyat. Kita sudah sering dan bosan mendengar kata-kata “Suara rakyat adalah suara Tuhan” ; “DPR selalu menyuarakan aspirasi rakyat” “Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyar”; “ ….. abdi negara dan abdi masyarakat”; …. siap melindungi kepentingan rakyat” dll. Begitu banyak retorika dalam kehidupan kita, namun yang saat ini kita butuhkan adalah realitas kehidupan yang lebih baik bagi rakyat. Bagaimana kita semua dapat memikirkan secara bersama-sama untuk meningkatkan harkat dan martabat rakyat kearah tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi kualitasnya. Maka pembangunan ekonomi rakyat menjadi penting digunakan sebagai indikator keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Sudah saatnya rakyat diberi peran yang lebih besar dan lebih luas disegala bidang kehidupan ; baik dalam mengelola SDA (hutan, pertambangan rakyat, ekowisata yang berbasis masyarakat, peternakan rakyat, perkebunan rakyat dll) sehingga wajar apabila tidak lagi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang diperkuat, namun BUMR (Badan Usaha Milik Rakyat) ; membangun infrastuktur dan sarana di desanya; merencanakan pembangunan desanya ; memilih pola tanam dan jenis tananamnya dll. Pemerintah daerah berperan menyediakan kredit yang cukup jumlahnya dan mudah diakses oleh pengusaha kecil dan menengah melalui bank yang ada di daerah , menyediakan informasi yang dibutuhkan dalam pengembangan ekonomi rakyat, melakukan pendampingan dalam meningkatkan wawasan dan ketrampilan berbisnis bagi rakyat, membangun jaringan pemasaran yang adil , meningkatkan ketrampilan teknis yang mendukung usaha dll.

Diharapkan dengan pelaksanaan Otda dan pengembangan ekonomi kerakyatan, maka gejolak dan kerusuhan yang disebabkan oleh kesenjangan ekonomi maupun praktek KKN dapat dikurangi karena masyarakat merasa diperhatikan dan ditingkatkan harkat dan martabatnya sebagai warga dari sebuah bangsa yang beradab yang menjunjung tinggi kemanusiaan seperti tertera dalam sila ke-dua Panca Sila yakni Kemanusiaan Yang adil dan beradab. Semoga kita tidak terjerumus dalam anarkisme dan mengurangi potensi kemungkinan terjadinya peradilan oleh rakyat. Mari kita bangun bangsa ini tidak hanya raganya tetapi yang juga tidak kalah penting adalah jiwanya seperti yang sering dikumandangkan dalam lagu

YBT Suryo Kusumo

Pengembang masyarakat perdesaan

tony.suryokusumo@gamail.com
http://www.adikarsa.greennet.blogspot.com/

Tidak ada komentar: