Selasa, 09 September 2008

Menabur kemewahan semu, menuai krisis berkepanjangan ?

Ketika kita mampu menoleh kebelakang pada saat kita dalam masa penjajahan, akan merasakan betapa kehidupan yang kita rasakan saat ini begitu mudahnya dan serba berkecukupan. Seorang petani tua di desa dengan lugunya menceritakan perbandingan situsasi kehidupannya pada saat di jajah Belanda dengan kehidupan yang dialaminya sekarang. Dia dengan begitu polos dan banggga menjelaskan bahwa saat ini sudah berpakaian cukup baik seperti halnya para priyayi dijaman penjajahan dulu. Begitu sederhana parameter yang digunakan untuk menilai sebuah kehidupan, namun memang demikianlah ungkapan lugu yang tidak terpolusi oleh kepentingan politik sesaat. Memang tidak dapat disalahkan, karena petani tua ini tidak mempunyai kesempatan mengembangkan kapasitas intelektualitasnya melalui pendidikan formal di jaman Hindia Belanda yang peraturannya memang tidak memungkinkan untuk dimasuki golongan rakyat jelata. Kecukupan secara materi memang dirasakan ketika ORBA berkuasa, dan bahkan masyarakat luaspun terbius oleh derap pembangunan yang lebih mengutamakan hal yang bersifat fisik atau kasat mata dan meninggalkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya yang kita miliki. Kita menjadi sangat materialistik, pragmatis, hedonis dan tidak mau lagi memikirkan kehidupan mendatang, apalagi harus berpikir antisipatip berjangka panjang, yang penting saat ini dapat menikmati kehidupan dengan penuh kemewahan dan kenikmatan meskipun bergelimang kepalsuan , kepura-puraan, dan bertumpuk hutang luar negeri.


Dari hutang ke hutang

Kehidupan masyarakat kita yang tengah membangun menuju terwujudnya negara maju, acapkali membuat kita lupa akan hal yang terpenting dalam mengartikan keberhasilan sebuah pembangunan. Kosa kata pembangunan yang terlalu sering dipakai memunculkan pemahaman yang rancu dan berbeda-beda dalam memahami hakekat pembangunan itu sendiri. Kita semua terjebak dan tersihir dalam hiruk pikuk pembangunan fisik dan melupakan pembangunan jiwa kita sebagai sebuah bangsa yang besar. Nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, solidaritas, kemanusiaan, kesetiaan, kesopanan, budi pekerti dll menjadi tak berarti, tak punya nilai dan begitu gampang diabaikan ketika kita terjebak dalam konsumerisme, kemewahan dan gaya hidup hedonisme yang memuja kenikmatan duniawi semata. Orang menjadi tidak peduli, ketika dihadapkan pada pilihan apakah akan mempertahankan nilai hakiki dalam sebuah kehidupan namun kehilangan keuntungan secara finansial maupun materi, atau lebih baik mencampakkan nilai yang dianutnya, namun berlimpah materi dan kemewahan. Akibatnya dapat kita lihat, betapa rasa malu menjadi barang yang mahal dan langka, sehingga orang-orang yang masih mencoba mempertahankan nilai dalam hidupnya menjadi tersingkir, terlibas dan terlindas dalam sebuah sistem yang memuja materi dan kemewahan semu. Orang yang jujur, berdedikasi, berkorban untuk orang banyak dan sekian banyak lagi perbuatan mulia, yang seharusnya menjadi batu penjuru justru tidak diberi penghargaan, bahkan dianggap sebagai batu sandungan dan rintangan untuk ber KKN ria. Maka dapat kita lihat secara kasat mata dalam kehidupan keseharian kita, betapa orang begitu mudahnya menjadi hipokrit/munafik dan mencoba melakonkan peran ganda, sebagai abdi negara maupun masyarakat, namun sekaligus sebagai”penipu, pencuri, perampok berdasi” Mereka yang melakukan KKN sebenarnya sedang mengabdi pada dua tuan yakni Tuhan dan mamon, sementara sudah sangat jelas ditekankan kemustahilan untuk dapat mengabdi dua tuan sekaligus. Bagaimana mungkin kita mau menjelaskan, seseorang yang begitu rajin beribadah, namun sekaligus menjadi koruptor ulung sehingga terlihat adanya kepribadian ganda dalam raganya. Bagaimana seseorang yang disumpah berdasar agama dan keyakinannya, namun ketika bekerja melupakan semua isi/makna sumpah tersebut dan seolah-olah sumpah tersebut tak berarti bagi dirinya dan hanya seperti ‘sumpah serapah’ saja. Moralitas bangsa ini telah anjlog pada titik nadir, ketika kita mengaku sebagai bangsa yang religius, namun disisi lain tingkat KKN juga tidak pernah turun, bahkan cenderung bertambah ? Padahal kita tahu bahwa perilaku KKN merupakan bentuk pengingkaran dari keyakinannya. Bagaimana kita mengaku sebagai bangsa yang humanis, sementara nyawa manusia begitu gampang melayang hanya karena adanya kerusuhan yang dipicu persoalan yang sepele ? Bagaimana orang menjadi tidak punya rasa malu, ketika dengan gencarnya menimbun harta kekayaan untuk tujuh turunan dengan cara KKN, meskipun hal yang dilakukan menumbuhkan ketidakadilan bagi yang lainnya dan menyisakan penderitaan yang luar biasa bagi rakyat kecil yang mengaku dilayaninya ? Bukankah hidup harus mempertimbangkan keberhasilan untuk diakhirat nanti ? Atau jangan-jangan mereka yang melakukan KKN dan perilaku melanggar norma agama mempunyai kesangsian dalam dirinya akan pengadilan terakhir di akhirat sehingga tidak perlu takut masuk neraka ? Bangsa ini telah terpuruk dalam krisis berkepanjangan selama 5 tahun, dan belum ada tanda-tanda mau bangkit kembali. Kita sekarang merasakan betapa akibat dari kesalahan dalam mengelola negara oleh pemerintah ORBA dan dilanjutkan oleh pemerintahan berikutnya telah menimbulkan penderitaan yang serius. Kemewahan yang kita alami selama ini, terutama yang dinikmati oleh para elit politik, elit pelaku ekonomi, para pejabat dll ternyata hanyalah kemewahan semu, hasil dari mengkorupsi hutang luar negeri, mengkorupsi APBN dan APBD, memeras dan menguras SDA yang kita miliki, melakukan mark up/penggelembungan nilai proyek diatas batas kewajaran, memeras hasil keringat buruh bangsa sendiri melalui pemberlakuan upah yang sangat minim dibawah batas kewajaran hidup minimum. Terlihat jelas betapa kita sebagai bangsa telah mempertontonkan ketidakbecusan kita dalam segala sektor kehidupan melalui pemborosan yang kita lakukan, tidak efektipnya program pembangunan yang kita jalankan, penghancuran aset bangsa melalui kerusuhan yang direkayasa dan penjualan oleh BPPN, ketidakstabilan politik akibat sikap kekanak-kanakan para elit politik di eksekutip, legislatip maupun yudikatip yang berdampak pada menurunnya nilai tukar rupiah dll. Bahkan yang lebih memalukan ternyata bantuan untuk pengungsi dan rakyat miskinpun (melalui JPS) tidak lepas dari korupsi, yang semakin menguatkan penilaian tentang ambruknya benteng terakhir bangsa ini yakni dalam hal moralitas. Mau kemana kita sebagai bangsa, kalau kita dengan seenaknya dan tanpa rasa bersalah menggadaikan negara ini melalui hutang luar negeri yang menumpuk akibat rendahnya profesionalisme, rendahnya rasa tanggung jawab berbangsa, pemborosan yang dilakukan dan akibat dibiarkannya proses KKN kelas kakap menggerogoti keuangan negara yang sudah kembang kempis ? Kita saat ini telah berada pada titik krusial antara lolos dari krisis dan masih akan tetap eksis sebagai bangsa dan negara atau kita sama-sama tenggelam karena kebodohan dan kebebalan hati nurani kita ? Ternyata pengalaman membuktikan, tiadanya jaminan akan kemakmuran, meskipun bangsa kita berlimpah akan ketersediaan SDA kalau kita tidak berperilaku hidup hemat, produktip, profesional dan sebagai bangsa pekerja keras. Betapa banyak hutang luar negeri yang kita terima, dikorup untuk disimpan sebagai tabungan/deposito pribadi lalu dilarikan untuk disimpan di luar negeri sebagai tambahan penghasilan yang berasal dari bunganya dan dijadikan sebagai pasokan dana dalam hidup bermewah-mewah tanpa perlu susah payah kerja. Orang cenderung mengamankan diri berserta keluarga dan saudaranya, serta tidak mau lagi berpikir apakah yang dilakukannya merugikan rakyat banyak atau tidak ? Kalau di Jepang, meskipun termasuk dalam negara yang sudah tergolong maju, namun rakyat hidup berhemat dan menabung sehingga tabungan yang ada dapat digunakan untuk memodali usaha yang menguntungkan. Disamping itu orang Jepang terkenal pekerja keras, sehingga tanpa adanya korupsi besar-besaran, maka roda perekonomian akan terputar cepat, sehingga Jepang merupakan negara donor bagi negara berkembang, termasuk Indonesia . Di Jepang para koruptor akan malu hati dan diadili dengan hukuman yang berat, bahkan sebagian melakukan harakhiri karena malu dan merasa gagal. Sedang di Indonesia, mereka para koruptor menjadi warga terhormat karena jabatan yang disandangnya dan harta benda yang dimilikinya. Maka Indonesia merupakan surga dan suaka bagi para koruptor karena dengan uang hasil korupsinya mampu membeli hukum dan memutarbalikkan kebenaran serta melawan rasa keadilan. Mereka para koruptor merasa nyaman karena terlindungi akibat praktek money politic dan suap, sehingga mereka bagaikan benalu yang menghisap sari makanan rakyat Indonesia yang sudah mengalami kerawanan pangan dan kesusahan dalam hidupnya.


Saatnya menunjukkan nasionalisme

Sudah habis waktu yang kita miliki untuk bereuforia di jaman reformasi ini, karena masalah keuangan negara mengalami tingkat kegawatan yang nyata untuk segera diperbaiki bersama. Mungkin saatnyalah kini bagi kita semua yang mengaku sebagai bangsa Indonesia dan mencintai negeri ini untuk tidak lagi berpanjang kata, tidak lagi berbuih-buih dalam menyikapi krisis yang ada. Inilah kenyataan yang tidak mampu kita singkiri, sebuah krisis berkepanjangan yang harus kita tuai akibat peri laku kita yang senang menjual diri demi gengsi hidup dalam kemewahan yang semu, melakukan praktek KKN yang sistemik dan canggih. . Kita teriakkan SOS kepada semua warga negara Indonesia, untuk bertindak kongkret mengatasi kekurangan pendanaan di APBN melalui pengumpulan harta secara sukarela yang dikelola secara trasparan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, penghancuran budaya korupsi melalui penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu, pelaksanaan otda yang diabdikan untuk kemajuan daerah, penataan kembali UUD 45 dan seperangkat UU maupun PP yang menyertainya. Kita bangun ekonomi kerakyatan, kita ciptakan wirausahawan muda diberbagai daerah melalui pelatihan manajemen wirausaha, kesempatan berbisnis yang adil dll. Kita beri penghargaan pegawai negeri yang bekerja keras mengabdi demi kemajuan masyarakat, dan kita pecat pegawai yang hanya menjadi benalu dan bermalas-malasan saja. Kita bangkitkan perasaan senasib sepenanggungan sebagai bangsa, untuk bersama-sama mengatasi masalah demi masalah, tanpa kita saling menyalahkan dan saling menjegal. Biarlah waktu yang akan berbicara, siapa sebenarnya yang benar-benar nasionalis, berpikir untuk kebaikan dan kepentingan bangsa, dan bukan hanya berlindung dibalik seragam demi keamanan dan kenyamanan semata. Mari kita nyatakan tekad kita keluar dari krisis, melalui tindakan nyata melawan KKN, hedonisme, materialisme, dan jangan lupa melawan kapitalisme yang menjadi salah satu sebab ketidakadilan. Kita songsong tahun 2002 kedepan sebagai tahun kebangkitan nasional yang sesungguhnya, dimana kita sebagai bangsa diuji kesungguhannya dalam menjaga keutuhan negeri ini, dan mewujudkan komitmen para bapak bangsa untuk mensejahterakan masyarakat, tidak dalam tataran retorika, tetapi dalam praksis nyata di masyarakat Dan semua ini dapat terlaksana apabila dalam pemerintahan sekarang ada kesadaran dan kepekaan ’ sense of crisis’ dalam diri para pemimpin negeri ini yang ditunjukkan dalam keteladanan kehidupan keseharian dengan pola hidup yang bersahaja sehingga tercipta pemerintahan yang bersih dan baik. Mari kita tunjukkan nasionalisme kita, mumpung selagi masih ada waktu, walaupun sangat singkat. Lebih baik terlambat dalam melaksanakan pertobatan sejati, daripada tidak sama sekali dan tetap dalam keadaan menjadi manusia yang munafik/hipokrit dan sangat kerdil jiwanya. Janganlah kita meniru para konglomerat koruptor yang meminjam istilah pepatah “Berakit-rakit kehulu, berenang-renang ke Singapura, korupsi besar-besaran dahulu, baru lari ke Sinngapura”.

Tidak ada komentar: