Rabu, 10 September 2008

Hak Anak atas lingkungan kehidupan yang sehat

Setiap tanggal 23 Juli kita memperingati Hari Anak secara rutin untuk selalu mengingatkan bahwa anak mempunyai hak untuk mengekpresikan dirinya sebagai manusia yang utuh ciptaan TUHAN.

Seringkali dalam keseharian, kita melupakan bahwa anak kita bukanlah milik kita tetapi titipan TUHAN, seperti halnya pandangan Khalil Gibran dalam salah satu penggalan sajaknya yang menyatakan Anakku bukanlah anakku, Ia bagaikan anak busur panah yang melesat sesuai dengan kehendakNya. Sebagai busur kita tidak berhak menentukan kearah mana anak panah akan melesat, namun hanya bisa menfasilitasi apa saja yang harus disiapkan agar arah anak panah dapat mencapai sasaran. Seringkali kita terperdaya akan bentuk fisik anak yang kecil, lemah tak berdaya yang dengan mudah menjadi sasaran ambisi kita sebagai orang tua, menjadi ajang pelampiasan kasih sayang yang berlebihan yang menyebabkan anak menjadi cengeng, manja dan tidak mandiri dan yang paling menyedihkan anak seringkali menjadi korban kekerasan dalam segala bentuknya baik secara psikis, maupun fisik. Apalagi dijaman sekarang yang penuh dengan kesulitan dan himpitan ekonomi yang dengan mudah menyulut kemarahan orang tua dan kemudian melampiaskan kepada anaknya yang tak berdaya dan tak berdosa.

Masih banyak anak Indonesia yang dibesarkan dalam lingkungan yang tidak memadai untuk pertumbuhan dirinya secara normal karena keterbatasan orang tuanya yang belum mampu menyediakan lingkungan hidup yang sehat bagi si anak, seperti misal anak yang tinggal dilingkungan tempat pembuangan sampah (TPA), dipasar tradisional yang becek dan kotor, dipinggir bantaran kali maupun bantalan rel kereta api yang sewaktu waktu dapat membahayakan jiwanya. Masih banyak anak jalanan yang tidak terurus yang dibiarkan hidup terlantar dan terlunta-lunta yang setiap kali dapat menjadi korban kekerasan seks seperti sodomi, maupun pemerasan dan tindak kriminalitas lainnya oleh preman jalanan. Sungguh ironis meskipun konstitusi memandatkan pada pemerintah sebagai penyelenggara negara seperti tercantum dalam UUD 45 pasal 34 yang mewajibkan negara untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar, namun perhatian pemerintah masih saja belum optimal . Masih langkanya rumah singgah bagi anak jalanan, apresiasi terhadap bakat mereka melalui tersedianya berbagai sarana untuk menyalurkan bakat adalah bukti masih belum ada kesungguhan melihat talenta yang mereka miliki. Padahal kita tahu mereka anak jalanan maupun pengamen jalanan sudah mampu membuktikan melalui ajang di TV swasta seperti Mama Mia yang melejitkan Angel, juga Indonesia Idol ke 4 yang melejitkan Aris si pengamen di kereta api. Demikian pula dibidang ilmu pengetahuan, sudah banyak anak Indoensia menyabet penghargaan internasional.

Sangat minimnya ruang bermain bagi anak-anak di kota besar juga semakin memperkuat bukti masih rendahnya pemahaman kita akan pentingnya ketersediaan ruang yang cukup bagi pertumbuhan anak. Seringkali pertimbangan ekonomi lebih dominan dalam menyusun tata ruang kota sehingga ruang untuk anak seringkali diabaikan.

Bahkan meski pemerintah telah mencanangkan wajib belajar 9 tahun sebagai hak anak atas belajar secara gratis , namun masih banyak dijumpai anak-anak yang putus sekolah karena orang tua tak mampu membiayainya untuk kebutuhan diluar SPP.
Inilah ironi dimana dalam Pembukaan UUD 45 sangat tegas disampaikan tujuan Indonesia Merdeka adalah salah satunya “Ikut mencerdaskan kehidupan bangsa”, namun seringkali kita melihat pembiaran dan ketidak seriusan pemerintah menangani anak putus sekolah, yang berarti membiarkan tunas bangsa sebagai generasi penerus mengalami pembodohan ditengah arus pusaran globalisasi yang sangat cepat mengalami perubahan.
Lalu apa yang dapat kita harapkan apabila generasi mendatang dibiarkan tetap bodoh dan buta huruf (dalam artian tidak hanya buta huruf tetapi buta teknologi dan informasi).
Belum lagi kebijakan UAN (Ujian Akhir Nasional) bagi anak SD merupakan beban psiksis tersendiri bagi anak seusia mereka yang sebenarnya belum layak mendapat ujian semacam itu apapun alasannya.

Bagaimana sebagai sebuah bangsa, kita akan siap menghadapi persaingan yang begitu ketat dan menggila, jika generasi mendatang yang terwakili oleh anak-anak Indonesia dibiarkan tercemar dengan tontonan sinetron yang tidak mendidik, beredarnya video porno yang pelakunya anak sekolah yang seharusnya menjadi harapan bangsa kedepan, kekerasan yang dipertontonkan melalui acara Smack down, dan sebangsanya.

Yang lebih mengerikan ketika anak disuguhi adegan dalam keseharian kita korupsi yang dilakukan oleh orang tuanya dalam bentuk KKN sementara dengan penuh kesalehan orang tua yang ber KKN ria ini memberikan pesan moral kepada anaknya untuk rajin berdoa, menjunjung kejujuran dll. Begitu hipokritnya kehidupan orang dewasa yang dipertontonkan setiap hari kepada anak-anak. Lalu pertanyaannya, anak-anak akan meneladani kepada siapa ?

Belum lagi bahaya lain yang mengancam seperti NARKOBA yang disinyalir telah memasuki ranah dunia anak dari SD melalui berbagai tipu daya seperti yang terjadi baru-baru ini dengan menggunakan permen yang tidak asing bagi dunia anak. Sungguh sangat keji mereka yang telah tega meracuni anak dengan NARKOBA dengan segala triknya, sehingga anak-anak sebagai penerus bangsa telah kecanduan sejak dini yang jika dibiarkan akan membahaykan ketahanan negara. Layak bagi para pengedar NARKOBA untuk dihukum seumur hidup dengan kerja paksa untuk membuat jera mereka.

Kehidupan seks bebas yang sering mencemari kehidupan sosial dimasyarakat juga harus diwaspadai karena begitu mudahnya saat ini anak-anak mengakses tontonan orang dewasa, begitu mudah memperoleh alat KB untuk menghindari kehamilan, betapa banyak dan mudahnya orang dewasa melakukan perselingkuhan seks. Nilai sakral perkawinan termasuk kegiatan seks didalamnya, pendidikan agama yang mengajarkan nilai-nilai luhur perkawinan maupun seks, keteladanan para pemimpin untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan kehidupan keluarga akan sangat membantu anak untuk menjadi pewaris bangsa yang tangguh, punya nilai dan beradab.

Mari kita semua bertanggung jawab dan peduli untuk melindungi anak-anak kita sebagai tunas bangsa yang masih kuncup sehingga tidak membiarkan mereka layu sebelum berkembang.

Kita dukung perkembangan fisik dan psikis anak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat jasmani dan rohani sehingga anak-anak Indonesia pantas menggantikan kita yang telah berumur yang kebetulan belum bisa mewariskan Indonesia Jaya yang bebas dari korupsi, polusi lingkungan (sampah, racun sisa pertambangan dan pembalakan liar, kompleks pelacuran, hotel dan lokasi tempat selingkuh dll), kemiskinan, kebodohan dll.

Mari kita tidak mengulangi kesalahan yang sama untuk anak-anak dan jangan biarkan segala bentuk perilaku negatip kita wariskan kepada anak-anak kita. Sudah cukup rasanya hutang yang diwariskan kepada generasi mendatang, sehingga mereka tidak perlu lagi diwarisi perilaku kita sebagai orang tua yang korup, selingkuh, seks bebas, hipokrit dsb

Hidup anak Indonesia

YBT Suryo Kusumo
tony.suryokusumo@gmail.com
adikarsagreennet.blogspot.com
adikarsaglobalindo.blogspot.com

1 komentar:

Profarmers mengatakan...

yah namun dikota-kota besar seperti di jakarta, malah anak2 di eksploitasi untuk menjadi anak jalanan. saya pernah menemukan bayi 3 bulan diajak mengemis diantara pekatnya asap dan debu jalanan jakarta..sangat berisiko untuk kesehatan mereka